Udara di dalam Land Cruiser terasa tipis, dicuri oleh gema dari benturan terakhir dan rentetan tembakan yang kini mulai menjauh. Dunia di luar kaca depan adalah sebuah lukisan abstrak yang gila, sebuah kaleidoskop kehancuran yang terdistorsi oleh retakan-retakan yang menyebar dari titik peluru terakhir mendarat. Jaring laba-laba takdir, pikir Orion getir, telah menjerat mereka semua.
"Semua baik-baik saja?" teriaknya, suaranya serak, mencoba mengalahkan deru mesin V8 yang meraung marah. Cengkeramannya di kemudi begitu kuat hingga jemarinya kaku memucat, seakan baja itu satu-satunya jangkar yang menahannya dari badai.
“Aku ... aku baik," jawab Jean dari kursi penumpang. Wajahnya pucat pasi di bawah cahaya dasbor yang berkedip-kedip, tetapi matanya yang biasanya tenang kini berkilat dengan fokus yang tajam dan dingin. Ia menekan peta yang lecek itu ke pangkuannya seolah itu adalah jimat pelindung.
Dari kursi belakang, terdengar erangan kesakitan. "Sial ... lenganku ..."
Orion melirik sekilas melalui kaca spion. Ravi sedang menekan lengannya, wajahnya meringis. Darah merembes melalui sela-sela jarinya, menodai kain seragam militer yang baru mereka kenakan beberapa jam lalu. Serpihan kaca dari jendela samping yang pecah telah merobek dagingnya.
"Bimo, tekan lukanya! Gunakan apa saja!" perintah Jean, suaranya kembali menjadi jangkar di tengah badai. Tanpa ragu, Bimo merobek ujung kausnya yang masih bersih dan menekan luka Ravi dengan kedua tangannya. Kekuatan di dalam genggamannya, yang pernah ia takuti, kini ia gunakan untuk menahan aliran darah temannya. Ravi hanya bisa memejamkan mata, menahan rasa sakit yang menyengat.
Di belakang mereka, lampu sorot dari dua jip militer muncul dari balik tikungan, menyapu kegelapan seperti mata predator yang lapar. Mereka tidak menyerah.
"Pegang erat-erat," kata Orion, nadanya tidak menyisakan ruang untuk perdebatan. Ia menginjak pedal gas hingga ke lantai.
Mobil baja seberat dua ton itu melesat maju, memulai pendakiannya menuju Gunung Salak. Jalanan aspal yang tadinya mulus kini berubah menjadi ular hitam yang meliuk-liuk di lereng gunung. Di satu sisi adalah dinding batu yang lembap, di sisi lain adalah jurang yang menganga, tersembunyi dalam kegelapan pekat. Ini bukan lagi jalan raya. Ini adalah arena balap kematian.
Jip pertama mencoba menyalip dari sisi kiri. Orion, dengan insting yang diasah oleh ribuan jam latihan silat, tidak membanting setir. Ia justru sedikit menggeser mobilnya ke kiri, memaksa jip itu terlalu dekat dengan tepi jurang. Pengemudi jip itu panik, membanting setir kembali ke kanan, nyaris kehilangan kendali.
"Dua blok lagi, ada tikungan tajam ke kanan! Setelah itu jalan lurus sejauh lima ratus meter!" seru Jean, matanya bergerak cepat antara peta di pangkuannya dan kegelapan di depan, mencoba menerjemahkan garis-garis di atas kertas menjadi realitas tiga dimensi yang mematikan.
"Ravi, apa yang kau dengar?" tanya Orion.
Ravi, dengan satu tangan menekan balutan darurat Bimo dan tangan lainnya memegang headphone radio, memejamkan mata menahan sakit. "Mereka ... mereka mengarahkan semua unit patroli selatan ke arah kita," desisnya. "Mereka menyebut kita 'Target Prioritas-Alfa'. Perintahnya ... lumpuhkan kendaraan, tangkap Varian-D hidup-hidup. Yang lain ... dianggap ... uhm ... collateral."
Kerusakan tambahan. Orion merasakan amarah dingin menjalari tulangnya. Bagi mereka, nyawa Jean dan Ravi hanyalah kerusakan tambahan yang bisa diterima dalam misi untuk menangkap Bimo.
"Mereka memasang blokade jalan di depan!" pekik Ravi tiba-tiba, matanya membelalak. "Aku mendengar komandannya memberi perintah! Tiga kilometer di depan kita!"