Jangkitan: Wabah Zombie di Bogor

Kingdenie
Chapter #28

Balada di Toko Buku

Jeritan komando sang Alfa adalah sebuah deklarasi. Keheningan yang tadinya menjadi senjata mereka kini telah pecah, digantikan oleh gema dari ratusan langkah kaki yang berlari di atas beton. Suara itu datang dari segala arah, sebuah tsunami suara yang semakin dekat, semakin keras, sebuah janji akan kehancuran total.

"BARIKADE PINTU! SEKARANG!" teriak Orion, instingnya mengambil alih.

Tidak ada lagi waktu untuk berpikir. Tidak ada lagi waktu untuk takut. Yang ada hanyalah aksi. Dengan kekuatan yang didorong oleh adrenalin murni, mereka berlima bekerja seperti satu organisme. Orion dan Surya mendorong rak buku paling besar dan paling berat, menjatuhkannya dengan bunyi yang memekakkan telinga untuk memblokir pintu masuk utama yang terbuat dari kaca. Jean dan Ravi menarik rak-rak yang lebih kecil untuk menutupi jendela-jendela besar di bagian depan. Bimo, dengan kekuatannya yang luar biasa, mengangkat sebuah meja kasir dari kayu jati solid sendirian dan membantingnya di belakang barikade rak buku, menciptakan lapisan pertahanan kedua.

Toko buku tua itu, tempat yang tadinya sunyi dan penuh dengan pengetahuan, kini telah mereka ubah menjadi sebuah benteng darurat. Sebuah makam yang coba mereka pertahankan.

Mereka selesai tepat pada waktunya.

Gelombang pertama menghantam. Lusinan Jangkitan menabrakkan diri mereka ke jendela kaca di depan. Kaca itu bergetar hebat, retakan-retakan seperti jaring laba-laba langsung menyebar ke seluruh permukaan. Di antara geraman buas mereka, terdengar suara tinju yang memukul-mukul rak buku yang menjadi barikade.

"Lantai dua!" perintah Orion. "Kita ambil posisi tinggi!"

Mereka bergegas menaiki tangga kayu yang berderit. Lantai dua adalah sebuah area terbuka kecil dengan beberapa sofa baca yang sudah usang dan jendela-jendela yang lebih kecil yang menghadap ke alun-alun.

"Jean, jendela depan! Hentikan sebanyak mungkin yang ada di jalanan!" Orion menunjuk ke sebuah jendela di sudut. "Surya, Bimo, jaga tangga! Jangan biarkan apa pun naik! Ravi, bersamaku, kita jaga jendela yang lain!"

Mereka mengambil posisi mereka saat di lantai bawah, suara kaca yang pecah akhirnya terdengar, diikuti oleh suara rak buku yang diguncang dengan hebat. Musuh telah masuk ke dalam benteng.

Pertempuran untuk toko buku dimulai.

Jean menjadi malaikat maut yang sunyi. Dari jendela lantai dua, ia melepaskan anak panah dengan kecepatan yang dingin dan efisien. Setiap desingan tali busurnya diikuti oleh jatuhnya satu Jangkitan di jalanan di bawah, memperlambat gelombang bala bantuan yang terus berdatangan. Ia adalah satu-satunya garis pertahanan mereka melawan jumlah musuh yang tak terbatas.

Di puncak tangga, Bimo dan Surya menjadi dinding yang tak bisa ditembus. Bimo, tidak lagi ragu dengan kekuatannya, menggunakan sebuah rak buku kecil sebagai perisai dan senjata, mendorong dan menghantam para Jangkitan yang mencoba merangkak naik melewati barikade meja kasir di bawah. Di sampingnya, shotgun Surya menyalak seperti guntur. Setiap ledakannya membersihkan tangga dari tiga atau empat Jangkitan sekaligus, mengirimkan semburan darah dan serpihan daging ke dinding.

Di sisi lain, Orion dan Ravi bertarung bahu-membahu, menembak melalui jendela yang mereka pecahkan sebagian ke arah para Jangkitan yang berhasil masuk ke lantai satu dan kini mencoba memanjat pilar-pilar di dalam toko. Suara tembakan SS1 Orion yang cepat dan terkendali berpadu dengan letusan pistol Ravi yang lebih sporadis. Ravi tidak lagi berteriak. Wajahnya adalah topeng konsentrasi yang pucat, setiap peluru yang ia tembakkan adalah sebuah penegasan bahwa ia menolak untuk menjadi korban lagi.

Mereka berhasil menahan gelombang pertama. Selama beberapa menit mereka seperti sebuah mesin pembunuh yang sempurna.

Amunisi mereka tidak tak terbatas. Dan jumlah musuh mereka, sepertinya, memang tak terbatas.

"Mereka ... mereka enggak berhenti datang!" teriak Jean dari posnya, suaranya tegang. Ia melihat ke alun-alun dan melihat pemandangan yang membuat hatinya mencelos. Sang Alfa masih berdiri di sana, jauh di luar jangkauan panahnya, dan di sekelilingnya, gerombolan yang baru terus berdatangan dari jalan-jalan lain, ditarik oleh suara pertempuran.

Lalu, sang Alfa menunjuk. Bukan lagi ke pintu depan. Melainkan ke dinding samping gedung.

Lihat selengkapnya