Jangkitan: Wabah Zombie di Bogor

Kingdenie
Chapter #21

Lagu Sedih di Gudang Senjata

Suara tangisan itu begitu rapuh, begitu nyata, hingga terasa seperti sebuah anomali di dunia yang kini hanya mengenal geraman dan jeritan. Selama beberapa detik yang panjang, kelima penyintas itu hanya berdiri membeku di depan pintu baja gudang senjata. Rasa lelah, ketakutan, dan adrenalin dari perjalanan mereka seolah lenyap, digantikan oleh keheranan yang melumpuhkan. Di jantung benteng kematian ini, ada kehidupan.

Orion adalah yang pertama pulih dari keterkejutannya. Ia bertukar pandang dengan Surya. Sang kakek tua itu mengangguk sekali, pisaunya sudah tergenggam erat di tangannya. Orion memberi isyarat pada yang lain untuk tetap di belakang, lalu dengan ujung pipa besinya, ia mendorong pintu baja yang berat itu.

Pintu itu berderit terbuka, menampakkan ruangan di dalamnya.

Gudang senjata itu tidak seperti yang mereka bayangkan. Memang, di sepanjang dinding berjejer rak-rak logam yang penuh dengan senapan serbu, shotgun, dan pistol. Kotak-kotak amunisi bertumpuk rapi di sudut. Tapi tempat itu juga telah diubah menjadi sebuah ruang perlindungan terakhir. Matras-matras tipis tergelar di lantai, bersama dengan bungkus-bungkus makanan ransum militer yang sudah kosong dan botol-botol air yang terguling. Di salah satu dinding, sebuah papan tulis penuh dengan coretan nama-nama petugas dan jadwal jaga yang kini tidak akan pernah terpenuhi. Ini adalah tempat di mana perlawanan terakhir dari kota Bogor direncanakan, dan gagal.

Dan di sudut terjauh, di bawah cahaya redup dari satu lampu darurat yang masih menyala, duduklah sumber suara itu.

Seorang perempuan muda, mungkin berusia awal dua puluhan, mengenakan seragam polisi yang sudah robek dan berlumuran darah kering. Ia duduk memeluk lututnya, bahunya terguncang oleh isak tangis yang tertahan. Di sampingnya, tergeletak sebuah pistol servis. Ia begitu larut dalam kesedihannya hingga tidak menyadari kehadiran mereka.

Orion memberi isyarat pada yang lain untuk tetap diam. Ia melangkah masuk perlahan-lahan, mencoba untuk tidak membuat suara. Tapi derit sepatunya di lantai beton sudah cukup.

Kepala perempuan itu tersentak. Matanya yang merah dan bengkak karena menangis membelalak ngeri saat melihat lima sosok asing berdiri di ambang pintu. Dalam sekejap, kesedihannya lenyap, digantikan oleh refleks seorang prajurit yang terpojok. Ia menyambar pistol di sampingnya dan mengarahkannya ke Orion dengan tangan yang gemetar hebat.

"Jangan mendekat!" teriaknya, suaranya serak dan pecah. "Satu langkah lagi dan aku tembak!"

"Tenang," kata Orion pelan, mengangkat kedua tangannya untuk menunjukkan ia tidak bersenjata. "Kami enggak akan menyakitimu. Kami juga penyintas."

"Aku enggak percaya!" balas polisi wanita itu, ujung pistolnya bergoyang-goyang liar. "Semua orang sudah mati! Pergi kalian!"

"Kami enggak akan ke mana-mana," kata Jean, melangkah maju perlahan dari belakang Orion, mengabaikan tatapan peringatan dari sang kekasih. Ia menunjukkan tangannya yang kosong. "Lihat kami. Kami bukan monster. Nama saya Jean. Yang itu Orion. Kami hanya mencari tempat aman."

Melihat wajah Jean yang muda dan tulus, bukan wajah monster bermata merah, pertahanan di mata polisi wanita itu mulai retak. Cengkeramannya pada pistol sedikit melonggar. "Enggak ada tempat yang aman," bisiknya, keputusasaan kembali merayap ke dalam suaranya.

"Kami tahu," jawab Jean lembut. "Tapi mungkin lebih aman jika bersama-sama. Siapa namamu?"

Perempuan itu menatap mereka satu per satu, Orion yang tegap, Jean yang tenang, Ravi yang ketakutan, Bimo yang tampak polos, dan Surya yang diam seperti bayangan. Ia melihat luka dan kelelahan di wajah mereka, cerminan dari penderitaannya sendiri. Pertahanannya akhirnya runtuh. Pistol itu jatuh dari tangannya yang lemas, menciptakan bunyi dentang yang keras di lantai. Ia kembali menunduk dan menangis, kali ini dengan isak tangas yang lebih keras, sebuah luapan duka yang telah ia tahan entah selama berapa lama.

Lihat selengkapnya