Janji Bunga Tulip

Kinarni
Chapter #2

Bab 2

Banyak manusia mengenal dari segi penampilan, lalu menembus sukma hingga menjelma jadi kepayahan, pasalnya kesadaran bisa diukur dan dibanding-bandingkan lalu apa bedanya dengan penglihatan semata. Terkadang kesadaran akan lima pancaindra perlu dipertanyakan bagaimana mata melihat tapi mulut enggan berucap membiarkan hidung mengendus kegagalan tanpa ingin telinga mendengar kebenaran. Wila baru saja keluar dari kelas dengan senyum mekar dibibirnya sesekali menanggapi sapaan orang yang melewatinya, hingga matanya tertuju pada gerombolan mahasiswa berdesak-desakan tak jelas apa yang mereka saksikan, Wila penasaran. Ia melangkah perlahan hingga sampai dan mulai menepis satu persatu orang-orang yang masih bergerombol, sedikit lagi Wila akan tahu apa yang orang-orang itu saksikan di mading itu, sayangnya Wila terseret begitu saja, tubuh tinggi tegapnya tak berguna sama sekali. Wila terkejut dan ia melepas kasar seseorang yang sudah menarik lengan Wila seenak jidatnya.

“wah kau gila?” teriak Wila yang sudah berada dibalik tembok tak jauh dari tempatnya ditarik, tapi matanya melotot mendapati seseorang yang berdiri dihadapannya, Wila langsung menjauh dari lelaki itu.

“Sandy..?” Wila mulai memastikan apa yang dihadapinya saat ini

“Wil maaf, tapi kamu tidak perlu melihat apa yang mereka lihat” tak tampak kebohongan di mata Sandy, justru kepanikan sangat tergambar jelas di matanya

“kenapa?” Wila menyerengitkan dahinya bingung, tapi Sandy tidak menjawabnya dan lagi-lagi Sandy menarik lengan Wila kuat membawanya pergi lebih jauh.

“aku bilang kenapa? Jangan menarikku seenak jidatmu!...” bentak Wila dan dengan paksa Wila menarik tangannya yang telah memerah akibat dirinya yang terus memberontak, sambil memegangi lengannya yang terasa memanas, ini pertama kalinya Wila menatap tajam seseorang penuh kemarahan

“Wil aku tidak bermaksud jahat” layaknya adegan drama Korea atau bahkan layaknya korban sinetron, kini Sandy yang hendak menggapai tangan Wila namun begitu keras Wila selalu menepisnya.

“Sandy!!!” tiba-tiba suara teriakan keras membuat aksi Sandy terhenti, mendengar hal itu Wilapun membalikkan tubuhnya, menatap Reyka yang sudah menunjukkan wajah tak bersahabatnya kepada Sandy, alih-alih Wila tadi sangat marah kali ini ia terlihat panik melihat Reyka seakan berjalan ingin menerkam mangsanya.

Tak perduli seberapa cm perbedaan tinggi antara Sandy dan Reyka, kini Reyka sudah meletakkan tangan mungilnya di kerah Sandy dengan meremasnya kuat membuat Sandy sedikit mendongakkan kepalanya tanpa melawan.

“sudah kuperingatkan ja...”

“Rey sudah, semua orang menatapmu” ucap Wila membuat Reyka tak melanjutkan kalimatnya dan entah sejak kapan mereka jadi tontonan, menyadari itu Reyka masih menatap Sandy penuh emosi, matanya perlahan melirik sekitarnya “mereka tidak menatapku” batin Reyka dan menyadari tatapan mereka ditunjukkan kepada Wila bukan dirinya, dengan sangat pelan Reyka melemahkan cengkramannya dan mengajak Wila untuk pergi dari tempat itu, Sandy yang melihat hal itu hanya menghela napas seakan begitu lega.

