Keheningan di dalam terowongan servis yang baru saja diciptakan Bimo terasa berbeda. Bukan keheningan yang mengancam dari bunker yang mati, melainkan keheningan kuno dari perut bumi. Udara berbau debu beton dan tanah lembap, sebuah aroma yang seharusnya menenangkan tetapi kini terasa seperti bau makam. Satu-satunya suara adalah napas mereka yang tersengal-sengal dan tetesan air yang jatuh di kejauhan, menciptakan gema yang sepi dan tak berujung.
Mereka telah lolos dari laboratorium, tetapi mereka kini berada lebih dalam di dalam labirin, di sebuah jalur yang tidak ada di peta mana pun, sebuah jalan yang lahir dari kekuatan yang tidak mereka pahami. Orion menyorotkan senternya ke wajah Bimo. Anak itu terduduk lemas, bersandar di dinding yang baru saja ia hancurkan. Wajahnya pucat pasi seperti kain kafan, dan keringat dingin membasahi pelipisnya. Cahaya biru di matanya telah meredup menjadi kilau yang nyaris tak terlihat, menyisakan kelelahan yang luar biasa di wajahnya. Kekuatan untuk merobek beton itu telah menguras energinya hingga ke batas.
"Aku ... aku baik-baik saja," bisik Bimo, seolah bisa membaca kekhawatiran di mata teman-temannya.
Ravi berjongkok di dekatnya, bukan lagi dengan tatapan takut, melainkan dengan kewaspadaan seorang teknisi yang memeriksa sebuah mesin yang terlalu panas. "Bagaimana perasaanmu? Pusing? Mual?"
"Hanya ... kosong," jawab Bimo.
Orion mengerti. Kekuatan sebesar itu pasti meninggalkan kekosongan di belakangnya. Ia menatap dinding yang hancur, lalu menatap Bimo. Pikirannya yang taktis berpacu. Mereka kini memiliki "artileri berat", tetapi artileri itu adalah seorang anak laki-laki yang rapuh. Setiap "tembakan" akan ada harganya.
"Kita harus terus bergerak," kata Orion, suaranya lebih lembut dari sebelumnya. "Para prajurit itu akan segera menyisir setiap jengkal tempat ini." Ia membantu Bimo berdiri, menopang sebagian berat badannya.
Mereka memulai perjalanan mereka sekali lagi, kini dengan dinamika yang sama sekali baru. Bimo, meskipun lemas, berjalan di depan bersama Orion. Ia tidak perlu lagi menebak-nebak. Ia bisa merasakannya. Ia memejamkan mata, kepalanya sedikit miring. Baginya, kegelapan di depan bukanlah ketiadaan cahaya, melainkan sebuah kanvas yang dipenuhi oleh gema dan getaran.
"Ke kanan saat di persimpangan nanti," bisiknya. "Aku bisa merasakan ... aliran udara. Tipis sekali. Tapi stabil. Pasti ada jalan keluar di sana."
"Bagaimana kita tahu ini bukan jebakan lain?" tanya Ravi pelan, suaranya masih dipenuhi keraguan.
"Dia satu-satunya kompas yang kita punya, Rav," balas Orion tegas, tanpa menoleh. "Kita percaya padanya."
Mereka bergerak melewati perut bunker yang terlupakan, melewati pipa-pipa raksasa yang berkarat dan kabel-kabel tebal yang menggantung dari langit-langit seperti sulur-sulur pohon mekanis. Tempat ini terasa seperti makam dari sebuah proyek konstruksi raksasa, ditinggalkan dan membusuk dalam kesunyian. Di beberapa tempat, mereka melihat sisa-sisa dari eksperimen lain yang ditinggalkan: sebuah lengan robotik yang tergeletak di sudut, atau coretan-coretan rumus kimia yang rumit di dinding yang ditulis dengan tergesa-gesa.
Perjalanan itu adalah sebuah siksaan psikologis. Setiap lorong terasa sama, setiap tikungan bisa menjadi sebuah penyergapan. Ketegangan itu menggerogoti saraf mereka. Jean berjalan paling belakang, pistolnya teracung, matanya terus-menerus menyapu kegelapan di belakang mereka. Setiap kali ia melirik Bimo, hatinya terasa sakit. Anak itu berjalan dengan kepala tertunduk, bahunya yang lebar tampak menanggung beban yang tak terlihat. Ia bukan lagi hanya Bimo. Ia adalah sebuah anugerah, sekaligus sebuah kutukan.
Setelah hampir satu jam berjalan dalam keheningan yang menyesakkan, Bimo berhenti di depan sebuah dinding beton yang tampak solid, sama seperti dinding-dinding lainnya.
"Di baliknya," katanya, napasnya sedikit berat. "Getarannya paling kuat di sini. Sangat kuat. Bukan hanya aliran udara. Ada ... mesin. Mesin yang sangat besar, sedang tidur."
Ravi mendekat, menyinari dinding itu dengan senternya. Tidak ada apa-apa. Tidak ada pintu, tidak ada panel. "Buntu lagi," desisnya.
"Enggak," kata Bimo. Ia melangkah maju, melepaskan diri dari pegangan Orion. Ia kembali meletakkan tangannya di permukaan dinding yang dingin. Ia tidak suka melakukan ini. Setiap kali ia memanggil kekuatan itu, ia merasa sebagian dari dirinya terkikis, digantikan oleh sesuatu yang lebih tua dan lebih dingin. Tapi ia melihat wajah teman-temannya yang lelah di bawah cahaya senter, dan ia tahu ia tidak punya pilihan.
Ia menarik napas dalam, dan cahaya biru di matanya kembali menyala, kali ini lebih terang. Dinding di depannya mulai bergetar. Terdengar suara erangan dari beton yang dipaksa menyerah, dan retakan-retakan mulai menjalar dari telapak tangan Bimo. Hidungnya mulai mengeluarkan darah, setetes demi setetes, jatuh ke lantai yang berdebu.
Dengan satu dorongan terakhir yang disertai hembusan napas penuh tenaga, dinding itu runtuh ke dalam dengan suara gemuruh yang diredam.
Di baliknya, terbentang pemandangan yang membuat mereka semua menahan napas, seolah baru saja menemukan sebuah makam Firaun yang hilang. Sebuah stasiun kereta bawah tanah pribadi yang super modern. Peron yang terbuat dari titanium mengkilap, diterangi oleh lampu-lampu LED di sepanjang lantai yang masih menyala dari daya sekunder. Dan di atas rel magnetis, sebuah gerbong kereta berbentuk peluru yang ramping, dicat hitam tanpa jendela, berdiri dalam keheningan yang agung, siap berangkat.