Jangkitan: Wabah Zombie di Bogor

Kingdenie
Chapter #46

Pelajaran Praktis: Gema dan Pengkhianat

Malam tidak memberikan istirahat, hanya jeda yang gelisah. Orion menghabiskan jam-jam panjang dalam kegelapan kamar mewahnya, tidak tidur, melainkan bermeditasi. Ia tidak mencari ketenangan, melainkan ketajaman. Ia mengubah ruangan itu menjadi sebuah dojo di dalam benaknya. Ia memetakan setiap sudut, menghitung langkah dari tempat tidur ke pintu, dari pintu ke jendela. Ia merasakan berat pisau perak yang tersembunyi di balik ikat pinggangnya, bilahnya yang dingin menekan punggungnya, sebuah pengingat akan satu-satunya variabel yang tidak diketahui oleh kakeknya. Ia tidak lagi hanya bereaksi. Ia mulai merencanakan.

Pagi datang dengan efisiensi yang sama dinginnya seperti hari sebelumnya. Pukul tujuh tepat, Mayor Santoso dan dua prajurit Kobra masuk tanpa mengetuk. Wajah mereka adalah topeng baja dan kaca yang tak bisa ditembus.

"Jenderal menunggu Anda di Ruang Peta," kata Santoso, suaranya datar.

Orion menurut tanpa perlawanan. Setiap langkahnya kini terukur. Ia mengamati pola patroli di koridor, formasi para penjaga, dan lokasi kamera-kamera keamanan yang berkedip seperti mata laba-laba merah. Ia bukan lagi seorang tahanan yang putus asa; ia adalah seorang mata-mata di wilayah musuh.

Mereka tiba di ruang komando utama, tempat di mana dunianya telah hancur. Peta holografik raksasa di tengah ruangan kembali menyala, menampilkan lanskap Bogor yang babak belur, kini dipenuhi oleh ikon-ikon pasukan berpita kuning yang bergerak dengan formasi yang sempurna. Kakeknya berdiri di sana, membelakanginya, menatap peta itu seperti seorang dewa yang sedang mengagumi papan permainannya.

"Pelajaran kemarin adalah tentang memahami aset," kata sang Jenderal tanpa menoleh. "Hari ini adalah tentang bagaimana menggunakannya. Sebuah pelajaran praktis."

Ia menunjuk ke sebuah sektor di bagian utara kota yang berkedip-kedip merah di peta. "Di sini," katanya. "Sebuah kantong perlawanan. Sisa-sisa loyalis Hartoyo. Sekitar lima puluh orang. Mereka merepotkan, melakukan serangan gerilya, mengganggu jalur suplai kita. Mereka sentimental dan bodoh, tapi mereka terlatih."

Ia akhirnya berbalik, matanya menatap Orion dengan intensitas seorang guru yang sedang menguji muridnya. "Seorang pemimpin tidak hanya mengamati, Yon. Ia bertindak. Hari ini, kau akan membantuku merencanakan pembersihan sektor ini. Kau akan menggunakan logikamu, bukan sentimentalitasmu, untuk merancang sebuah serangan yang akan memusnahkan mereka dengan efisiensi maksimum dan korban seminimal mungkin ... di pihak kita."

Ini adalah ujian yang paling kejam. Sebuah tes loyalitas yang dibungkus dalam sebuah latihan taktis. Kakeknya tidak hanya ingin ia patuh; ia ingin Orion menjadi bagian dari kekejamannya, ingin Orion menodai tangannya sendiri dengan darah dari rencana yang ia buat.

Orion merasakan gelombang mual, tapi ia menekannya dalam-dalam, menggantinya dengan topeng baja yang dingin. Ia melangkah mendekati peta itu. Jika kakeknya ingin ia menjadi seorang ahli strategi, maka ia akan memberikannya seorang ahli strategi. "Mereka bersembunyi di area industri padat," kata Orion, suaranya terdengar datar dan analitis, sebuah peniruan yang sempurna dari nada bicara kakeknya. "Menyerang langsung dari selatan akan menjadi pembantaian. Mereka punya posisi tinggi di atap-atap pabrik."

Kakeknya mengangkat alis, sedikit terkesan. "Lanjutkan."

"Kita butuh pengalihan," kata Orion, jarinya menelusuri peta digital itu. "Sebuah serangan besar dari timur, di sini, akan menarik sebagian besar kekuatan mereka. Sementara mereka sibuk, sebuah tim kecil bisa menyusup dari utara melalui jaringan selokan tua ini, memotong jalur mundur mereka. Lalu, tim utama menyerang dari selatan. Taktik penjepit klasik."

Saat Orion "bermain" catur dengan nyawa manusia, di bagian lain dari penjara bawah tanah itu, teman-temannya sedang bertarung dalam perang mereka sendiri.

Jean kembali duduk di seberang Dr. Melina. Kali ini, ia tidak lagi melawan dengan amarah. Ia memasang topeng kelelahan dan keputusasaan. "Aku tidak tahu," jawabnya atas setiap pertanyaan, suaranya pelan dan kosong. Ia membiarkan dokter itu percaya bahwa semangatnya telah patah, bahwa ia kini hanyalah sebuah cangkang kosong. Tapi di dalam, otaknya bekerja tanpa henti, menganalisis setiap kata, setiap jeda, mencari celah, sambil menunggu. Menunggu sinyal yang ia tahu pasti akan datang.

Di bengkel teknologi, Ravi telah membuat keputusannya. "Baiklah," katanya pada teknisi yang mengawasinya. "Aku akan mencobanya." Ia duduk di depan perangkat komunikasi terenkripsi itu. Tangannya bergerak dengan kecepatan yang familier, baris-baris kode mulai muncul di layar. Ia berpura-pura sedang membobol perangkat itu. Tapi itu hanya kedok. Di dalam sebuah partisi tersembunyi yang ia ciptakan, ia sedang menulis sebuah program virus yang sederhana namun mematikan, dirancang untuk satu tujuan: meruntuhkan seluruh jaringan listrik internal istana dalam satu perintah. Jari-jarinya gemetar karena antisipasi.

Dan di laboratorium medis, Bimo menjadi pusat dari eksperimen yang semakin intens. Mereka kini menguji batas dari kemampuan sensoriknya, memaparkannya pada berbagai frekuensi audio dan elektromagnetik. Tapi setiap kali mereka mengirimkan sebuah gelombang energi melalui tubuhnya, mereka secara tidak sadar memberinya sebuah kendaraan. Kesadarannya, yang kini semakin kuat dan terlatih, belajar untuk menunggangi gelombang-gelombang itu.

Ia tidak lagi hanya menjelajah secara acak. Ia mencari. Ia mencari jejak digital dari aktivitas Ravi di bengkel. Dan ia menemukannya, sebuah anomali kecil di dalam lalu lintas data, sebuah bisikan di tengah badai.

Di layar terminal Ravi, di sudut paling bawah, di dalam sebuah jendela log diagnostik yang membosankan, satu baris teks tiba-tiba muncul, berkedip sekali, lalu lenyap.

Lihat selengkapnya