Janji Allah~Novel~

Herman Sim
Chapter #1

Part #1

Tidak Ada Yang Tidak Pasti

Sedih terpancar haru dari raut wajah cantik Sabrina berkerudung putih, dua tatapan matanya terus tidak bergeming menatap foto Ka'bah berbingkai warna emas. Kira-kira ukuran bingkai 30x30 cm, hanya tergantung dinding tembok kamar tidak jauh dari pandangan sendu wajahnya.

Berkaca merona memerah, petanda hatinya seakan ingin di panggil dan masuk antrian, kapan dirinya bisa berada dan memenuhi panggilan Allah. Di iringi sedih penuh haru, tangan kanannya mengelus foto Ka'bah. Semakin yakin, semakin ingin dirinya segera mewujudkan niat rukun imam ke 5, yaitu berangkat haji bila mampu.

"Tapi apa mungkin, aku bisa berangkat haji?" guman terucap bibir kecil ikut tidak yakin seakan putus asa tidak lagi tangan kanannya mengelus foto Ka'bah terbingkai emas itu.

"Siapa yang bilang tidak mungkin, Sabrina" di sahutin Juju masuk kedalam kamar, sontak berbalik Sabrina dua matanya masih berkubang kesedihan dan semakin tidak lagi membuat dirinya yakin.

"Tidak ada yang tidak pasti di dunia ini, Sab. Karena Janji Allah akan selalu ada di hati para hambanya, bila dia selalu yakin dan percaya dengan segala niat baiknya. Allah tidak pernah ingkar dengan janjinya, terlebih dengan niatmu akan berangkat hajimu, Sabrina" sentuhan hangat telapak tangan kanan terus membelai kerudung putih Sabrina.

Hanya balasan sedih menatap haru Sabrina balik menatap wajah makin menua Juju, seorang Ibu yang rasanya dirinya semakin tiada lagi punya kesemepatan buat berangkat haji. Tapi seraya meyakinkan saja Sabrina, anak satu-satunya itu, Juju seraya dalam hatinya ingin juga berangkat haji.

"Ibu yakin, kamu bisa berangkat haji. Doa Ibu selalu menyertaimu dengan segala ketulusan kamu, Sab" ikut terduduk Juju saat Sabrina terduduk di atas dipan terdengar suara reotnya.

"Mungkin Ibu saat ini sudah semakin renta. Sering terbesit niat keinginan itu sepertimu. Tapi apa salahnya Ibu hanya mau pada kamu, yang berangkat haji" makin tergurat pasrah di sertai keharuan wajah Juju melirik foto Ka'bah berbingkai emas yang ada di hadapannya.

"Tapi, Ibu?" beranjak bangun Sabrina berdiri melirik Juju masih terduduk di atas dipan, wajahnya Juju terbalut kerudung mukenah putih juga, dirinya baru saja selesai Sholat Magrib seluruh tubuhnya masih terbalut mukenah putih.

"Jangan banyak tapi, Sab. Ibu tahu, kamu ndak mau nyusahin Ibu'kan? Ibu tahu, uang dari mana buat berangkat haji, yang cuman kamu jadi buruh angkut sayuran di pasar" beranjak bangun Juju seakan tahu apa yang di pikirkan Sabrina melirik lagi foto Ka'bah berbingkai emas, semakin kuat niat, tapi semakin ragu hatinya.

"Lihat, foto Ka'bah itu. Rasanya aku berada di tengah-tengah mereka yang rejekinya telah sampai menepati seruan Allah. Tapi apa keyakinanku bisa menepati seruan, Allah? Dengan keadaanku saat ini, Bu" hanya kesedihan dan makin ragunya Sabrina menatap wajah tua Juju masih melirik foto Ka'bah.

"Bila Ibu ada tabungan, pastinya akan Ibu berikan padamu, Sab. Tapi'kan kamu tahu, setelah Ayahmu tiada, hidup kita berdua pas-pas'an. Apa Ibu harus jual?" "Ndak, Bu!" selalu itu yang terucap dari bibir tua renta Juju merasa makin kasihan sekali dengan niat Sabrina tahu dan spontan memeluk Juju sedih.

"Ndak, Bu. Ibu ndak boleh jual rumah ini, hanya demi aku berangkat haji. Aku masih bisa kumpulkan uang, ya walau memang lama. Tapi aku yakin kok. Aku bakalan bisa berangkat haji. Tadi'kan kata Ibu, bila Allah akan tetapi janjinya pada hambanya yang berniatkan untuk datang keRumahNya" dua tangan Sabrina terus seka air mata Juju dan memeluk erat lagi.

Hanya kamar sederhana jadi saksi bisu Sabrina betapa sayang penuh ketulusan dirinya sangat menyayangi Juju. Begitu juga Juju sangat begitu sayang sekali pada Sabrina, di mana dirinya sangat yakin pada Sabrina akan bisa berangkat haji dengan niat ketulusannya.

"Yakinkanlah niatmu pada, Allah. Selalu berusaha keras di landasi dengan kejujuran, pasti sesuatu yang tidak pasti akan pasti. Karena Allah selalu menepatinya janji dengan hambanya yang selalu setia padaNya" hanya cucuran air mata bikin dua mata Juju berkaca meronah merah sambil tangan kanannya menyeka kesedihan air mata Sabrina.

Pagi telah datang lengkap dengan segala nikmat dari Sang Pencipta semesta ini. Langit tidak lagi sungkan, dengan memancarkan aura kebahagiaannya bermain dengan gumpalam awan putih nakal bermain mengalingi sinar pandangan matahari.

Sinar mentari pagi makin ceria, makin menyinari setiap langkah dua kaki penuh semangat dan penuh ketulusan menjemput rejeki, yang telah di garisi oleh Sang Pencipta, yaitu Allah semata.

Karena Dia, kita sebagai hambanya janganlah berdiam diri saja, segera menjemput saja jangan berharap rejeki itu bisa datang sendirian. Selagi masih ada harapan cita-cita di landasi dengan ketulusan, pastinya Allah akan menepati janjinya.

Dengan mengenakan pakaian sederhana tapi tertutup, dengan kenakan kerudung hitamnya Sabrina berjalan bersama sahaba-sahabat gadis hebat tangguh dan kuat. Lihat saja bakul keranjang kosong besar terpanggul di belakang pundaknya. Biasanya mereka jam segini, pagi jam 6.30 bergerak cepat untuk menjemput rejeki.

Lihat selengkapnya