Jangkitan: Wabah Zombie di Bogor

Kingdenie
Chapter #44

Sangkar Emas dan Kenangan Pahit

Kesadaran datang kembali bukan sebagai sebuah anugerah, melainkan sebagai sebuah siksaan yang lambat. Hal pertama yang Orion rasakan adalah kelembutan. Kain seprai yang halus di kulitnya, bantal empuk yang menopang kepalanya, dan kehangatan selimut tebal yang menyelimuti tubuhnya. Itu adalah sensasi yang begitu asing, begitu tidak pada tempatnya, hingga terasa lebih menakutkan daripada dinginnya lantai beton atau tajamnya serpihan kaca.

Ia membuka matanya perlahan. Dunianya tidak lagi berwarna merah darah dari lampu darurat atau abu-abu dari asap. Ia berada di sebuah kamar tidur yang mewah. Dindingnya dihiasi oleh panel kayu gelap yang mengkilap, sebuah lukisan pemandangan tergantung dengan sempurna di atas kepala tempat tidur berukir, dan melalui celah tirai sutra yang tebal, cahaya matahari pagi yang lembut menyelinap masuk, menyoroti partikel debu yang menari di udara seperti kunang-kunang emas.

Di samping tempat tidurnya, di atas sebuah meja kecil, terhidang sebuah nampan. Roti panggang, buah-buahan segar, dan segelas susu. Di sebuah kursi, terlipat dengan rapi satu set pakaian bersih: kaus katun dan celana kargo.

Ini adalah surga. Dan Orion tahu, dengan kepastian yang menusuk hingga ke tulang, bahwa ia telah masuk ke dalam neraka yang paling dalam.

Rasa sakit fisik datang kemudian, sebuah jangkar yang menariknya kembali ke realitas yang brutal. Kepalanya berdenyut-denyut menyakitkan, sisa dari efek gas. Bahunya, tempat peluru karet itu menghantam, terasa seperti ditusuk oleh ribuan jarum panas. Setiap tarikan napas terasa sakit, pengingat akan tulang rusuk yang mungkin retak.

Lalu, ingatan itu menghantamnya. Wajah kakeknya. Pengkhianatan. Senyum kecewa yang mengerikan itu.

“Pelajaran terakhirmu, Orion. Selamat datang di perang yang sesungguhnya.”

Orion tersentak duduk, mengabaikan rasa sakit yang merobek bahunya. Ia menyibak selimut, kakinya menapak di atas karpet tebal yang lembut. Ia sendirian. Kamar itu adalah sebuah sangkar emas yang sempurna, dirancang untuk mematahkan semangatnya dengan kenyamanan, bukan dengan kekerasan. Sebuah bentuk siksaan psikologis yang hanya bisa dirancang oleh seseorang yang mengenalnya luar dalam. Seseorang yang tahu bahwa bagi Orion, penderitaan fisik adalah hal yang biasa, tetapi perampasan kebebasan dan tujuan adalah kematian yang sesungguhnya.

Ia berjalan tertatih-tatih ke jendela, menyibak sedikit tirai sutra yang berat. Di bawah, di halaman Istana Kepresidenan yang terawat sempurna, ia melihat para prajurit berpita kuning. Mereka tidak lagi tampak seperti pemberontak yang tergesa-gesa. Mereka bergerak dengan disiplin dan efisiensi yang dingin, mendirikan pos-pos jaga, membongkar muatan dari truk-truk logistik. Ini bukan lagi markas sementara. Ini adalah pusat dari sebuah rezim baru yang sedang lahir.

Amarah, yang tadinya terkubur di bawah syok dan rasa sakit, mulai membara di dalam dirinya. Amarah yang begitu panas hingga terasa seperti demam. Setiap kenangan indah tentang kakeknya kini terasa seperti kebohongan, setiap pelajaran tentang kehormatan kini terasa seperti sebuah lelucon yang kejam.

“Keseimbangan, Yon. Seorang pesilat harus menjadi pusat dari keseimbangan.” Ia teringat suara kakeknya di dojo, bertahun-tahun yang lalu.

“Keseimbangan macam apa yang dibangun di atas kuburan jutaan orang?” balas Orion dalam benaknya, suaranya dipenuhi kebencian.

“Lindungi yang lemah. Gunakan kekuatanmu untuk mereka yang tidak punya.”

“Kau menyebut mereka ‘rumput liar’ yang harus dicabut!”

Setiap kenangan adalah sebuah siksaan, setiap pelajaran kini menjadi sebuah tuduhan. Ia menatap pantulan dirinya di kaca jendela, seorang pemuda yang babak belur, dengan mata yang dipenuhi oleh kelelahan dan kemarahan seorang lelaki tua. Kakeknya tidak hanya menghancurkan dunianya; ia telah menghancurkan masa lalunya, meracuni setiap kenangan indah yang pernah Orion pegang erat-erat.

Pintu kamar terbuka tanpa ketukan.

Orion berbalik, tangannya secara refleks mengepal, siap untuk bertarung. Tapi yang berdiri di ambang pintu bukanlah seorang prajurit. Itu adalah kakeknya. Ia tidak mengenakan seragam jenderalnya. Ia mengenakan pakaian santai: kemeja katun dan celana panjang, seolah ia baru saja bangun untuk menikmati pagi di vilanya. Di tangannya, ia membawa sebuah papan catur dari kayu dan dua cangkir teh yang masih mengepul.

Lihat selengkapnya