Pistol di tangan Rani gemetar, ujung larasnya menari-nari liar di antara wajah-wajah yang menatapnya. Ruangan yang dipenuhi senjata-senjata paling mematikan di kota itu kini menjadi saksi dari sebuah ketegangan yang sunyi, di mana ancaman terbesar bukanlah senapan serbu, melainkan sebuah luka yang tersembunyi di balik seragam.
"Aku baik-baik saja," ulang Rani, suaranya naik satu oktaf, terdengar lebih seperti mencoba meyakinkan dirinya sendiri daripada orang lain. "Hanya tergores. Jangan mendekat!"
"Enggak ada yang akan menyakitimu," kata Orion, suaranya dalam dan tenang, mencoba memancarkan ketenangan yang sama sekali tidak ia rasakan. Ia memegang shotgun di tangannya, larasnya diarahkan ke lantai, sebuah sikap de-eskalasi yang disengaja. "Kami hanya ingin menolong. Jika itu luka, kami punya perban bersih."
"Aku enggak butuh pertolonganmu!"
"Rani," sela Jean, melangkah perlahan ke depan, melewati Orion. Ia berhenti beberapa meter dari Rani, menempatkan dirinya di antara pistol Rani dan teman-temannya. "Namaku Jean. Tiga hari yang lalu, temanku digigit tepat di lengannya," katanya, menunjuk ke arah Bimo yang berdiri diam di dekat pintu. "Kami semua mengira dia akan berubah. Kami menguncinya di sebuah ruangan. Kami menunggunya mati."
Rani menatap Bimo, lalu kembali ke Jean, napasnya tersengal-sengal.
"Tapi dia enggak berubah," lanjut Jean. "Dia selamat. Aku enggak tahu bagaimana. Aku enggak tahu kenapa. Tapi dia adalah bukti bahwa digigit enggak selalu berarti akhir." Ia mengulurkan tangannya yang kosong. "Biarkan aku lihat lukamu. Tolong. Beri kami kesempatan untuk menolongmu, seperti kami memberinya kesempatan."
Kata-kata Jean, yang dipenuhi dengan kejujuran yang rapuh, berhasil menembus lapisan trauma dan penyangkalan Rani. Kekuatan perlahan-lahan terkuras dari tubuhnya. Pistol di tangannya terasa semakin berat. Ia menatap wajah-wajah di depannya bukan lagi sebagai ancaman, melainkan sebagai cerminan dari ketakutannya sendiri. Dengan sebuah isak tangis yang tertahan, ia akhirnya ambruk ke lantai, pistolnya jatuh berdebam di sampingnya. Ia menyerah.
Dengan hati-hati, Jean berlutut di depannya. Ravi dengan cepat mengambil pistol Rani dan mengamankannya. Surya mengawasi dari dekat, matanya yang tajam tidak pernah lepas dari luka yang akan segera terungkap.
Dengan tangan gemetar, Jean perlahan-lahan menggulung ujung celana seragam Rani yang kotor. Perban darurat yang terpasang di sana sudah basah oleh campuran darah dan nanah. Saat Jean melepaskan ikatan terakhir, mereka semua menahan napas.
Itu bukan goresan serpihan.
Luka itu tidak diragukan lagi adalah bekas gigitan. Dua lengkungan gigi yang dalam, kulit di sekitarnya membengkak dan berwarna merah kehitaman, dengan urat-urat gelap yang menjalar seperti akar pohon di bawah kulit betisnya. Lukanya tampak jauh lebih parah daripada luka Bimo dulu.
"Kita harus membunuhnya," kata Ravi tanpa emosi, suaranya datar dan dingin. "Sekarang. Sebelum terlambat."
"Enggak!" seru Jean, langsung menempatkan dirinya di depan Rani yang kini menangis histeris.
"Jean, lihat luka itu! Jauh lebih buruk dari luka Bimo!" kata Ravi. "Bimo itu keajaiban, sebuah anomali! Kita enggak bisa bertaruh nyawa kita semua untuk keajaiban kedua!"
"Jadi apa? Kita akan menembak seorang perempuan yang tidak berdaya karena kita takut?" balas Jean, amarahnya berkobar.
"Itu bukan 'seorang perempuan' lagi!" pekik Ravi. "Itu adalah inkubator! Sebuah bom waktu!"
"Itu bukan gigitan!" jerit Rani dari lantai, suaranya dipenuhi penyangkalan yang putus asa. "Aku ... aku bersumpah! Waktu barikade dijebol, aku jatuh. Mulut salah satu petugas yang sudah mati ... membentur kakiku. Itu ... itu hanya benturan! Bukan gigitan!"
Ceritanya begitu tidak masuk akal, begitu menyedihkan, hingga membuat hati mereka terasa sakit. Ia menciptakan sebuah kebohongan yang rumit hanya untuk menunda kenyataan yang tak tertahankan: bahwa ia selamat dari pertempuran besar, hanya untuk mati oleh satu gigitan di tengah kekacauan.
Orion menatap Surya, mencari bimbingan dari tatapan mata sang kakek. Pak Tua itu berjalan mendekat. Ia berjongkok, mengamati luka Rani dengan saksama. Lalu, ia menatap bekas luka Bimo yang sudah hampir sembuh. Wajahnya yang keriput menunjukkan konflik yang dalam. Ia mengambil papan tulis kecil yang ada di ruangan itu, dan menulis dengan arang yang ia temukan di lantai.
DIA KEAJAIBAN. BUKAN ATURAN.
Kata-kata itu adalah vonis yang dingin dan logis. Bimo adalah pengecualian, bukan harapan baru.
"Lalu apa yang kita lakukan?" tanya Jean, suaranya bergetar.
Orion menarik napas dalam. Keputusan ini ada di tangannya. "Kita lakukan seperti sebelumnya," katanya. "Kita memberinya kesempatan. Satu malam." Ia menatap Rani yang kini menatapnya dengan mata penuh permohonan. "Kita akan menguncimu di dalam sini. Kami akan memberimu makanan dan air. Kami akan menunggu di luar. Jika besok pagi kamu masih dirimu sendiri ... maka kita akan bicara lagi. Tapi jika kamu berubah ..." ia berhenti, tidak sanggup menyelesaikan kalimatnya.
Itu adalah kompromi yang mengerikan. Sebuah penangguhan eksekusi yang didasarkan pada harapan paling tipis.
Rani hanya bisa mengangguk pasrah, air mata terus mengalir di pipinya.
Dengan berat hati, mereka memberikan Rani dua botol air dan beberapa bungkus biskuit ransum militer. Jean membersihkan dan membalut kembali lukanya sebaik yang ia bisa, tangannya gemetar saat menyentuh kulit yang panas karena demam itu.