Jangkitan: Wabah Zombie di Bogor

Kingdenie
Chapter #24

Awal yang Pahit di Jalan Raya

Langit sore itu berwarna seperti memar yang membiru. Saat kelima sosok itu melangkah keluar dari lobi Markas Polisi Pusat yang hancur, mereka seolah-olah dilahirkan kembali ke dunia yang berbeda. Udara yang mereka hirup terasa sama, dipenuhi bau anyir kematian dan debu, tetapi cara mereka menghirupnya telah berubah. Mereka tidak lagi menunduk, tidak lagi merayap di antara bayang-bayang. Mereka berjalan tegak.

Senapan serbu SS1 terasa dingin dan padat di tangan Orion, sebuah perpanjangan dari tekad barunya. Rompi anti-peluru yang ia kenakan terasa berat, bukan hanya karena lapisan kevlar-nya, tetapi karena beban dari nyawa-nyawa yang telah hilang di benteng itu. Di sisinya, Jean bergerak dengan keanggunan seekor predator, busur di punggungnya dan pistol terselip di pinggangnya. Matanya tidak lagi hanya waspada; mata itu kini memindai, mencari target. Di belakang mereka, Surya berjalan dengan shotgun pompa di tangannya, larasnya sedikit mengarah ke bawah, langkahnya tetap sunyi seperti hantu. Bimo, dengan pisau berburu di sabuknya, kini memiliki postur yang lebih tegap, pundaknya yang lebar menjadi perisai bagi Ravi, yang berjalan di sampingnya dengan pistol teracung kaku di depan, matanya bergerak liar, memindai setiap jendela dan gang.

Mereka bukan lagi sekumpulan anak sekolah yang tersesat. Mereka adalah sebuah pasukan kecil yang terluka, sebuah unit yang lahir dari tragedi. Setiap langkah yang mereka ambil di atas aspal yang dipenuhi selongsong peluru adalah sebuah deklarasi perang.

Rute yang digambar Surya di peta kini terasa seperti sebuah kitab suci. Peta itu membawa mereka menjauh dari jalan-jalan utama yang menjadi ladang pembantaian, menuju sebuah jembatan layang pejalan kaki yang melintasi rel kereta api, sebuah jalan pintas yang akan membawa mereka lebih dekat ke area Kebun Raya.

Perjalanan di jam pertama terasa begitu sunyi hingga menakutkan. Kota itu seolah menahan napas, mengamati mereka. Mereka melewati pemandangan-pemandangan mengerikan yang kini menjadi biasa: mobil-mobil dengan pintu terbuka dan noda darah di kursi, toko-toko yang dijarah dengan manekin-manekin yang tampak seperti korban bisu. Tapi tidak ada Jangkitan. Sama sekali.

Keheningan itu justru membuat Ravi semakin gugup. "Di mana mereka semua?" bisiknya, suaranya terdengar nyaring di tengah kesunyian.

"Jangan tanya pertanyaan yang tidak ingin kau tahu jawabannya," balas Orion tanpa menoleh.

Bimo tiba-tiba berhenti. Ia memejamkan matanya. "Ada sesuatu," katanya pelan. "Bukan suara. Getaran. Banyak sekali. Di depan kita. Di bawah jembatan."

Mereka semua berhenti, berlindung di balik sebuah bus kota yang terguling. Surya memberi isyarat agar Orion maju bersamanya. Mereka berdua merayap ke ujung bus, mengintip dengan hati-hati ke arah jembatan layang yang berjarak sekitar dua ratus meter di depan.

Pemandangan di sana membuat darah mereka membeku.

Di bawah jembatan layang itu, di area stasiun kereta kecil yang telantar, berkumpul gerombolan Jangkitan terbesar yang pernah mereka lihat. Ratusan. Mungkin lebih. Mereka tidak bergerak liar. Mereka berdiri dalam keheningan yang teratur, menghadap ke satu arah, seperti sebuah pasukan yang sedang menunggu perintah atau sebuah jemaat yang sedang menunggu khotbah. Dan di tengah-tengah mereka, berdiri di atas atap sebuah loket karcis yang hancur, adalah sang Alfa. Makhluk jangkung dan ramping yang pernah Jean lihat dari atap rumah Surya.

Ia tidak hanya berdiri. Ia sedang berkomunikasi. Ia mengeluarkan serangkaian suara serak dan berderak dari tenggorokannya. Bukan geraman, melainkan sesuatu yang lebih kompleks, seperti bahasa primitif yang mengerikan. Dan setiap kali ia bersuara, gerombolan di bawahnya akan bergerak serempak, bergeser sedikit ke kiri atau ke kanan, seolah merespons perintah.

"Dia ... dia mengorganisir mereka," bisik Orion ngeri. "Dia mengumpulkan mereka semua."

"Ini bukan kebetulan," tambah Surya, suaranya serak seperti gesekan kerikil. Itu adalah kalimat pertama yang ia ucapkan sejak mereka bertemu. "Mereka sedang berburu."

Saat itulah, sang Alfa di atas loket itu tiba-tiba berhenti "berbicara". Ia mengangkat kepalanya, seolah mengendus udara. Lalu, kepalanya berputar perlahan, dan matanya yang merah dan cerdas menatap lurus ke arah bus tempat Orion dan Surya bersembunyi.

Ia tahu. Entah bagaimana, ia tahu mereka ada di sana.

Sang Alfa mengangkat tangannya yang kurus dan panjang, lalu menunjuk lurus ke arah mereka. Itu adalah sebuah deklarasi. Sebuah vonis.

Lihat selengkapnya