Pintu gardu listrik utama berayun terbuka dengan erangan berat dari logam yang sudah lama tak bergerak. Udara yang menyambut mereka bukanlah udara pengap dari koridor, melainkan sesuatu yang lain. Sesuatu yang hidup. Itu adalah sebuah ruangan raksasa yang dipenuhi oleh dengungan konstan dari ribuan volt listrik, sebuah simfoni kekuatan yang membuat bulu kuduk berdiri. Transformator-transformator seukuran mobil berdiri seperti menhir-menhir kuno, kabel-kabel tebal seukuran lengan orang dewasa menjalar di dinding dan langit-langit seperti sistem saraf dari seekor binatang baja raksasa. Bau ozon yang tajam menusuk hidung, dan seluruh tempat itu dimandikan oleh cahaya biru-putih yang dingin dari panel-panel kontrol yang tak terhitung jumlahnya.
Mereka telah melangkah masuk ke dalam jantung benteng kakeknya.
"Ya Tuhan," bisik Ravi, matanya yang terbiasa dengan teknologi kini membelalak ngeri sekaligus takjub. Ia seperti seorang pemuja yang baru saja masuk ke dalam katedral dewa-dewi listrik. "Ini ... ini bukan sekadar gardu. Ini adalah pusat kendali dari seluruh grid daya independen di bawah istana."
Pintu ledakan di koridor di belakang mereka telah tertutup rapat, menyegel mereka di dalam sangkar kecil ini bersama jantung sang monster. Tapi Orion tidak lagi merasa terperangkap. Ia merasakan sesuatu yang lain. Sebuah kesempatan.
Patroli. Tiga orang. Bergerak cepat di koridor di atas kalian. Menuju Ruang Peta.
Suara Bimo bergema di dalam kepala mereka, bukan lagi sebagai bisikan samar, melainkan sebagai transmisi yang jernih dan tenang. Dari selnya di laboratorium medis, Bimo telah menjadi mata-mata mereka, pemandu mereka di dalam kegelapan.
"Kita enggak punya banyak waktu," kata Orion. "Kakekku akan segera sadar di mana kita berada." Ia menatap Ravi. "Apa yang bisa kau lakukan?"
Ravi berjalan mendekati terminal kontrol utama, matanya memindai diagram-diagram alir daya yang rumit di layar. "Blackout kedua tidak akan berhasil," katanya cepat. "Dia pasti sudah mengantisipasinya. Sistem akan langsung beralih ke generator bunker utama, dan kita akan tetap terkurung."
"Aku enggak mau kita keluar," kata Orion, mengejutkan yang lain. "Aku mau kita mengambil alih."
Ravi dan Jean menatapnya, tidak mengerti.
"Kakekku mengurung kita di sini," lanjut Orion, pikirannya kini bergerak dengan kecepatan kilat, menyusun strategi dari kepingan-kepingan keputusasaan. "Dia mengira kita akan mencoba lari. Tapi dia salah. Kita tidak akan lari. Kita akan memotong kakinya dari dalam."
Ia menunjuk ke diagram di layar. "Ravi, bisakah kau mengisolasi sebagian jaringan? Memutus daya ke sistem keamanan internal, kamera, sensor gerak, kunci elektronik tanpa mematikan sistem utama seperti penyaring udara atau ... laboratorium medis?"
Ravi menelan ludah, memahami skala dari apa yang diminta Orion. "Itu ... gila. Itu bukan sekadar mematikan saklar. Itu seperti melakukan operasi bypass jantung pada pasien yang sedang berlari maraton. Satu kesalahan kecil bisa menyebabkan cascading failure dan memicu ledakan di seluruh fasilitas."
"Aku enggak bertanya apakah itu gila," balas Orion, matanya berkilat tajam. "Aku bertanya, bisakah kau melakukannya?"
Ini adalah ujian terakhir bagi Ravi. Bukan lagi soal keberanian fisik, melainkan soal keahlian dan kepercayaan diri. Ia menatap konsol yang rumit itu, lalu menatap Jean dan Orion yang menatapnya dengan penuh harap. Ia teringat bagaimana ia gemetar di jembatan layang, bagaimana Bimo harus menyelamatkannya. Tidak lagi.
"Beri aku waktu," kata Ravi, suaranya kini mantap. Ia duduk di kursi operator, dan jari-jarinya mulai menari di atas keyboard.
Sementara Ravi memulai perangnya melawan kode-kode enkripsi, Orion dan Jean mengambil posisi, menjaga satu-satunya pintu masuk. Mereka berdiri bahu-membahu dalam keheningan, hanya ditemani oleh dengungan listrik dan suara ketikan cepat Ravi. Kelelahan yang tadinya melumpuhkan kini telah digantikan oleh ketegangan yang membuat setiap otot mereka menegang.
"Jika kita berhasil keluar dari sini," bisik Jean, matanya tidak pernah lepas dari pintu. "Apa yang akan kita lakukan?"
"Kita selamatkan Bimo," jawab Orion tanpa ragu. "Lalu kita hentikan kakekku. Apapun caranya."
"Dia kakekmu, Rion."
Orion terdiam sejenak, rasa sakit dari pengkhianatan itu kembali menusuknya. "Lelaki yang mengajariku silat adalah kakekku," katanya pelan, suaranya serak. "Lelaki yang ingin membakar dunia ... dia bukan siapa-siapa bagiku."
Saat mereka berbicara, sebuah gelombang kepanikan yang dingin tiba-tiba menyapu pikiran mereka. Itu datang dari Bimo.