           Mendaratkan tubuhnya di tembok mungkin tak sebanding dengan rasa cemasnya saat ini Reyka mengatur napasnya yang seakan memburu. “Rey harusnya kamu tahan emosi, jangan sampai terpancing seperti tadi” ucap Wila yang duduk sedikit lebih rileks dibanding Reyka

“Wil aku sudah bilang jangan hiraukan Sandy!” kali ini Reyka mengucapkan kalimatnya dengan penegasan

“Rey... aku tidak menghiraukannya, aku juga kesal, Sandy tiba-tiba menyeretku saat aku mau melihat gerombolan mahasiswa didepan mading tadi” ucap Wila sedikit menjelaskan kejadian yang sebenarnya, justru hal itu membuat Reyka menatap Wila lekat ia hanya memastikan apa yang baru saja didengarnya. Reyka membenarkan posisi duduknya, pandangannya menatap langit yang terlihat lebih berawan menyandarkan kepala ditembok melihat hal itu Wila mengikuti apa yang dilakukan Reyka.

“mulai hari ini aku akan semangat” ucap Wila tiba-tiba

“untuk?” tanya Reyka tanpa mengalihkan pandangannya dari langit

“waktu itu kamu benar Rey, betapa beruntungnya aku dibanding anak-anak panti. Aku calon dokter tapi sama sekali tidak menyadari kalau si Mbah sakit, ternyata begitu cara Tuhan membuatku sadar, dan aku harus kehilangan si Mbah tapi itu tidak akan terulang lagi.” Ungkap Wila sedikit membuat Reyka bingung dan mengarahkan pandangannya pada Wila, begitu juga Wila dengan senyum manisnya

“huh... aku masih tidak paham maksudmu” wajah datar Reyka melontarkan pertanyaan tanpa basa basi, faktanya Reyka sangat mengenal sosok Wila yang tidak segampang itu berubah

“aisshh... dengar ya Reyka Lufilaili aku tidak akan membiarkan diriku kehilangan orang-orang yang kusayang lagi karena sakit, aku akan jadi dokter untuk anak-anak panti, dokter yang menyelamatkan banyak orang dan dokter pribadi untuk Reyka Lufilaili!....” ucap Wila menekan kalimatnya di akhir

“cih... mana mau aku ditangani dokter pemalas sepertimu” Reyka menampakkan senyum sinisnya, bukan berarti dia kesal justru Reyka senang mendengar keinginan Wila yang berniat menjadi dokter, walaupun ada kecemasan dihati Reyka tapi senyum yang tak bisa ditahannya lebih mendominasi hingga keduanya tertawa bersama saat ini seolah melupakan hal yang baru saja terjadi.

“Rey aku masih penasaran, apa ya yang mereka lihat sampai bergerombolan begitu?” tanya Wila tiba-tiba membuat Reyka gelisah, tapi sebisa mungkin Reyka bersikap normal

“wil sekarang posisikan dirimu seperti bunga mawar, gunakan durimu untuk pertahankan keindahanmu, bunga mawar selalu percaya dengan kemampuannya. Aku tahu kamu tidak seburuk yang kukatakan” ucap Reyka membuat Wila berpikir keras saat ini, tapi Wila tak sama sekali bertanya maksud perumpamaan yang dikatakan Reyka.

           Menjadi orang lain adalah hal yang menyenangkan, berbeda dengan memposisikan diri seperti orang lain. Keduanya terlihat sama tapi berbeda tujuan, manusia hanya menginginkan kesenangan dari mengharapkan dirinya menjadi orang lain tapi manusia enggan memposisikan dirinya seperti orang lain sekedar merasakan kesengsaraan seseorang. Bersyukur dengan keadaan diri sendiri justru luar biasa, bukan karena tak ingin seperti orang lain hanya saja tugas manusia itu menunggu fase Tuhan ingin ia merasakan yang orang lain pernah rasakan. Reyka mulai merasakan hal janggal entah pada dirinya sendiri atau kepada orang-orang yang sedari tadi menunjukkan cibiran dan ekspresi tak bersahabat padanya, Reyka melewati koridor kampus matanya tertuju pada sebuah lembaran yang terpajang satu-satunya di mading kampus itu. Kini ia telah menatap lembaran itu dengan penuh selimut emosi, Reyka bersumpah akan menemukan orang yang menempel fitnah keji dan berani merusak nama baik sahabatnya. Perlahan tangan Reyka hendak menarik lembaran itu tapi aksinya keduluan oleh tangan seseorang yang lebih cepat, Reyka terkejut.

