Jangkitan: Wabah Zombie di Bogor

Kingdenie
Chapter #32

Jam Pasir di Dalam Istana

Berita itu jatuh seperti batu besar yang menghantam kolam tenang: gelombang-keheningan pecah menjadi riak-riak kebinasaan. Dalam dinginnya ruang kendali bawah tanah, layar monitor berganti; kalimat besar berkedip, monochrome dan kejam, mengukir satu kenyataan yang tak bisa dibantah: “TIDAK ADA YANG SELAMAT.”

Udara di bunker seketika terasa tipis karena harapan yang meledak hancur. Dengungan server terdengar ritmis, monoton, seperti detak jam pasir digital yang menghitung sisa hidup mereka. Setiap detik yang lewat terasa seperti butiran yang jatuh: tak bisa diambil kembali, tak bisa dibatalkan.

Ravi yang sejak membuka dokumen itu paling sibuk dengan logika dan kabel, yang percaya bahwa ada solusi untuk setiap masalah teknis, adalah yang runtuh pertama. Ia merosot dari kursinya dengan suara napas berat, lalu meledak dalam tawa yang kering, bunyi tawa yang bukan kebahagiaan, melainkan pengakuan akhir atas kehancuran.

Tawa itu seperti pecahan kaca di dalam malam yang sunyi. “Sudah kuduga,” suaranya patah, kata-katanya terseret oleh getar di dada. “Tentu saja. Mereka akan membakar kota … mereka akan membakar semuanya. Kita selamat dari para monster hanya untuk ... dibakar oleh manusia sendiri.” Bahunya berguncang; di atas meja kendali, kepalanya menunduk, pundaknya gemetar seolah menanggung beban dunia.

Jean berdiri, wajahnya berubah seperti kertas yang dibakar pinggirannya: kusam, retak, berasap. Ia menatap teks itu seakan melegitimasi setiap kehilangan yang pernah ia rasakan. Bukan lagi hanya tentang mereka, pikirnya; bukan lagi soal bertahan hidup saja. Ia melihat nama-nama yang telah hilang: Rani yang percaya pada janji-janji komando; Surya yang mengorbankan dirinya demi mereka; ratusan petugas yang dikasih seragam dan percaya pada tugas mulianya. Mereka semua sedang diarahkan ke lubang pemakaman kolektif yang telah direncanakan dengan dingin.

Rasa jijik menyusup, lalu berubah menjadi amarah dingin yang menusuk. “Mereka,” ucap Jean dengan suara rebah, “mereka itulah monster sebenarnya.”

Di tengah kepingan kepedihan itu, Bimo justru memancarkan ketenangan yang ganjil. Ia duduk di pojok, memeluk lutut, namun matanya tetap terang, tak lagi menoleh ke layar untuk mencari pengakuan.

“Kita enggak bisa tinggal di sini,” suaranya tenang, memecah kehampaan seperti letusan kecil. Kata-katanya sederhana, tapi membawa beban yang tak terduga. Semua kepala menoleh; di antara mereka ada kejutan, ada air mata yang hampir jatuh. “Kita enggak bisa membiarkan mereka membuang nyawa-nyawa manusia begitu saja. Kita tidak bisa menjadi saksi yang bungkam.”

Kalimat itu menjadi titik balik. Seperti api yang menyambar serat kain kering, kemarahan berubah menjadi aksi. Pilihan mereka berubah bentuk: bukan sekadar soal hidup-mati, melainkan soal tanggung jawab. Mereka adalah saksi dan, oleh karena itu, harus berbicara. Bimo, anak yang tadinya dianggap sebagai anomali mendadak menjadi alasan moral untuk melawan.

Ravi mengangkat wajahnya, matanya yang merah berkilat berkacak pinggir. Ia menghapus air mata dengan lengan baju, lalu menatap layar dengan geram baru. “Kalau operasi ini diprogram sedemikian rupa, tentu ada jaringan komunikasi yang mereka gunakan. Ada frekuensi, ada node, ada pemancar pusat. Kalau aku bisa masuk, setidaknya aku bisa menyiarkan peringatan, membuat kebingungan, menunda eksekusi. Bahkan jika tidak menggagalkan rencana, setidaknya kita memberi mereka kesempatan untuk tidak dikorbankan begitu saja.” Kata-kata Ravi keluar berombak: takut, marah, dan penuh hitungan.

Lihat selengkapnya