Pintu baja di depan mereka adalah sebuah titik. Sebuah akhir yang dingin dan absolut dari sebuah kalimat yang tidak ingin mereka selesaikan. Harapan, yang tadinya sempat berkobar seperti api unggun di tengah kegelapan, kini padam menjadi bara yang nyaris tak terlihat, dihembus oleh angin dingin fajar yang mulai terasa di punggung mereka. Waktu adalah musuh yang tak terlihat, dan pintu ini adalah bentengnya.
Orion menekan bahunya ke permukaan baja yang sedingin es itu, mendorong dengan seluruh sisa kekuatannya. Tidak ada yang bergerak. Pintu itu seolah menyatu dengan fondasi gunung itu sendiri. Ravi, dengan senter yang dipegang di antara giginya, meneliti setiap senti dari tepi pintu, mencari panel, engsel, atau celah apa pun. Hasilnya nihil.
"Ini bukan dikunci, ini dilas," desis Ravi, frustrasinya terdengar jelas. "Seseorang di dalam sana enggak ingin apa pun masuk ... atau keluar."
Mereka terdiam, kekalahan terasa seperti debu di mulut mereka. Di belakang mereka, di halaman yang dipenuhi patung-patung batu yang aneh, para Penjaga Varian-B masih bergerak dalam ritual sunyi mereka, tidak menyadari kehadiran para penyusup. Tapi berapa lama lagi? Di kejauhan, sang Alfa menunggu. Dan di langit, sebuah jet pengebom mungkin sedang mengisi bahan bakarnya.
Saat itulah Bimo, yang sejak tadi berdiri diam dengan mata terpejam, melangkah maju. "Bukan pintunya," bisiknya, suaranya nyaris tak terdengar. Ia tidak menunjuk dengan tangannya. Ia seolah menunjuk dengan seluruh kesadarannya. "Di sana."
Ia mengarahkan mereka ke sisi kiri gedung, ke dinding beton kosong yang ditumbuhi lumut. Tidak ada apa-apa di sana.
"Bimo, itu dinding," kata Jean lembut, mengira anak itu mulai berhalusinasi karena stres.
"Bukan," jawab Bimo. "Aku bisa ... merasakannya. Udara. Bergerak sangat pelan. Di dalam dinding. Ada lubang."
Orion menyalakan senternya ke arah yang ditunjuk Bimo. Awalnya ia tidak melihat apa-apa. Tapi saat ia berjongkok, ia menyadarinya. Tersembunyi di balik semak belukar yang lebat, sekitar setengah meter dari tanah, ada sebuah jeruji ventilasi logam yang sudah berkarat parah, ukurannya tidak lebih besar dari jendela kecil.
Itu adalah sebuah kemungkinan yang nyaris mustahil, sebuah lubang kelinci menuju jantung kegelapan.
"Aku dan Ravi akan masuk," kata Orion tanpa ragu. "Jean, Bimo, tetap di sini. Beri kami peringatan jika ada yang mendekat. Jangan bersuara."
Membongkar jeruji itu adalah pekerjaan yang menyiksa saraf. Setiap tarikan pada logam yang berkarat itu menghasilkan suara erangan yang seolah bisa membangunkan seluruh penghuni gunung. Tapi akhirnya, dengan satu tarikan kuat dari Orion, jeruji itu lepas.
Lorong ventilasi di baliknya gelap, sempit, dan berbau seperti debu dan bangkai tikus. Sebuah tempat sempit yang mencekam.
"Aku duluan," kata Orion. Ia menyalakan senter ponselnya dan mulai merayap masuk. Ruangnya begitu sempit hingga bahunya bergesekan dengan kedua sisi dinding logam. Di belakangnya, ia bisa mendengar napas Ravi yang berat dan tersengal. Perjalanan itu sangat menyesakkan dada, sebuah ziarah melalui perut mekanis dari sebuah binatang yang sedang tidur.
Akhirnya, setelah merayap selama beberapa menit yang penuh siksaan, Orion melihat cahaya redup di depan. Sebuah penutup ventilasi lain. Ia mendorongnya perlahan. Penutup itu jatuh ke lantai dengan bunyi keras yang terdengar seperti ledakan di tengah keheningan.
Mereka membeku, mendengarkan. Tidak ada respons.
Orion menjulurkan kepalanya keluar. Mereka berada di dalam. Ruangan itu gelap, hanya diterangi oleh lampu-lampu indikator dari deretan server yang berdengung pelan. Ia melompat turun, diikuti oleh Ravi. Mereka berhasil. Dengan cepat, mereka menemukan panel kontrol darurat di dekat pintu dan, setelah beberapa kali mencoba, berhasil membuka kunci magnetisnya.