“bukan aku yang melakukan ini” tiba-tiba seseorang membuka suaranya, intonasi meyakinkannya membuat Reyka hanya menatapnya tajam

“aku tau, kenapa kau merobeknya?” jawaban dan pertanyaan Reyka terlontar dengan santai

“Wila tidak boleh melihat ini” ucap lelaki itu tegas

“Hmmh... kenapa?” senyum sinis Reyka mengembang lagi terukir jelas dimata Sandy, membuat lelaki itu menyerengitkan dahinya bingung

“kamu sahabatnya, tega membiarkan Wila melihat hal semacam ini padahal sama sekali tidak dilakukannya?” tanya sandy yang terlihat antara kesal dan juga bingung

“apa begitu caramu melindungi Wila?” tanya Reyka, Sandy justru dibuat semakin bingung oleh Reyka bukan jawaban yang ia dapat tapi lontaran pertanyaan dan ia kesulitan menjawabnya.

“aku tidak yakin Rey, yang jelas aku tidak mau Wila sedih” jawab Sandy, melihat ekspresi Sandy, Wila tersenyum tipis mungkin siapapun yang melihatnya tidak akan menyadari. Tanpa aba-aba Reyka merebut kertas yang sudah robek itu dari tangan Sandy, membuat Sandy terkejut

“Wila harus melihat ini, Wila harus tau seberapa banyak orang yang menyayangi dan mengharapkannya tidak sebanding dengan selembar kertas sampah seperti ini” ucap Reyka mengangkat lembaran itu sejajar dengan wajah Sandy

“aku tidak mengerti jalan pikirmu Rey” ucap sandy masih bingung dengan gadis di depannya.

“San, jadilah laki-laki serius seperti air, mengalir tenang namun menghanyutkan pada satu arah yaitu kedalaman bukan menjadi lelaki serius layaknya api, membara tapi meluas menikmati angin berhembus goyah dan berakhir padam” lagi-lagi Reyka dengan perumpamaannya membuat Sandy yang mendengar pertama kalinya mematung dan Reykabegitu saja meninggalkan Sandy sambil membawa lembaran itu.

           Di parkiran Reyka dengan sabar menunggu Wila yang masih menikmati mata kuliah sore ini, ia melipat selembar kertas yang telah robek itu. Hanya sebuah keyakinan yang diandalkannya, ia tak pernah memanjakan seseorang dengan perhatiannya, ia hanya ingin selalu menunjukkan bagaimana ia mengajarkan seseorang dari rasa sakit jadi sebuah pengalaman.

“seperti apa bentuk makhluk ini....” Reyka menggumam mengeraskan rahangnya sambil menatap tajam lembaran itu. Hingga Reyka menyadari Wila sudah terlihat menuju kearahnya, mereka saling melempar senyum, wila masih terlihat baik-baik saja, sekilas Reyka memikirkan apa yang akan dilakukan Wila jika ia memberikan lembaran ini.

“jadikan ayo” ucap Wila langsung masuk mobilnya tanpa berbasa basi, karena Wila paham Reyka tak suka berlama-lama dengan hal tak penting. Melihat hal itu Reyka memasang helmnya dan menjajari mobil Wila. Perjalanan mereka tak begitu panjang menuju perbukitan lalu menikmati suasana sore berpayung senja dan menerima sapaan rembulan yang sebentar lagi mendominasi kota Solo, tak menepis jamahan manja sang angin hingga sensasi dingin mulai menembus kulit mereka.

