Jangkitan: Wabah Zombie di Bogor

Kingdenie
Chapter #45

Pelajaran Pertama: Kandang Serigala

Malam di dalam sangkar emas itu adalah sebuah neraka sunyi yang panjang. Orion tidak tidur. Ia duduk di kegelapan kamar mewahnya, pisau perak dari nampan makan malam tergenggam erat di tangannya. Benda itu adalah satu-satunya hal yang nyata di tengah dunia yang telah menjadi ilusi. Setiap kali ia memejamkan mata, ia melihat wajah kakeknya, mendengar pelajarannya tentang kehormatan, lalu bayangan itu akan meleleh menjadi seringai dingin sang Jenderal. Ia adalah tikus di dalam labirin yang dibangun oleh mentornya sendiri, dan setiap jalan keluar yang ia temukan selama ini ternyata hanyalah bagian dari desain sang arsitek.

Pagi datang bukan dengan kehangatan, melainkan dengan efisiensi yang dingin. Pintu terbuka tepat pukul tujuh pagi. Mayor Santoso berdiri di sana bersama dua prajurit Kobra. Wajah mereka tersembunyi di balik helm dan kacamata taktis, mengubah mereka dari manusia menjadi mesin.

"Jenderal menunggu Anda di fasilitas pelatihan," kata Santoso, suaranya datar, tanpa emosi.

Orion tidak melawan. Ia tahu itu sia-sia. Ia menyembunyikan pisau itu di balik ikat pinggangnya, di punggung, lalu mengenakan kaus bersih yang telah disiapkan. Ia membiarkan mereka menggiringnya keluar dari kamar. Perasaan diperlakukan seperti tahanan oleh orang-orang yang seharusnya menjadi rekannya adalah sebuah penghinaan yang membakar lebih panas daripada amarah.

Mereka tidak membawanya ke dojo atau lapangan tembak. Mereka membawanya turun, lebih dalam ke kompleks bawah tanah Istana Kepresidenan. Lorong-lorong marmer yang megah berganti menjadi koridor-koridor beton yang steril, dicat putih, dan diterangi oleh lampu neon yang berkedip tanpa henti. Udara berbau antiseptik dan ozon. Ini adalah jantung ilmiah dari rezim baru kakeknya.

Mereka berhenti di depan sebuah pintu baja tebal yang berdesis terbuka, menampakkan sebuah ruang observasi. Ruangan itu gelap, didominasi oleh sebuah jendela kaca satu arah yang sangat besar. Di dalamnya, Kakek Orion sudah menunggu, berdiri dengan tangan bertaut di belakang punggung, menatap ke dalam ruang di balik kaca. Ia kembali mengenakan seragam jenderalnya yang rapi, seolah sedang menginspeksi pasukannya.

"Selamat pagi, cucuku," katanya tanpa menoleh. "Aku harap kau tidur nyenyak. Pelajaran pertamamu akan segera dimulai."

"Aku enggak butuh pelajaran darimu," desis Orion.

"Oh, tentu saja kau butuh," balas kakeknya, akhirnya menoleh. Matanya tidak menunjukkan kemarahan, hanya kesabaran seorang guru yang menghadapi murid yang lamban. "Pelajaran terpenting dari semuanya: memahami asetmu. Kau tidak bisa memimpin pasukan jika kau tidak mengerti sifat asli dari prajuritmu."

Ia memberi isyarat ke arah kaca. Lampu di ruangan sebelah menyala terang, menampakkan sebuah arena latihan, sebuah "kill house" yang dipenuhi oleh dinding-dinding palsu dan rintangan.

Sebuah pintu di ujung arena terbuka, dan sesosok Jangkitan Varian-A dilepaskan ke dalamnya. Makhluk itu kurus, pucat, dan matanya merah menyala-nyala dengan kelaparan murni. Ia bergerak gelisah, mencakar-cakar dinding, menggeram pelan.

"Lihatlah," kata sang Jenderal, suaranya menjadi dingin dan klinis. "Insting murni. Tidak ada rasa takut, tidak ada penyesalan, tidak ada moralitas yang membebaninya. Hanya ada tujuan: mencari dan menghancurkan."

"Itu monster," kata Orion, muak.

"Itu adalah prajurit yang sempurna," koreksi kakeknya. "Dan untuk membuktikannya ..." Ia menekan sebuah tombol di konsol di dekatnya.

Sebuah pintu lain di arena terbuka. Dua prajurit Kobra mendorong seorang lelaki yang gemetar masuk ke dalam. Lelaki itu mengenakan seragam militer standar yang robek, tanpa pita kuning. Seorang loyalis dari faksi Hartoyo yang tertangkap. Wajahnya pucat pasi karena teror.

"Enggak," bisik Orion, mengerti apa yang akan terjadi. "Jangan lakukan ini."

"Seorang pemimpin harus membuat keputusan yang sulit, Orion," kata kakeknya, matanya terpaku pada pemandangan di balik kaca. "Ia harus rela mengorbankan bidak untuk mencapai kemenangan. Pelajaran kedua."

Prajurit yang ketakutan itu melihat sang Jangkitan. Ia berteriak dan mencoba berlari kembali ke pintu, tapi pintu itu sudah tertutup dan terkunci. Sang Jangkitan, yang merasakan kehadiran mangsa, menoleh. Ia tidak ragu-ragu. Dengan jeritan melengking, ia menerjang.

Orion memalingkan wajahnya, tapi tangan kakeknya yang sekuat baja mencengkeram bahunya, memaksanya untuk melihat. "Tonton," perintahnya, suaranya keras. "Lihatlah efisiensinya. Lihatlah kekuatan yang tidak dibatasi oleh belas kasihan. Inilah kekuatan yang sesungguhnya, Yon. Sesuatu yang akan kau pelajari untuk kau pimpin."

Orion terpaksa menyaksikan pembantaian itu. Jeritan prajurit itu, suara daging yang robek, geraman kemenangan sang Jangkitan. Itu adalah sebuah siksaan yang dirancang khusus untuknya, untuk membunuh bagian terakhir dari dirinya yang masih percaya pada belas kasihan.

Lihat selengkapnya