Kelegaan yang sempat mekar di dada mereka layu seketika, membeku oleh kata-kata Bimo yang mengerikan. Menara transmisi di depan mereka, yang tadinya adalah suar harapan di tengah lautan kegelapan, kini berubah menjadi nisan raksasa yang menandai kuburan tak dikenal. Lampu merahnya yang berkedip bukan lagi detak jantung yang menjanjikan, melainkan mata iblis yang sedang mengawasi, menunggu.
"Peringatan?" ulang Ravi, suaranya pecah menjadi bisikan serak. Tawa getir keluar dari bibirnya. "Tentu saja. Tentu saja ini jebakan. Dunia ini enggak akan pernah memberi kita kemenangan yang mudah, kan?" Ia merosot duduk di atas batu yang dingin, energi terakhir seolah terkuras habis dari tubuhnya oleh satu kalimat itu.
Orion tidak membiarkan keputusasaan itu mengakar. Ia berjalan ke arah Bimo, berlutut di depannya hingga mata mereka sejajar. Ia mengabaikan gemetar di tubuh anak itu, mengabaikan teror di matanya, dan fokus pada satu hal: kebenaran.
"Apa yang kau rasakan, Bim?" tanya Orion, suaranya tenang dan mantap, sebuah jangkar di tengah badai emosi. "Jelaskan padaku."
Bimo menelan ludah, mencoba memberi bentuk pada kengerian yang ia rasakan. "Itu ... bukan suara ... tapi getaran di dasar tengkorakku," katanya, suaranya gemetar. "Selama ini aku kira itu panggilan, karena ia menarikku ke sini. Tapi sekarang ... sekarang kita sudah dekat, aku bisa merasakannya dengan jelas. Ini adalah teriakan. Teriakan 'JANGAN MENDEKAT' yang terus berulang. Ada sesuatu di dalam gedung itu ... sesuatu yang membuat semua Jangkitan lain takut. Sang Alfa ... dia enggak takut. Dia hanya ... menunggu di luar jangkauan teriakan itu. Dia menggunakan kita untuk membuka jalan."
Kenyataan itu menghantam mereka dengan brutal. Mereka bukan hanya umpan. Mereka adalah kunci pas yang dilemparkan ke dalam mesin yang mengerikan, diharapkan untuk merusaknya agar sang Alfa bisa masuk dan mengambil alih.
"Lalu apa yang kita lakukan?" tanya Jean, suaranya dipenuhi kekalahan. "Kita kembali? Menunggu bom itu jatuh?"
"Enggak," kata Orion, bangkit berdiri. Wajahnya adalah topeng baja yang dingin, ditempa oleh kehilangan dan pengkhianatan. "Kita enggak punya tempat untuk kembali. Enggak ada jalan lain selain maju." Ia menatap menara itu, bukan lagi sebagai tujuan, melainkan sebagai rintangan terakhir. "Apapun yang ada di dalam sana, ia juga tidak ingin sang Alfa menang. Mungkin ... mungkin musuh dari musuh kita adalah ..." Ia tidak menyelesaikan kalimatnya. Tidak ada gunanya memberi harapan palsu.
"Kita mendekat," katanya sebagai perintah. "Dengan hati-hati. Bimo, kau di depan bersamaku. Beri tahu kami setiap gerakan, setiap suara."
Perjalanan terakhir menuju kompleks menara adalah yang paling menegangkan. Hutan pinus di sekitar mereka menjadi semakin sunyi. Suara-suara alam yang tadinya menemani mereka. Desau angin, pekikan burung hantu kini lenyap total. Seolah-olah mereka telah memasuki sebuah zona mati, sebuah ruang hampa di mana kehidupan takut untuk bersuara.
Saat mereka keluar dari barisan pohon terakhir, mereka melihatnya. Kompleks menara itu dikelilingi oleh pagar kawat tinggi, dan di dalamnya, di halaman yang luas, pemandangan itu terbentang. Puluhan sosok bergerak dalam keheningan yang tidak wajar. Mereka adalah Varian-B, para "Pekerja". Mereka tidak buas, tidak agresif. Gerakan mereka kaku, repetitif, dan penuh dengan tujuan yang mengerikan.
Mereka tidak membangun barikade pertahanan. Mereka membangun sesuatu yang lain. Mereka menumpuk batu-batu pipih dengan presisi seorang pembuat Zen garden yang gila, membentuk spiral-spiral aneh di tanah. Mereka menggantung potongan-potongan logam dan kaca di dahan-dahan pohon terdekat, yang bergemerincing pelan saat tertiup angin, menciptakan musik lonceng yang sumbang dan menakutkan. Ini bukan persiapan perang. Ini adalah sebuah ritual. Sebuah persembahan.
"Mereka ... menyembahnya," bisik Jean ngeri. "Apapun yang ada di dalam, mereka menyembahnya."
Mereka merayap di tanah yang basah oleh embun, berlindung di balik bayang-bayang pepohonan di batas terluar. Mereka harus melewati lapangan terbuka ini untuk mencapai gedung operasional.
"Ada pagar listrik," desis Ravi, menunjuk ke isolator keramik yang terpasang di tiang-tiang pagar. "Masih aktif. Aku bisa melihat bunga api kecil sesekali."