Niat & Keras Kepala
Wanita tangguh dengan segala segenap niat dan sikap kerasnya siap menjemput rejeki, akan tetapi tidak semurni niat yang datang dari hatinya buat menjemput rejeki, di mana bila mereka tidak saling sikut-sikutan dan tidak saling mendahuli, maka rejeki akan segera di ambil.
"Auw!" terjatuh Sabrina saat akan meraih seikat besar sayuran yang masih ada di atas mobil bak terbuka berjalan pelan, ketika seorang wanita muda kelihatan dari raut wajahnya sinis memang sejak dari dulu Kastiri, memang punya sipat dengki dan selalu sirik dengan Sabrina.
Tapi tidak pada Siti, dirinya selalu ada dan selalu merasa seumur hidupnya selalu berhutang budi pada Sabrina, tentu saja selalu ada dan akan membela Sabrina. "Kastiri! Kamu wong gendeng! Kowe ora weruh! Kasihan'kan Sabrina kamu dorong sampai jatuh begitu! Sampeyan jahat!" tudingan terus terlontar dari mulutnya Siti, tidak ada rasa pedulinya Kastiri malahan dirinya mendorong minggir berapa gadis pengangkut sayuran lainnya.
"Itu jatahku! Kalian cari saja yang lainnya! Sana!" sinis jutek tergurat makin jelas wajah cantiknya tidak berkerudung, lihat saja rambut potongan rambutnya yang tidak jelas itu. Malahan makin senang Kastiri melihat Sabrina langkah berjalannya rada menahan sakit saat di papah jalan Siti.
"Brak" suara pintu mobil bak terbuka di tutup oleh Rahman, sopir bertangan kritilan kurang ajar malahan cuman tersenyum melihat Sabrina melempar senyuman kecut pada Rahman. "Pokoknya selagi kamu mau samaku, semua masalah jadi mudah, Kastiriku" rayuan gombal sambil tangan kritilan kurang ajar makin mengelus mendarat lembut, sekejab telapak tangan Rahman mendarat di pipi kanan Kastiri malahan hanya tersenyum rasanya dirinya semakin menikmati jamahan tangan kritilan kurang ajar itu.
Gadis pengangkut sayuran lainnya hanya berdiri terdiam perhatian egois dan sombongnya Kastiri berjalan di pundaknya sudah menggendong banyak ikatan sayuran bermacam-macam dalam bakul keranjang. "Sampeyan ora bisa bingung. Kasugihan wis diatur dening, Gusti Allah" seloroh Sabrina berjalan menghampiri gadis pengangkut sayuran merasa kesal saja dengan Kastiri makin lama dengki dan jahat pada mereka.
"Kamu nadak apa-apa, Sab?" tanya Siti semakin cemas melirik tumit kaki kananya rada lecet sedikit. "Ndak apa-apa aku, Siti" jawab Sabrina melirik langit cerah memayungi Pasar Manyar, yang terletak di jalan Raya Menur, Manyar Sabrangan Surabaya.
"Sabrina, itu angkut saja kalau kamu mau angkut" terdengar picik terumbar dari mulut Rahman sambil mengusap wajahnya dengan handuk kecil. Tapi rasanya suruhan Rahman pada Sabrina pasti ada maunya. "Ndak usah kamu pura-pura, Rahman" bantah Siti sudah tahu maksud terselubung Rahman malahan dua matanya melirik seluruh tubuh Sabrina, yang untung saja seluruh tubuhnya tertutup rapat dengan pakaian pantas dan sopan, tidak seperti Kastiri rada seksi dan ketat.
"Matamu itu jelalatan, Rahman! Maaf, Sabrina, saya dan mereka-mereka itu pastinya ndak akan mau angkut sayuran itu! Dan kamu semuanya pasti ndak mau seperti Kastiri!" kesal Siti puas meluapkan kemarahanya pada Rahman, karena bila mereka semuanya mau mengangkut sayuran, pasti ada konsukwensi yang harus di bayar mereka. Mereka harus mau di colek, di sentuh dan di jamah Rahman, betapa rendahnya mereka harus berkorban kesetiaan cinta mereka pada suaminya dan keluraganya, hanya demi mendapatkan lembaran rupiah. Lebih baik mereka tidak mendapatkan lembaran rupiah, daripada mereka harus mengorbankan cinta dan kesetiaan mereka pada anak dan keluaragnya.
