Jangkitan: Wabah Zombie di Bogor

Kingdenie
Chapter #51

Warisan Sang Arsitek

Perjalanan dengan kereta maglev bawah tanah adalah sebuah perjalanan melalui urat nadi bumi yang mati. Tidak ada jendela, tidak ada suara selain desisan pelan dari sistem levitasi magnetis yang membawa mereka melesat menembus kegelapan dengan kecepatan yang mengerikan. Di dalam gerbong yang sempit dan steril itu, mereka berempat duduk dalam keheningan yang berat, masing-masing terperangkap dalam dunia mereka sendiri, di ambang pertempuran terakhir yang terasa mustahil untuk dimenangkan.

Orion tidak membersihkan senjatanya. Ia hanya duduk menatap pantulan buram wajahnya di dinding logam, mencoba menemukan sisa-sisa dari cucu yang pernah mengidolakan kakeknya. Tapi ia tidak menemukan apa-apa. Yang ada hanyalah seorang prajurit yang lelah, yang akan pergi membunuh hantu dari masa lalunya yang paling indah.

Di seberangnya, Jean duduk dengan tenang, tangannya tidak lagi gemetar. Ia dengan metodis mengisi setiap magasin pistol yang mereka miliki, setiap butir peluru yang ia masukkan adalah sebuah doa sunyi, sebuah janji untuk tidak membiarkan pengorbanan Surya dan Rani menjadi sia-sia.

Ravi tidak bisa diam. Ia berdiri di dekat panel kontrol kereta, tablet Dr. Aris di tangannya. Ia tidak lagi panik. Ketakutannya telah mengkristal menjadi fokus yang dingin. "Aku sudah menyiapkan counter-virusnya," katanya, lebih untuk meyakinkan dirinya sendiri. "Semua datanya terkompresi. Jika kita bisa mendapatkan akses ke sistem pemancar utama di bunker, aku hanya butuh ... mungkin sepuluh menit untuk mengunggah dan menyiarkannya. Sepuluh menit untuk membatalkan semua ini."

Sepuluh menit. Di tengah neraka, sepuluh menit terasa seperti selamanya.

Hanya Bimo yang tampak tenang di luar. Ia duduk bersila di lantai, matanya terpejam. Tapi di dalam, sebuah badai berkecamuk. Kekuatan yang baru saja ia sadari berdenyut di bawah kulitnya, sebuah danau energi mentah yang luas dan dalam. Ia takut pada danau itu, takut tenggelam di dalamnya. Orion mendekat dan berlutut di depannya.

"Apapun yang terjadi di sana, Bim," kata Orion pelan, suaranya tulus. "Kau yang memilih. Kekuatan itu milikmu. Bukan milikku, bukan milik Kakek. Kau bukan senjata. Kau adalah teman kami."

Bimo membuka matanya, cahaya biru redup di dalamnya berdenyut. Ia mengangguk sekali, sebuah pemahaman sunyi terjalin di antara mereka.

Kereta itu melambat. Sebuah suara mekanis yang dingin mengumumkan, "Tiba di Fasilitas Tujuan." Pintu berdesis terbuka, menampakkan sebuah platform observasi raksasa yang menggantung di tengah sebuah gua vulkanik yang maha luas.

Pemandangan di depan mereka adalah sebuah karya seni dari kegilaan seorang tiran. Jauh di bawah platform, danau lava pijar bergejolak pelan, memancarkan cahaya oranye-merah yang menakutkan dan panas yang kering. Seluruh gua diterangi oleh cahaya neraka ini. Di sekeliling mereka, teknologi super canggih menyatu dengan dinding batu basal yang hitam dan bergerigi. Ini bukan sekadar bunker. Ini adalah kuil. Sebuah takhta yang dibangun di jantung gunung berapi. Dan tempat itu sunyi. Terlalu sunyi.

Mereka berjalan maju, sepatu bot mereka berdentang di atas lantai logam, menuju sebuah pusat komando yang kubahnya terbuat dari kaca obsidian yang gelap. Pintu terbuka secara otomatis saat mereka mendekat. Di dalamnya, di tengah ruangan yang melingkar, berdiri satu sosok. Sendirian.

Kakek Orion. Ia mengenakan pakaian latihan silat berwarna hitam, berdiri tenang dengan tangan bertaut di belakang punggung. Di belakangnya, di sebuah layar holografik raksasa, sebuah hitungan mundur terus berjalan. Protokol Bumi Hangus. Waktu tersisa: 14:59.

"Aku memberimu setiap kesempatan untuk bergabung denganku, Yon," kata sang kakek, suaranya dipenuhi oleh kesedihan yang tulus namun mengerikan. "Tapi kau memilih sentimentalitas. Kau memilih dunia yang lemah."

"Anda mengajariku untuk melindungi dunia itu," balas Orion, mengangkat senapan serbunya. "Bukan membakarnya."

Lihat selengkapnya