DOR!!
Gema dari satu tembakan itu menghantam koridor seperti halilintar yang menggelegar, bergema di antara dinding-dinding beton sebelum akhirnya lenyap, meninggalkan keheningan yang pekat dan paripurna. Selama beberapa detik, tidak ada yang bergerak. Mereka berlima membeku di tempat, senjata teracung ke arah pintu baja yang kini terasa seperti pintu makam. Jantung mereka berdebar begitu kencang hingga terasa sakit, setiap detaknya bertanya-tanya: apa yang terjadi di dalam sana?
"Dia ... dia menembak?" bisik Ravi, suaranya bergetar hebat. "Apa dia berhasil menembus pintunya?"
Orion menatap pintu itu, mencoba mendengarkan. Tidak ada apa-apa. Tidak ada suara cakaran, tidak ada geraman, tidak ada rintihan. Hanya sunyi. Keheningan yang tidak wajar.
"Mungkin ... dia meleset?" kata Jean, meskipun ia tahu itu adalah harapan yang kosong.
Surya menggelengkan kepalanya perlahan. Ia menunjuk ke arah pintu, lalu membuat gerakan jatuh yang lambat dengan tangannya. Pesannya jelas: Sesuatu di dalam sana telah berakhir.
"Kita harus masuk," kata Orion, suaranya mantap meskipun perutnya terasa mual. "Kita harus tahu."
"Bagaimana jika itu jebakan?" bantah Ravi. "Bagaimana jika dia berubah, menembak asal, dan sekarang dia menunggu kita di balik pintu?"
"Kalau begitu kita hadapi," balas Orion. "Kita enggak bisa meninggalkannya dalam ketidakpastian. Kita tidak akan meninggalkannya." Ada finalitas dalam suaranya. Ini bukan hanya tentang keamanan; ini tentang kehormatan.
Dengan isyarat dari Orion, mereka mengambil formasi. Surya dan Orion di depan, di kedua sisi pintu. Jean di belakang mereka, panahnya siap membidik celah pintu saat terbuka. Ravi dan Bimo menjaga bagian belakang. Dengan tangan yang sedikit gemetar, Orion meraih kunci besar yang tergantung di dinding, memasukkannya ke lubang kunci. Suara logam yang beradu terasa begitu nyaring. Ia memutar kunci itu perlahan.
Orion menatap Surya. Sang kakek mengangguk. Dengan satu tarikan napas dalam, Orion menarik pintu baja yang berat itu ke arah luar.
Ruangan di dalamnya remang-remang, hanya diterangi oleh satu lampu darurat yang berkedip-kedip. Bau mesiu yang tajam bercampur dengan bau anyir darah. Untuk sesaat, mereka tidak melihat apa-apa. Lalu, saat mata mereka terbiasa dengan cahaya yang redup, mereka melihatnya.
Di tengah ruangan, tergeletak sesosok tubuh. Rani. Ia terbaring miring, pistol dinasnya tergeletak tak jauh dari tangannya yang terkulai. Di pelipisnya, ada satu luka tembak yang mengerikan. Matanya terbuka, menatap kosong ke langit-langit yang kotor, ekspresinya adalah campuran antara teror dan kelegaan yang tragis.
Dan di dekat kakinya, tergeletak sebuah rak senjata kecil yang terguling, sumber dari suara gaduh yang mereka dengar. Di atas sebuah kertas catatan yang tercecer di dekat tangannya, tertulis beberapa kata yang digoreskan dengan darah dari lukanya sendiri, seolah itu adalah pikiran terakhirnya sebelum ia menarik pelatuk.