Hari makin siang, makin tipis harapan gadis-gadis tangguh pengangkut sayuran, sebagaian gadis pengangkut sayuran sudah beranjak pulang. Pastinya masih ada rejeki esok hari masih persiapkan Gusti Allah, untuk mereka yang bersabar, tidak merendahkan harga diri dan tetap yakin bila Gusti Allah itu Adil dan selalu menepati janjinya, pada hambanya yang selalu mau bersabar dan percaya padaNya.
Tatapan sendu prihatin dua mata Sabrina melihat dari kejauhan Kastiri sebegitu rendah harga dirinya sebagai seorang gadis, di mana harusnya Kastiri menjaga martabat setinggi-tinggi tidak mudahnya dirinya di sentuh seluruh tubuhnya, hanya demi lembaran rupiah.Tangan ktirilan kurang ajar Rahman seakan memanfaatkan kepolosan Kastiri, padahal dirinya sadar betapa malunya bila di perlakukan tidak senonoh dan kurang ajar oleh Rahman.
"Lebih baik aku ndak makan, lebih baik aku ndak jadi berangkat haji. Lihat Kastiri!" ada rasa kasihan tersirat di raut wajah Sabrina masih perhatikan Kastiri malahan tersudut dirinya di belakang mobil bak terbuka, yang sudah tidak adalagi sayuran. Rayuan gombal tidak berujung kebenaran ketulusan dan tangan nakal Rahman terus terumbar nakal semakin menusuk merayu meluluh lantankan martabat Kastiri sempat melirik Sabrina dan Siti terduduk di trotoar jalan perhatikan dirinya, semakin gampangnya di jamah.
"Namanya juga wong gendeng! Segitu rendah martabat dirinya sebagai seorang yang ndak bisa jaga kehormatan. Begitu mudahnya di perdayai sih Rahman, yang sama-sama gendeng juga!" sahut Siti sambil mengikat bakul keranjang kosong kebelakang pundaknya dengan kain lurik berwarna coklat tua bermotif kembang.
"Awake dhewe mulih. Isih ana sesuk. Mesthi, Gusti Allah bakal maringi kita kekayaan luwih akeh" berdiri juga Sabrina sambil mengikat bakul keranjang kosong di belakang pundak dengan kain lurik, tetapi dua matanya masih melihat kearah Kastiri malahan semakin rendahnya harga dirinya, semakin mau wajahnya di belai dan di sentuh Rahman.
Senyuman ramah terumbar dari setiap orang berpapasan jalan dengan Sabrina dan Siti begitu juga mereka berdua membalasnya dengan penuh senyuman.Pasar Manyar mulai terlihat sepi, tidak seperti tadi pagi banyak pembeli berdatangan untuk berbelana kebutuhan sehari-hari. Begitu juga sekarang sudah mulai sepi pedagang tidak lagi sesibuk pagi hari melayani pembeli.
Hari makin siang, makin terasa terik sinar mataharinya. Lihat saja awan putih seraya makin bahagianya bergulir sana kemari seakan bahagia penuh terasa mensyukuri nikmat betapa indahnya ciptaan Sang Pemilik alam semesta ini dan betapa sayangnya Sang Pencipta pada hambanya yang kesetiap harinya masih bisa melihat langit cerah selalu setia memayunginya.
"Kamu tetap jadi berangkat haji, Sab?" ada rasa tidak enak makin terganjal dalam hatinya Siti sedikit mengulik niatnya Sabrina yang keras kepala akan tetap ingin menunaikan niatnya itu. "Aku tetap jadi. Aku yakin niatku berangkat haji, pastinya sudah di dengar Gusti Allah" makin tidak enak hati Siti mendengar jawaban Sabrina, padahal baru saja dirinya di kasih uang, jelas-jelas-jelas itu uang tabungan Sabrina buat berangkat haji.