Jangkitan: Wabah Zombie di Bogor

Kingdenie
Chapter #49

Gema di Dalam Keheningan

Keheningan yang datang setelah badai listrik itu adalah keheningan yang absolut. Bukan sekadar ketiadaan suara, melainkan kematian dari suara itu sendiri. Dengungan transformator yang tadinya memekakkan telinga telah lenyap, digantikan oleh keheningan pekat yang hanya diisi oleh suara desis sirkuit yang sekarat dan napas mereka yang tersengal-sengal di dalam kegelapan. Bau ozon dan logam terbakar begitu tajam hingga membuat mata mereka perih.

Mereka terbaring di lantai yang dingin, tubuh mereka sakit karena terlempar oleh gelombang kejut terakhir. Telinga mereka berdenging, dan di depan mata mereka menari bintik-bintik cahaya sisa dari busur-busur listrik yang menyilaukan. Untuk sesaat yang panjang, mereka adalah tiga arwah di dalam makam sebuah dewa teknologi yang baru saja mereka bunuh.

"Aku enggak tahu ..." bisikan Ravi yang serak memecah keheningan, suaranya terdengar kecil dan hilang di ruangan raksasa itu. "Aku enggak tahu apa yang baru saja kulakukan."

Di dalam kata-kata itu terkandung sebuah ketakutan yang lebih besar daripada kematian. Ketakutan akan kegagalan. Apakah mereka baru saja mematikan hitung mundur Protokol Bumi Hangus? Atau mereka baru saja menghancurkan satu-satunya alat yang bisa mereka gunakan untuk melacak dan menghentikannya? Ketidakpastian itu adalah sebuah siksaan yang lebih kejam daripada monster mana pun.

Orion adalah yang pertama bangkit, setiap gerakannya adalah sebuah perjuangan melawan otot-otot yang memprotes dan kepala yang berdenyut. Ia menyalakan senternya. Sorot cahayanya yang gemetar membelah kegelapan, menampakkan pemandangan kehancuran. Panel-panel kontrol hangus dan mengeluarkan asap tipis. Kabel-kabel tebal terlepas dari dudukannya seperti urat nadi yang putus.

"Kita enggak bisa tinggal di sini," kata Orion, suaranya mantap secara paksa, mencoba menciptakan ketertiban di tengah kekacauan. Ia tahu jika ia menunjukkan keraguan, mereka semua akan runtuh. "Kita harus ke Bimo. Sekarang."

Tujuan itu, sebuah titik terang yang sederhana di tengah lautan ketidakpastian, sudah cukup untuk membangkitkan yang lain. Jean bangkit, membantu Ravi yang masih terguncang untuk berdiri. Mereka melangkah keluar dari gardu listrik yang kini sunyi, kembali ke koridor sub-level dua.

Pemandangan di sana adalah konfirmasi pertama dari tindakan mereka. Pintu-pintu ledakan yang tadinya mengurung mereka kini telah ditarik kembali ke dalam dinding, sistem penguncian hidroliknya mati total. Koridor kini terbuka. Di dekat salah satu pintu ledakan, tergeletak tiga prajurit Kobra, tubuh mereka kaku dalam posisi yang aneh, seragam taktis mereka menghitam dan mengeluarkan asap. Mereka adalah korban pertama dari lonjakan daya yang diciptakan Ravi. Kematian mereka tidak membawa kepuasan, hanya rasa mual yang dingin.

Perjalanan mereka melalui bunker yang kini gelap adalah sebuah ziarah melalui perut binatang yang telah mati. Sistem utama telah runtuh. Lampu-lampu darurat yang seharusnya menyala kini hanya berkedip-kedip lemah atau mati total. Satu-satunya pemandu mereka adalah sorot senter dan sebuah gema samar di dalam benak mereka.

Hubungan mental dengan Bimo kini terdistorsi, terputus-putus oleh kekacauan listrik. Ia tidak lagi bisa mengirimkan kalimat yang jelas. Yang mereka terima hanyalah perasaan mentah: Sakit ... Dingin ... Terus ... Lurus ... Itu adalah sebuah jejak remah roti psikis yang rapuh, dan mereka mengikutinya dengan keyakinan buta.

Bunker yang tadinya merupakan simbol dari keteraturan yang steril kini telah menjadi sebuah labirin bayangan. Setiap koridor yang gelap adalah sebuah ancaman baru. Mereka tidak tahu di mana para prajurit Kobra yang tersisa berada, atau bagaimana kondisi kakek Orion. Setiap suara, tetesan air dari langit-langit, derit logam yang mendingin membuat mereka tersentak, senjata mereka terangkat.

Mereka harus melewati Ruang Peta untuk mencapai tangga menuju sayap medis. Saat mereka mengintip ke dalam ruangan itu, pemandangan kehancuran menyambut mereka. Peta holografik itu telah mati total, hanya menyisakan proyektornya yang hangus. Sebagian besar konsol telah meledak. Orion melihat tubuh Mayor Santoso tergeletak di dekat pintu, kemungkinan besar tewas dalam pertarungan mereka di tengah kegelapan. Tapi kakeknya tidak ada di sana.

"Dia lolos," bisik Orion. Firasat buruk menjalari dirinya. Seorang predator seperti kakeknya tidak akan lari tanpa rencana.

Mereka terus bergerak, menaiki tangga dalam keheningan yang tegang. Di salah satu koridor, mereka terpaksa bersembunyi di dalam sebuah kantor kecil saat mendengar suara langkah kaki dan percakapan yang panik. Sepasukan prajurit Kobra, yang juga bergerak dengan senter, melewati persembunyian mereka.

"... komunikasi eksternal mati total! Sistem karantina gagal! Semua pintu ledakan terbuka!" kata salah satu dari mereka.

Lihat selengkapnya