Fajar hari kesembilan dimulai dengan ritual baru. Di dalam gudang bahan makanan yang pengap, di bawah seberkas cahaya yang menerobos celah pintu, mereka membersihkan senjata mereka dalam keheningan.
Orion dengan metodis membongkar senapan serbu SS1-nya, membersihkan setiap komponen dari debu dan sisa mesiu dengan potongan kain. Setiap gerakan jarinya mantap dan penuh tujuan. Jean melakukan hal yang sama dengan pistolnya, senjata yang masih terasa asing dan brutal di tangannya. Ravi, dengan wajah serius yang baru, mengisi ulang setiap magasin yang mereka miliki, menghitung setiap butir peluru seolah itu adalah butiran emas. Dan Bimo, ia hanya duduk mengasah pisau berburu yang diberikan Surya, gerakannya lambat dan penuh hormat.
Kesedihan atas kehilangan Surya tidak hilang; ia telah berubah menjadi lapisan baja yang dingin di sekitar hati mereka. Mereka tidak lagi berbicara tentang apa yang telah hilang, karena daftar itu terlalu panjang dan menyakitkan. Mereka hanya fokus pada apa yang tersisa: satu sama lain, dan satu misi terakhir.
"Kita enggak bisa ke Sempur," kata Orion, memecah keheningan. Suaranya datar, sebuah pernyataan fakta, bukan keluhan. Ia membentangkan peta Surya yang lecek di atas sebuah peti kayu. "Amunisi kita menipis, Jean kehilangan senjata utamanya, dan kita enggak punya lagi mata dan insting Pak Surya."
"Lalu ke mana?" tanya Ravi. "Kita enggak bisa tinggal di jalanan selamanya."
"Ada satu tempat," kata Jean pelan. Jarinya yang ramping menelusuri peta yang kotor itu, melewati taman-taman dan danau yang kini terasa seperti wilayah musuh, dan berhenti di sebuah kompleks bangunan besar berwarna hijau di jantung Kebun Raya. Istana Kepresidenan Bogor.
Ravi tertawa kecil, tawa yang kering dan tanpa humor. "Gila. Kamu mau kita masuk ke sana? Itu sarang singa."
"Tepat," kata Orion, matanya berkilat saat ia teringat kata-kata terakhir Surya. "Dan Alfa itu pemburu. Dia mencari mangsa yang lari ketakutan di semak-semak. Dia enggak akan mencari kita di dalam sarang singa."
Itu adalah sebuah pertaruhan yang didasarkan pada filosofi seorang lelaki yang telah tiada. Sebuah lompatan keyakinan yang putus asa. Perjalanan mereka kini memiliki tujuan baru yang gila. Bukan lagi Lapangan Sempur yang jauh, melainkan istana yang begitu dekat namun terasa begitu mustahil.
Mereka melangkah keluar dari gudang bawah tanah itu, kembali ke pagi hari yang kelabu. Bukan lagi sebagai mangsa yang ketakutan, melainkan sebagai sekawanan hantu yang sedang berziarah.
Perjalanan melintasi Kebun Raya tanpa Surya adalah sebuah pengalaman yang sama sekali berbeda. Tanpa instingnya yang tajam, mereka kini sepenuhnya bergantung pada Bimo. Anak laki-laki itu berjalan di depan bersama Orion, matanya lebih sering terpejam daripada terbuka. Ia menjadi pemandu mereka di neraka hijau ini, menavigasi bukan dengan mata, melainkan dengan gema rasa sakit di kepalanya.
Setiap beberapa menit ia akan berhenti, tangannya terangkat. "Berhenti," bisiknya. "Di depan, dekat rumpun bambu kuning ... ada lima. Mereka diam. Kita ambil jalur kiri, menyusuri tepi kolam."
Mereka akan menurut tanpa bertanya. Mereka bergerak di dalam hutan kota yang seharusnya indah itu. Pohon-pohon raksasa yang berusia ratusan tahun menjulang ke langit seperti menara-menara katedral yang sunyi, kanopi mereka yang lebat meredupkan cahaya matahari menjadi senja yang abadi. Tapi keindahan itu kini terasa mengancam. Setiap dahan yang menjuntai tampak seperti cakar. Setiap lubang di pohon tampak seperti mulut yang menganga. Keheningan di sini lebih dalam, lebih kuno, lebih menakutkan daripada di jalanan beton.
Di tengah taman, saat mereka sedang melintasi sebuah area terbuka, Bimo tiba-tiba berhenti, wajahnya pucat pasi. "Ssst," desisnya, menarik lengan Orion. "Di atas."
Mereka semua mendongak dengan panik, senjata terangkat. Tapi mereka tidak melihat apa-apa selain lautan daun hijau dan bayang-bayang yang pekat dari sebuah pohon beringin raksasa.
"Di mana?" tanya Ravi, suaranya bergetar.
"Dahan ketiga dari bawah, di sisi kanan," bisik Bimo, matanya terpejam kesakitan. "Ia tidak bergerak. Sama sekali. Ia menunggu."
Orion dan Jean menyipitkan mata, mencoba menembus kamuflase alami itu. Dan akhirnya, mereka melihatnya. Sesosok tubuh yang meringkuk di atas dahan, warnanya yang pucat nyaris menyatu dengan kulit kayu yang ditumbuhi lumut. Seekor predator yang telah beradaptasi dengan sempurna dengan lingkungan barunya.