Jangkitan: Wabah Zombie di Bogor

Kingdenie
Chapter #26

Anomali Bernama Bimo

Pertanyaan Bimo menggantung di udara pengap ruang direktur itu seperti vonis. Itu bukanlah pertanyaan yang mencari jawaban, melainkan sebuah pengakuan dari kengerian yang baru saja mekar di dalam dirinya. Layar laptop di atas meja masih menyala, memancarkan cahaya dingin pada wajah-wajah yang terpaku dalam syok, menerangi kata-kata yang kini menjadi takdir baru mereka: Varian-D. Stabil. Sempurna. Terlalu berbahaya. Diperintahkan untuk dimusnahkan.

Keheningan itu pecah, bukan oleh suara, melainkan oleh gerakan.

Ravi adalah yang pertama bereaksi. Ia tersandung mundur, menjauh dari Bimo seolah anak itu tiba-tiba terbakar. Tangannya terangkat, menunjuk dengan gemetar.

"Dia ... dia bukan keajaiban," desisnya, matanya membelalak ngeri. "Dia salah satunya. Eksperimen mereka yang paling berbahaya."

Bimo tersentak mendengar kata-kata itu, seolah ditampar. Ia menatap tangannya sendiri, tangan yang sama yang pernah memeluk kotak ayam goreng, tangan yang sama yang menarik Ravi dari terkaman maut dan kini ia melihatnya sebagai sesuatu yang asing, sebuah senjata yang tidak ia mengerti. Ingatan akan kekuatannya yang meledak-ledak, pendengarannya yang tajam, dan penyembuhannya yang tidak wajar kini bukan lagi sebuah anomali yang membingungkan, melainkan gejala-gejala dari sebuah penyakit yang mengerikan. Penyakit bernama ‘kesempurnaan’.

"Aku ... monster," bisik Bimo, suaranya pecah. Air mata mulai mengalir di pipinya. "Mereka ... mereka membuatku jadi monster."

"Kamu bukan monster, Bimo!" Jean langsung bergerak, menempatkan dirinya di samping Bimo, sebuah perisai manusia yang rapuh. Ia menatap tajam ke arah Ravi. "Dia masih Bimo! Dia teman kita!"

"Teman kita?" balas Ravi histeris. "Jean, apa kamu enggak baca? 'Tidak bisa dikendalikan'! 'Harus dimusnahkan'! Orang-orang yang membuatnya saja ingin dia mati! Bagaimana kita bisa aman tidur di sampingnya?"

"Catatan itu juga bilang dia 'tidak menunjukkan agresi'!" sergah Jean, suaranya meninggi. "Dan itu benar! Dia enggak pernah menyakiti kita. Dia justru menyelamatkanmu, Ravi! Dua kali!"

"Itu mungkin hanya instingnya! Mungkin dia melindungi 'aset'-nya sampai dia siap untuk ... untuk melakukan entah apa!"

Sementara mereka berdebat, Orion hanya berdiri diam, pikirannya berpacu. Ini adalah skenario terburuk yang bahkan tidak pernah ia bayangkan. Selama ini, ancaman selalu datang dari luar, atau dari pengkhianatan yang bisa dipahami. Tapi ini? Ini adalah sesuatu yang lain. Ancaman ini ada di dalam teman mereka sendiri, tersembunyi di dalam kode genetiknya. Setiap keputusan yang ia buat sebagai pemimpin kini terasa salah. Membawa Bimo bersama mereka mungkin adalah kesalahan fatal. Tapi meninggalkannya ... itu adalah sesuatu yang tidak bisa ia terima.

Di tengah kekacauan itu, Surya berjalan mendekat. Ia mengabaikan perdebatan sengit itu. Ia berjalan lurus ke arah Bimo, yang kini menangis tersedu-sedu, tubuhnya terguncang oleh isak tangis yang menyakitkan. Surya berhenti di depan Bimo. Ia tidak mengatakan apa-apa. Ia hanya berlutut, gerakannya kaku karena usia, hingga matanya sejajar dengan mata Bimo.

Ia menatap lurus ke dalam mata anak laki-laki yang hancur itu. Lalu, ia melakukan sesuatu yang tidak terduga. Ia mengangkat tangannya yang keriput dan meletakkannya dengan lembut di bahu Bimo. Sebuah gestur dukungan yang sederhana namun memiliki bobot yang luar biasa.

Lihat selengkapnya