Keheningan yang ditinggalkan oleh mesin Land Cruiser yang mati terasa lebih berat daripada kebisingan mana pun yang pernah mereka dengar. Itu adalah keheningan yang yang tak bisa ditolak, keheningan dari sebuah kegagalan. Selama beberapa saat, mereka berempat hanya duduk di dalam kabin baja yang kini terasa seperti peti mati, napas mereka menciptakan uap tipis di udara malam yang dingin, masing-masing terperangkap dalam pulau kesunyian mereka sendiri.
Orion adalah yang pertama bergerak. Ia tidak mengatakan apa-apa. Tindakan lebih berarti daripada kata-kata sekarang. Ia membuka pintu, suara deritnya terdengar seperti jeritan di tengah hutan. Ia melangkah keluar, senapan serbu di tangannya, dan mulai mengeluarkan ransel-ransel mereka dari belakang. Setiap gerakannya metodis, sebuah rutinitas yang ia paksakan pada dirinya sendiri untuk mengusir keputusasaan yang mengancam untuk menelannya.
Jean menyusul, matanya bengkak namun tatapannya tegas. Ia mulai memilah isi ransel, naluri organisatorisnya mengambil alih. Ia mengeluarkan kotak P3K, memastikan perban dan antiseptik mudah dijangkau. Ia menghitung botol-botol air mereka yang hanya tersisa enam. Ia membagi amunisi yang tersisa, memberikan satu magasin ekstra pada Ravi. Itu bukan lagi soal siapa yang paling mahir, tapi soal mendistribusikan kesempatan untuk bertahan hidup.
"Aku bisa bawa radionya," kata Ravi. Suaranya serak. Ia turun dari mobil, satu tangannya masih memegangi lengannya yang terluka, wajahnya pucat di bawah cahaya bulan yang menerobos kanopi. Radio transceiver militer itu besar dan berat, sebuah monster logam yang canggung.
"Biar aku saja," kata Orion, mencoba mengambilnya.
"Enggak usah," potong Ravi, menepis tangan Orion dengan sedikit kekuatan yang mengejutkan. "Ini ... ini tugasku." Ada determinasi baru di matanya, sebuah penebusan dosa yang sunyi. Ia mungkin pernah menjadi pengecut, tapi kini ia akan memikul beban terberat, secara harfiah, untuk membuktikan bahwa dirinya telah berubah.
Bimo tidak membantu berkemas. Ia berdiri sedikit terpisah dari yang lain, di tepi jalur penebangan kayu, menatap ke atas, ke dalam kegelapan pekat di antara batang-batang pohon pinus. Ia tidak lagi berada di dunia yang sama dengan mereka. Sementara teman-temannya berjuang dengan beban fisik berupa ransel dan senjata, Bimo berjuang dengan beban tak kasat mata yang menarik jiwanya ke puncak gunung.
Setelah semua siap, mereka berdiri sejenak menatap bangkai Land Cruiser itu. Kendaraan itu adalah simbol terakhir dari kekuatan, dari peradaban, dari harapan bahwa mereka bisa menaklukkan dunia ini dengan baja dan kecepatan. Meninggalkannya di sini terasa seperti upacara pemakaman.
"Ayo jalan," kata Orion. Dan dengan itu, mereka berbalik, memunggungi sisa-sisa terakhir dari dunia lama, dan melangkah masuk ke dalam hutan.
Pendakian itu adalah sebuah siksaan. Jalur penebangan kayu itu segera menghilang, ditelan oleh semak belukar dan akar-akar pohon yang menonjol seperti tulang-belulang dari tanah. Mereka kini harus membuat jalan mereka sendiri, menanjak di lereng yang curam. Udara semakin tipis dan dingin, menusuk paru-paru mereka yang sudah terbakar.
Hutan ini berbeda dari Kebun Raya. Jika Kebun Raya adalah taman yang sedang sekarat, hutan ini adalah sesuatu yang purba, sesuatu yang tidak pernah benar-benar peduli pada peradaban manusia dan kini mengambil kembali wilayahnya dengan keheningan yang angkuh. Suara-suara kota yang jauh telah lenyap, digantikan oleh bisikan angin di antara daun-daun pinus, suara ranting yang patah di bawah sepatu mereka, dan sesekali, pekikan aneh dari seekor burung malam yang terganggu.
Setiap suara membuat mereka tersentak. Setiap bayangan yang diciptakan oleh senter mereka yang bergetar tampak seperti sosok Jangkitan yang sedang menunggu. Orion berjalan di depan, senapannya menyapu setiap sudut, setiap gerakannya adalah perpaduan antara kewaspadaan seorang prajurit dan kelincahan seorang pesilat. Di belakangnya, Bimo berjalan dengan tatapan kosong, kakinya seolah tahu ke mana harus melangkah. Jean dan Ravi berjuang di belakang. Ravi, yang terbebani oleh radio, mulai terengah-engah, setiap langkahnya adalah erangan kesakitan yang tertahan.
"Tunggu," kata Jean, membantu Ravi bersandar di sebatang pohon. "Kita perlu istirahat."
Mereka berhenti, minum beberapa teguk air yang berharga. Di tengah keheningan itu, Bimo tiba-tiba bergumam.
"Mereka bernyanyi ..."
"Apa?" tanya Ravi, napasnya tersengal.
Bimo menekan kedua pelipisnya. "Nyanyiannya ... semakin keras. Bukan kata-kata. Seperti ... frekuensi. Dengungan yang beresonansi. Indah ... tapi menyakitkan." Wajahnya menegang kesakitan.