“woaahh tempat ini masih sama” teriak Wila berdiri di gubuk kecil, melihat hal itu Reyka perlahan melangkah kearah gubuk itu sambil merasakan hembusan angin dan tersenyum tipis. Tempat ini adalah tempat bersejarah untuk mereka, tempat teraman dan ternyaman. Reyka duduk diambang pintu gubuk tanpa dinding itu sambil mengulurkan tangan kanannya merasakan semilir angin yang sekejab hilang sekejab muncul dan terus begitu.

“kurasa wanita murahan tidak buruk dipendengaranku” ucap Wila tiba-tiba membuat Reyka menatap Wila penuh arti

“Wil...”

“aku bisa jadi bunga mawar yang kamu maksud, entah bagaimana hampir sepanjang jam mata kuliah telingaku penuh dengan sindiran-sindiran tentang wanita murahan, aku rasa ada kaitanya dengan yang orang-orang lihat di mading tadi” Wila memotong kalimat Reyka dan mengatakan semuanya. Sepertinya persahabatan mereka tidak akan menyimpan apapun sendirian dan berusaha menyelesaikannya bersama meskipun dengan pikiran masing-masing, mendengar hal itu Reyka mengeluarkan lembaran tadi dan memberikannya kepada Wila. Wila menerima dan mulai membuka lembaran yang sobek itu lalu mencoba menyatukannya dilantai, tak ada ekspresi yang terlihat menonjol diwajahnya, seakan Wila tak terkejut lagi. Selembar kertas terpampang jelas foto Wila, dihiasi dengan cap berwarna biru bertuliskan ‘WILA ANASYA PELAKOR,WANITA MURAHAN!!!” setelah membacanya Wila justru tersenyum

“aku tidak tau kenapa mendengarnya tidak asing, ada yang mengganjal dihatiku tapi aku tidak mengerti” ucap Wila membuat Reyka membuang tatapannya dari Wila.

“Djavu mungkin” jawab Reyka asal, mendengar hal itu Wila mengangguk seakan percaya ucapan Reyka

“apa yang kamu lakukan untuk ini?” tanya Reyka

“aku tidak yakin” jawabnya singkat mendengarnya Reyka enggan membantah, pikir Reyka bagaimanapun penyelesai masalah terhebat adalah diri sendiri, urusan bantu membantu akan ada celah ia bisa melakukannya untuk Wila.

“maaf, semua orang pasti juga bersikap aneh di depanmu” sambung Wila seakan ia lebih perduli pada Reyka daripada dirinya sendiri. Tak ada yang bisa dikatakan Reyka mendengar ucapan Wila ia hanya menggelengkan kepala sekilas tanda ia baik-baik saja. Berakhir dengan sebuah pelukan singkat, konon sebuah pelukan tanda kepercayaan, dukungan, menenangkan dan satu satunya motivasi tanpa kalimat. Sisanya mereka menunggu rembulan benar-benar berkilau sempurna dipekatnya gelap malam, bermain sesuka hati mereka, melepas beban sejenak untuk bisa menghadapinya lagi lebih kuat diesok hari.

Sampai pada titik ini tidaklah mudah, Wila menghabiskan banyak tenaga dan akhir-akhir ini terkuras keluhnya, bahkan tak cukup sekedar merebahkan tubuh makan dan tidur. Wila ingin melakukan sesuatu tapi rasanya tidak terpikirkan apapun dikepalanya. Wila memilih duduk di ruang tamu menghadap TV dan mencari-cari channel yang pas untuk ia tonton tapi nihil semua tidak menarik perhatiannya. Seketika getaran ponsel membuatnya terkejut, segera ia membuka notification yang ternyata WA dari Edo yang bertuliskan

“Wil kamu baik-baik saja kan?” isi pesan Edo, hal itu membuat Wila tersenyum dan langsung menekan layar balas

Lihat selengkapnya