"Selamat datang di perang yang sesungguhnya."
Kata-kata itu jatuh seperti pedang algojo di tengah keheningan agung ruang kerja kepresidenan. Udara yang tadinya terasa penuh harapan kini menjadi tipis dan menyesakkan, dicuri oleh pengkhianatan terbesar dan paling personal yang pernah Orion bayangkan.
Wajah kakeknya, wajah yang sama yang pernah mengajarinya tentang kehormatan, yang pernah tersenyum bangga saat ia berhasil menguasai jurus silat baru, kini adalah topeng dari monster yang paling mengerikan. Monster dengan alasan, monster dengan filosofi.
Dunia Orion terbelah menjadi dua. Di satu sisi, ada ribuan kenangan hangat: sore hari di dojo yang berbau kayu dan keringat, di mana tangan keriput itu dengan sabar memperbaiki postur kuda-kudanya; pagi hari di tepi danau, di mana suara tawa serak itu mengajarinya cara melempar umpan; malam hari di beranda, di mana suara dalam itu bercerita tentang disiplin, keseimbangan, dan tugas seorang lelaki untuk melindungi mereka yang lebih lemah.
Di sisi lain, ada kenyataan yang brutal dan mustahil di hadapannya: lelaki yang sama, berdiri di jantung konspirasi yang telah membakar dunianya, mengaku sebagai arsitek dari kiamat itu sendiri. Kedua realitas itu berperang di dalam benaknya, menciptakan badai kognitif yang melumpuhkan. Senapan serbu di tangannya terasa berat dan tidak berguna. Bagaimana kau menembak fondasi dari seluruh duniamu?
"Kakek ... kenapa?" Suara Orion pecah, bukan lagi pertanyaan, melainkan sebuah ratapan yang keluar dari lubuk jiwanya yang paling dalam.
Sang Jenderal yang juga kakeknya itu tersenyum. Senyum itu, yang dulu selalu menjadi sumber kehangatan, kini terasa dingin seperti es, dipenuhi oleh kesedihan seorang dewa yang kecewa pada ciptaannya.
"Karena dunia ini sedang sekarat, Yon," katanya, suaranya tenang dan terukur, seolah sedang memberikan pelajaran terakhir di dojo. "Lihatlah sekelilingmu, bahkan sebelum wabah ini datang. Korupsi, ketidakadilan, kelemahan yang diagung-agungkan. Manusia telah menjadi wabah bagi planet ini. Mereka butuh api untuk membersihkan hutan yang sakit, agar pohon-pohon yang kuat bisa tumbuh kembali."
"Dan para Jangkitan itu ... apimu?" desis Jean, amarah memberinya kekuatan untuk berdiri tegak di samping Orion, tangannya secara protektif terulur di depan Bimo. "Membunuh jutaan orang tak berdosa?"
Mata sang Jenderal beralih ke Jean, tatapannya dingin dan menusuk, seolah sedang menganalisis sebuah variabel yang tidak signifikan. "Tidak ada yang tak berdosa, Nak," balasnya. "Hanya ada yang kuat dan yang lemah. Aku mengajarinya tentang keseimbangan," katanya, menunjuk Orion dengan dagunya. "Alam selalu mencari keseimbangan. Manusia telah merusaknya. Aku hanya ... membantunya."
Ia berjalan perlahan mengitari peta holografik, gerakannya anggun dan penuh percaya diri. "Proyek Chimera adalah filternya. Sebuah proses seleksi alam yang dipercepat. Mereka yang selamat, yang punya kecerdasan dan kekuatan untuk beradaptasi, seperti kalian adalah benih dari peradaban baru. Sebuah tatanan dunia yang dibangun di atas disiplin dan kekuatan, bukan sentimentalitas busuk yang kalian sebut 'kemanusiaan'."
Ia berhenti di depan Bimo, menatap anak itu bukan sebagai manusia, melainkan sebagai sebuah spesimen yang luar biasa. "Dan dia," katanya, suaranya dipenuhi kekaguman yang dingin, "dia adalah anomali yang paling indah. Sebuah kesalahan dalam program yang justru menjadi kunci segalanya. Hartoyo dan para politikus bodoh itu melihatnya sebagai ancaman yang harus dimusnahkan. Aku melihatnya sebagai alat kendali. Dengan Varian-D, wabah ini bukan lagi api liar. Ia menjadi pisau bedah yang bisa kuarahkan sesuka hatiku."
"Ini bukan evolusi! Ini pemusnahan!" teriak Ravi, keberaniannya yang baru ditemukan mengalahkan rasa takutnya. "Anda bukan Tuhan, Anda hanya seorang pembunuh massal dengan kompleks superioritas!"
Sang Jenderal menoleh pada Ravi, senyum tipis tersungging di bibirnya. "Anak muda yang cerdas, tapi masih naif. Tentu saja aku bukan Tuhan. Aku hanyalah seorang tukang kebun, yang mencabut rumput liar agar bunga-bunga terbaik bisa mekar."
Ia kembali menatap Orion. "Sama seperti gadis pengkhianat itu, Elena. Sebuah rumput liar yang cerdas. Aku mendengar ia mencoba memanipulasi kalian dengan cerita tentang fasilitas ayahnya di Sentul."