Jangkitan: Wabah Zombie di Bogor

Kingdenie
Chapter #31

Kebenaran di Ruang Bawah Tanah

Keheningan istana itu begitu pekat, seolah-olah dinding-dindingnya menyerap semua gema langkah mereka. Orion berjalan paling depan, matanya tajam meneliti setiap sudut. Jean mengikuti dari belakang, jemarinya sesekali menggenggam gagang pistol di pinggang, seolah takut sesuatu akan tiba-tiba melompat dari balik kegelapan. Sementara itu Ravi dan Bimo mereka tinggalkan di dekat dapur yang megah, tempat terakhir yang masih terasa seperti sisa peradaban lama, dengan rak-rak penuh kaleng makanan yang berdebu dan botol air mineral yang berbaris rapi.

Namun meski perut bisa diisi, hati mereka tetap hampa. Ada sesuatu yang tidak wajar dengan kesunyian istana ini. Tidak ada mayat. Tidak ada darah. Tidak ada tanda perlawanan. Hanya ruangan-ruangan mewah yang ditinggalkan dengan rapi, seolah semua penghuninya tahu apa yang akan datang … dan pergi tepat sebelum malapetaka dimulai.

Orion merasa bulu kuduknya berdiri. Mereka tahu. Kalimat itu berputar-putar di kepalanya, menusuk seperti pisau dingin.

Mereka menelusuri lorong yang dilapisi karpet tebal warna merah tua, karpet yang meredam hampir semua suara langkah mereka. Akhirnya perjalanan membawa mereka pada sebuah ruangan besar dengan pintu ganda dari kayu jati. Orion mendorongnya perlahan, engsel pintu berdecit halus, memperlihatkan sebuah ruang kerja kepresidenan yang agung.

Perabotan di dalamnya berat dan kokoh: meja dari kayu jati dengan ukiran rumit, kursi kulit yang masih beraroma lembut meski sudah berbulan-bulan ditinggalkan, rak buku penuh literatur politik, ekonomi, dan sejarah. Tirai sutra tebal menutupi jendela, menghalangi cahaya bulan yang seharusnya masuk. Aroma kayu tua dan debu bercampur menjadi satu, menimbulkan kesan muram yang mencekik dada.

Jean mendesah pelan, suaranya nyaris tenggelam dalam kesunyian. “Tempat ini seperti … berhenti bernapas.”

Orion berjalan mengitari ruangan, jemarinya menyusuri permukaan meja, lalu berhenti di depan sebuah lukisan besar bergambar pemandangan gunung. Ada sesuatu yang janggal. Hembusan udara dingin menyapu wajahnya. Ia merasakan ada aliran udara samar dari balik lukisan.

“Jean,” bisiknya.

Mereka berdua menggeser lukisan itu dengan hati-hati. Di baliknya tersembunyi sebuah pintu baja, rata dengan dinding, hanya ditandai dengan papan ketik numerik kecil berwarna hitam.

Ravi yang sejak tadi ikut masuk, langsung berkomentar dengan nada cepat, penuh insting teknisi yang terbiasa menganalisis: “Bunker. Pasti semacam ruang panik. Tempat perlindungan kalau keadaan darurat.”

Namun pintu itu terkunci rapat. Orion mencoba menekan tombol-tombol acak, tetapi tidak ada respon selain bunyi beep monoton. Ravi, yang tidak pernah bisa menahan rasa penasaran, berjongkok dan meneliti bagian bawah pintu. Matanya berbinar ketika menemukan panel kecil yang hampir tersembunyi.

“Panel servis …” gumamnya sambil tersenyum tipis. “Mereka pikir bisa menyembunyikan ini dariku?”

Ia merogoh kantong ranselnya, mengeluarkan pisau lipat dan obeng kecil. Tangannya cekatan, meski beberapa kali harus berhenti karena kabel di dalam panel terlihat rumit dan berlapis. Setiap gerakan terasa menegangkan, sebuah percikan api kecil menyala ketika ia salah menghubungkan kabel. Jean tersentak, hampir mengangkat pistolnya, sementara Orion hanya menatap Ravi dengan rahang mengeras.

Waktu berjalan lambat. Hampir satu jam penuh Ravi berkutat di sana, keringat menetes dari pelipisnya meski udara dingin menusuk. Suasana terasa menyesakkan, seolah seluruh ruangan ikut menahan napas menunggu bunyi akhir.

Dan akhirnya, terdengar sebuah klik lembut.

Pintu baja itu perlahan terbuka, mengeluarkan semburan udara dingin yang steril. Rasanya berbeda dengan udara di atas, lebih murni, lebih artifisial, seakan tempat di balik pintu itu bukan lagi bagian dari dunia yang sama.

Tangga baja spiral menurun ke bawah, tenggelam dalam kegelapan. Lampu otomatis menyala satu per satu ketika Orion melangkah masuk, menerangi lorong panjang yang seakan tak berujung. Dinding logam berlapis cat putih, lantai berlapis baja dingin, dan aroma antiseptik yang menusuk hidung.

Mereka akhirnya sampai di sebuah ruang luas: Pusat Operasi Darurat Kepresidenan.

Lihat selengkapnya