Jangkitan: Wabah Zombie di Bogor

Kingdenie
Chapter #42

Di Antara Dua Neraka

"Masalahnya ... aku rasa mereka semua mendengarnya."

Kata-kata Orion terasa seperti vonis mati di udara fajar yang dingin. Kemenangan sesaat mereka terasa hampa, sebuah ironi pahit yang kini menjebak mereka di puncak Gunung Salak. Di bawah, di lembah, simfoni perang saudara mulai dimainkan. Gema tembakan senapan serbu, ledakan sporadis, dan deru kendaraan lapis baja yang samar-samar merambat naik, sebuah janji akan neraka buatan manusia. Di belakang mereka, dari arah menara yang kini sunyi, sebuah raungan kemenangan yang lelah dari sang Alfa memecah keheningan, sebuah janji akan neraka buatan monster.

Mereka terperangkap di antara dua jenis kiamat.

"Kita harus bergerak," kata Orion, suaranya serak, memecah kelumpuhan yang mencengkeram mereka. "Kita tidak bisa turun. Kita juga tidak bisa tinggal. Kita harus masuk lebih dalam ke hutan. Ke arah barat, menjauhi Bogor dan menara."

Pelarian mereka adalah sebuah penurunan dari puncak dunia ke dalam neraka hijau yang paling purba. Ini bukan lagi soal mengikuti peta, melainkan soal mengikuti bisikan ketakutan. Hutan di sisi barat Gunung Salak lebih rapat, lebih liar, sebuah labirin dari pohon-pohon raksasa dan sulur-sulur yang menjerat. Mereka bergerak dalam keheningan yang tegang, hanya dipecah oleh suara napas mereka yang berat dan ranting yang patah di bawah sepatu.

Bimo adalah kompas mereka. Ia berjalan di belakang Orion, matanya lebih sering terpejam daripada terbuka, kepalanya sedikit miring seolah mendengarkan musik yang hanya bisa ia dengar. "Dia di sana," bisiknya tiba-tiba, menunjuk ke sebuah punggungan di sebelah kanan mereka. "Dia tidak mengikuti jejak kita. Dia bergerak paralel. Dia tahu ke mana kita akan pergi. Dia ... menggiring kita."

Kesadaran itu jauh lebih menakutkan daripada pengejaran membabi buta. Sang Alfa tidak sedang memburu; ia sedang bermain. Hutan ini adalah papan caturnya, dan mereka adalah bidak yang sedang digiring menuju sebuah skakmat yang tak terlihat. Setiap jam, kelelahan fisik mulai menggerogoti mereka, tetapi tekanan mental jauh lebih buruk. Setiap bayangan tampak seperti sang Alfa, setiap desau angin terdengar seperti geramannya.

Saat mereka menuruni lereng yang curam dan licin, mereka mulai mendengar suara pertempuran manusia dengan lebih jelas. Sebuah helikopter militer terbang rendah di atas mereka, begitu dekat hingga angin dari baling-balingnya merobek dedaunan. Mereka menjatuhkan diri ke tanah, bersembunyi di balik semak-semak. Mereka melihat dua faksi. Satu dengan seragam standar, yang lain dengan pita kuning di lengan mereka, para "pembangkang" terlibat dalam baku tembak brutal di sebuah desa kecil di kaki gunung.

Kebenaran yang mereka siarkan tidak membawa perdamaian. Ia hanya menciptakan dua sisi dari neraka yang sama.

Menjelang siang, mereka akhirnya sampai di kaki gunung. Mereka kelelahan, dehidrasi, dan putus asa. Hutan di belakang mereka terasa semakin mengancam. Sang Alfa, Bimo bisa merasakannya, mulai menutup jarak. Ia sudah bosan bermain. Di depan mereka, zona perang yang aktif. Mereka benar-benar tidak punya tempat untuk lari.

Mereka berlindung di balik reruntuhan sebuah warung pinggir jalan, mengatur napas terakhir mereka, menunggu akhir datang dari salah satu dari dua arah.

"Aku minta maaf," isak Ravi, bersandar di dinding yang hancur. "Siaran itu ... seharusnya menyelamatkan orang. Bukan ini ..."

"Kau melakukan hal yang benar, Rav," kata Jean, meskipun suaranya tidak memiliki keyakinan.

Saat itulah mereka mendengarnya. Raungan sang Alfa. Sangat dekat. Makhluk itu muncul dari barisan pepohonan, bergerak dengan kecepatan yang mengerikan, tubuhnya yang ramping dan terluka kini tampak lebih buas dari sebelumnya.

Mereka mengangkat senjata mereka, sebuah tindakan pembangkangan terakhir yang sia-sia. Sang Alfa berhenti sekitar lima puluh meter dari mereka, menggeram pelan, menikmati momen sebelum membunuh.

Tiba-tiba, dari arah jalan raya, terdengar deru mesin yang jauh lebih besar. Sebuah Panser Anoa 6x6, dicat dengan kamuflase digital dan dihiasi pita kuning di antenanya, menerjang keluar dari jalan, menghancurkan pagar-pagar kecil dan meluncur lurus ke arah mereka.

"Sial! Para pembangkang!" teriak Orion.

Panser itu berhenti di antara mereka dan sang Alfa. Pintu belakangnya terbuka dan beberapa prajurit berseragam lengkap melompat keluar, langsung melepaskan tembakan terkendali ke arah sang Alfa. Peluru-peluru itu menghantam tubuh makhluk itu, membuatnya meraung kesakitan dan mundur beberapa langkah. Sang Alfa, yang mungkin bisa menghadapi empat remaja yang kelelahan, tidak siap untuk menghadapi daya tembak militer. Dengan satu geraman frustrasi terakhir, ia berbalik dan menghilang kembali ke dalam hutan.

Orion dan yang lain hanya bisa menatap dengan tak percaya. Pintu palka di atas panser terbuka, dan seorang perwira dengan baret hijau dan wajah tegas melompat turun. Ia berjalan ke arah mereka, senapannya tersandang santai di bahunya. Ia tidak menunjukkan permusuhan.

Lihat selengkapnya