Fajar hari kedelapan adalah fajar yang berbeda. Saat mereka bersiap untuk meninggalkan gedung perkantoran yang telah menjadi ruang pengakuan dan kelahiran kembali mereka, udara di antara mereka tidak lagi dipenuhi oleh ketegangan atau kecurigaan. Ia dipenuhi oleh keheningan yang memiliki tujuan. Mereka telah menerima kebenaran tentang Bimo, dan dengan penerimaan itu, datanglah kekuatan yang aneh. Mereka tidak lagi hanya berlima; mereka adalah sebuah unit dengan senjata rahasia.
Persiapan mereka kini adalah sebuah tarian yang terkoordinasi. Surya membentangkan peta, menunjuk rute baru yang lebih aman dengan ujung pisaunya. Bimo akan memejamkan mata, kepalanya sedikit miring, "mendengarkan" jalanan di depan mereka.
"Area di depan Balai Kota ... sunyi," bisiknya. "Terlalu sunyi. Seperti padang kosong. Aku enggak suka."
Surya mengangguk, lalu menggambar rute memutar yang lebih panjang. Jean memeriksa setiap anak panah, memastikan ujungnya setajam mungkin. Ravi, dengan fokus yang baru ditemukannya, sibuk mengisi daya sebuah power bank tua yang ia temukan, mencoba menghidupkan sebuah ponsel GPS yang layarnya sudah retak. Masing-masing memiliki peran. Masing-masing memiliki fungsi.
Orion mengamati mereka semua, sebuah rasa bangga yang getir membuncah di dadanya. Mereka adalah tentara anak-anak yang compang-camping, dipimpin oleh seorang kakek dan dipandu oleh sebuah anomali genetik. Tapi mereka adalah keluarganya sekarang.
"Waktunya bergerak," kata Orion, dan tanpa sepatah kata pun, mereka mengambil formasi dan melangkah keluar dari menara kaca itu, kembali ke dalam labirin kematian.
Mereka bergerak seperti paket serigala, menyatu dengan bayang-bayang kota. Surya di depan, langkahnya ringan seperti daun kering. Bimo di belakangnya, menjadi telinga bagi mata Surya. Jean dan Ravi di tengah, senjata mereka siaga. Dan Orion di belakang, menjaga punggung mereka semua, senapan serbunya bergerak menyapu setiap sudut dan atap.
Dunia di sekitar mereka adalah sebuah diorama kehancuran. Tapi kali ini, mereka melihatnya dengan mata yang berbeda. Mereka melihatnya sebagai sebuah papan catur. Setiap mobil yang terbakar adalah sebuah benteng. Setiap gang sempit adalah sebuah jalur manuver. Dan setiap bayangan adalah potensi ancaman atau tempat berlindung.
Selama beberapa jam, perjalanan mereka berjalan lancar. Indra Bimo yang luar biasa memungkinkan mereka untuk menghindari beberapa patroli Jangkitan dan sebuah gerombolan kecil yang sedang berkerumun di sekitar bangkai sebuah truk tangki. Mereka bergerak lebih lambat dari sebelumnya, tapi jauh lebih aman. Rasa percaya diri yang rapuh mulai tumbuh di antara mereka.
Lalu, saat mereka memasuki sebuah area pertokoan tua dengan jalanan sempit yang diapit oleh bangunan-bangunan berlantai tiga, Bimo berhenti. Ia mengangkat tangannya, membuat semua orang membeku.
"Ada apa?" bisik Orion.
Bimo mengerutkan keningnya, kepalanya bergerak sedikit ke kiri dan ke kanan. "Aku dengar ... suara," katanya, tampak bingung. "Tapi aneh. Sangat pelan. Di mana-mana sekaligus."
Mereka semua menajamkan telinga. Tidak ada apa-apa. Hanya desau angin yang meniup debu.
"Suara apa?" tanya Jean.
"Anak kecil," jawab Bimo, dan kata-kata itu membuat darah mereka membeku. "Seperti ... tangisan bayi. Tapi ... rasanya salah. Seperti sebuah gema."
Insting mereka semua berteriak: jebakan.
Surya memberi isyarat agar mereka berlindung di dalam sebuah toko buku yang pintunya sudah hancur. Dari balik jendela yang pecah, Orion, Jean, dan Surya mengamati jalanan di depan. Itu adalah sebuah alun-alun kecil yang dikelilingi oleh pertokoan. Tampak kosong. Tapi Bimo benar. Jika mereka berkonsentrasi, mereka bisa mendengar suara tangisan bayi yang sangat, sangat samar, yang seolah memantul di antara dinding-dinding bangunan.
"Itu rekaman," kata Ravi, yang ikut mengintip. "Pasti rekaman. Diulang-ulang."