Gedung perkantoran itu terasa seperti sebuah kapal hantu. Di luarnya, dunia terbakar dalam keheningan. Di dalamnya, lima sosok yang selamat dari badai itu bergerak seperti arwah, telinga mereka masih berdenging oleh gema pertempuran. Mereka telah menemukan sebuah ruang rapat di lantai empat, cukup tinggi untuk merasa aman, dengan pintu kaca tebal yang bisa mereka barikade dengan meja rapat yang berat.
Tidak ada sorak-sorai kemenangan. Hanya ada kelegaan yang getir dan kelelahan yang menusuk hingga ke tulang. Jean, dengan gerakan seorang profesional medis yang terlatih, merawat luka-luka kecil mereka. Goresan di lengan Orion, memar di bahu Ravi karena hentakan senjatanya, dan beberapa lecet di tangan Bimo. Sentuhannya lembut dan efisien, sebuah ritual sunyi yang berusaha menyatukan kembali kepingan-kepingan kelompok mereka yang nyaris hancur.
Saat Jean membersihkan luka di pipi Ravi dengan kapas antiseptik, pemuda itu tidak berani menatap matanya. "Maaf," bisik Ravi, suaranya nyaris tidak terdengar. "Aku ... aku membeku di sana."
"Kamu menembak," jawab Jean pelan. "Itu yang terpenting. Kamu enggak lari."
Di sudut lain, Orion dan Surya melakukan ritual yang jauh lebih suram. Mereka membongkar semua senjata mereka di atas meja rapat yang mengkilap, membersihkan larasnya dengan potongan kain, dan dengan teliti menghitung sisa amunisi mereka. Hasilnya adalah sebuah pil pahit.
Mereka meletakkan semua magasin yang tersisa di tengah meja. Hanya ada sedikit yang terisi penuh. Sebagian besar sudah setengah kosong atau bahkan hanya menyisakan beberapa butir peluru. Pemandangan itu lebih menakutkan daripada gerombolan Jangkitan mana pun. Itu adalah visualisasi dari waktu mereka yang semakin menipis.
Surya menatap tumpukan kecil amunisi itu, lalu menatap Orion. Ia tidak perlu berkata apa-apa. Wajahnya yang keriput sudah mengatakan semuanya: Lihat harga dari pertempuran terbuka. Kita enggak bisa melakukannya lagi.
Orion mengerti. Ia merasa bertanggung jawab. Rencananya untuk bergerak dengan kekuatan nyaris menghabiskan semua kekuatan mereka dalam satu jam. Ia mengumpulkan yang lain.
"Dengar," katanya, suaranya serak karena lelah dan asap mesiu. "Aku salah. Bertarung seperti tadi ... itu bodoh dan boros. Kita enggak akan bisa selamat dari satu pertempuran lagi seperti itu." Ia berhenti sejenak, menatap wajah-wajah yang lelah di hadapannya. "Mulai sekarang, strategi kita berubah. Kembali ke rencana awal Pak Surya. Kita adalah hantu. Kita menyelinap. Kita bersembunyi. Kita lari. Senjata ini," ia menunjuk ke tumpukan senjata di atas meja, "bukan lagi pilihan pertama kita. Ini adalah pilihan terakhir. Pilihan paling akhir. Enggak ada pengecualian."
Tidak ada yang membantah. Permulaan pahit di jembatan layang itu telah mengajarkan mereka pelajaran yang sama dengan cara yang paling brutal.
Untuk mengisi waktu sambil menunggu malam tiba, mereka memutuskan untuk menggeledah lantai tempat mereka berada, mencari apa saja yang bisa berguna. Gedung itu sepertinya milik sebuah perusahaan konsultan atau sejenisnya. Ruangan-ruangannya dipenuhi oleh bilik-bilik kerja yang identik, di mana sisa-sisa kehidupan normal terpajang seperti diorama museum: foto keluarga yang tersenyum di atas meja, cangkir kopi yang sudah berjamur, dan catatan-catatan rapat yang tidak akan pernah selesai.
Saat itulah mereka menemukannya. Di ujung koridor, sebuah pintu kayu mahoni dengan plakat kuningan bertuliskan "DIREKTUR UTAMA". Pintu itu tidak terkunci.
Ruangan di dalamnya mewah dan luas, kontras dengan kekacauan di luar. Sebuah meja besar dari kayu solid mendominasi ruangan, menghadap ke jendela raksasa yang menyajikan pemandangan mengerikan dari kota yang hancur. Di atas meja, sebuah laptop canggih tergeletak dalam keadaan tertutup. Di sampingnya, sebuah tas kerja dari kulit tergeletak miring, isinya tumpah ke atas meja.
Secara naluriah, Jean mulai memeriksa berkas-berkas yang tercecer. Sebagian besar adalah laporan keuangan dan proposal bisnis yang membosankan. Tapi kemudian, ia menemukan sebuah map dengan label yang membuat jantungnya berdebar sedikit lebih cepat: "Nusantara Biodefense - Proposal Logistik Sub-Kontrak".
"Rion," panggilnya pelan.
Orion mendekat, dan bersama-sama mereka membaca dokumen itu. Isinya sebagian besar bersifat teknis, penuh dengan jargon yang tidak mereka mengerti. Tapi ada beberapa kata kunci yang menonjol: "unit-unit containment biologis portabel", "protokol karantina level 4", dan sebuah nama proyek yang hanya ditulis sebagai inisial: "Proyek C".
Jean langsung merogoh sakunya, mengeluarkan sobekan kertas dari buku catatan Rani. Di sana tertulis kata yang sama: Proyek Chimera.
"C untuk Chimera," bisik Jean. Mereka telah menemukan benang merah yang lain, sebuah koneksi ke konspirasi yang jauh lebih besar dari yang mereka bayangkan.
"Laptopnya," kata Orion, menunjuk ke perangkat yang tertutup itu. "Jawabannya mungkin ada di dalam sana."