Janji Bunga Tulip

Kinarni
Chapter #4

Bab 4 Ending

Pelan-pelan mengarungi bunyi bisu, ketidakpedulian menggores dada, hingga terikat erat dalam kepalanya. Temui kepingan luka yang berserakan dan ia telah ditugaskan untuk memungut. Agar siksa serpihan luka itu pulih menjadi intan permata. Lalu berteriak “ini tidak adil” huh…kalimat jenaka, pendengarannya saja sudah payah tak patut dibiarkan. Saling bergandengan, bermain di padang rerumputan halus, berguling dan saling mengejar. Berteriak sekencang-kencangnya dan tak henti tertawa tanpa perduli jika kupu-kupu beracun sekalipun masuk ke dalam mulut saking lebar tawa mereka. Gadis kecil berambut pendek itu mendekati pusaran ditengah-tengah pohon jati matanya terhipnotis, ada istana dan pemandangan indah di dalam sana, kupu-kupu menyambut pikirnya tak terkendali, tak mengindahkan teriakan gadis kecil dibelakangnya. “jangan ke sana” sambil menarik-narik gadis kecil yang begitu saja pergi mengitari taman yang indah. Di ujung ketidaksadarannya, Wila menggerakkan kedua tangannya dengan pelan, waktu berlalu Sang Gusti telah menunjukkan kekuasaannya. Mata enggan terbuka, mungkin nampaknya samar-samar, bibirnya kering mengalahkan musim kemarau, Wila merasakan dinginnya ruang berAC, aroma obat-obatan yang sempat membuat otaknya tak berhenti mengingat. Tampak nyata Wila berada di sebuah ruangan yang ia huni kurang lebih 2 bulan, selusin mata menatapnya penuh harap, bisa jadi malaikat lengah mencatat setiap ucapan doa mereka. Tentu saja tidak, seisi ruangan mengucap syukur.

“Wil? Dengar suara Papa?” tanya dokter Rudi.

Mata sayu Wila mengitari isi ruangan nampak orang-orang yang ia kenal, tersenyum menunjukkan gigi mereka masing-masing, dan tak sedikit gerakan mengusap kasar bagian pipi ia saksikan. Wila mengedipkan kedua matanya bertanda ia mendengar suara dokter Rudi. Sadar dari koma memerlukan waktu untuk bisa kembali normal. Tapi Wila seakan memiliki kekuatan super, ia pandai menggerakkan jari jemarinya, mengedipkan mata berkali kali mengikuti setiap perintah dokter dengan handal tanpa hambatan.

“tiga hari lagi kita akan belajar berjalan, otot-otot kakimu perlu dilemaskan dulu” saran dokter Rudi, semua mata bagaikan bintang kejora, bibir yang terus melengkung bagaikan bulan sabit. Wila ikut menarik sudut bibirnya.

“aku takut ma, aku bermimpi sangat buruk” lirih Wila setelah sadar beberapa jam dan tinggal berdua dengan ibunya.

“apa yang Wila takutkan, mama selalu bersamamu, pejamkan matamu sayang, istirahatlah” ibu Ana mengelus pucuk rambut putrinya

“aku tak sanggup memejamkan mataku ma, aku takut ma” wila terus saja berkata takut, air matanya tak berhenti menetes, ibu Ana memeluk Wila dengan erat.

Sayup-sayup dirasanya begitu tenang, hangat, matanya seketika dingin, berat, Wila tersenyum dalam pelukan ibunya, dihadapannya ia melihat Reyka menyeka air matanya dan tersenyum, membuat matanya semakin berat.

“Rey aku bermimpi tentang kita” menyamai pandangan Reyka yang berbinar menatapnya di atas ranjang pasien

“mimpi indah? mimpi buruk? atau keduanya?” sahut Reyka membuat Wila mengangguk-angguk, Nampak Reyka tersenyum begitu manis,

“jangan sok manis, kenapa tersenyum terus dari tadi”

Reyka terkekeh “tak apa, aku hanya bahagia, mulai sekarang tanyakan saja apa yang kamu ingin tahu tentangku”

“huh… seperti bukan dirimu saja” sindir Wila

“memang seperti apa diriku? sebegitu buruk kah?” ucap Reyka yang tidak merasa akan kelakuannya dipandangan orang lain.

“kamu terlalu tertutup bahkan denganku” jawab Wila, mengutarakan isi hatinya selama ini

“aku tidak tertutup, tanyalah akan kujawab” pengelakan Reyka dengan ekspresi dinginnya

“begitu banyak pertanyaanku” ketus Wila antusias

“tanyakan saja” jawab Reyka “tapi istirahatlah dulu, simpan dulu rasa penasaranmu, nanti kita lanjutkan lagi” tambah Reyka sambil menyelimuti tubuh Wila

“huh…sok sibuk” sindir Wila, sedangkan Reyka terlihat pergi menutup pintu, Wila tersenyum memanjakan matanya yang lelah untuk melihat dunia.

Koran-koran menjadi media terjadul namun tak pernah punah, meskipun hari silih berganti, tulisan Koran tetap jaya memamerkan beritanya. Tak punya malu media primitif yang handal mengorek kemajuan zaman itu, antara kesal dan bangga orang-orang tua gemar membacanya agar tak bosan menunggu antrian. Wila pulih dengan cepat, menggunakan kruk melatih keseimbangan tubuhnya, ia tak ingin menyusahkan orang lain, tak ingin manja dengan duduk di kursi roda, ia tak merasakan ada luka dikakinya, hanya saja sering kali jantungnya mencubit membuatnya meringis ngilu. Mengelilingi rumah sakit seorang diri, ia ingin menghibur matanya yang seakan lupa bentuk manusia-manusia bumi. Tanpa Wila sadari Sandy terus mengikutinya dari belakang, takut-takut Wila terjatuh, karena Ibu Ana sedang mempersiapkan pakaian Wila. Malam ini Wila boleh kembali ke rumah menemui kasur empuknya.

Wajah cantik Wila yang pucat tak mau kalah dengan sinar mentari yang menyusup dari rongga-rongga jendela, ia menyipitkan mata indahnya mengintip sinar yang lancang menyilaukan. Bibirnya melukis segaris senyum perlahan memejamkan matanya

“jangan memamerkan kecantikanmu, kamu lihat sinarnya insecure

“astaga jantungku akhh….” Wila terkejut dan langsung memegangi jantungnya

“berlebihan.” Ketus Reyka

“mau sampai kapan muncul tiba-tiba, terus pergi tanpa pamit” kesal Wila mengomeli Reyka yang sudah menyandar di jendela besar itu

“selamanya” jawab Reyka layaknya angin yang berhembus dengan kilat

“huh omong kosong” ucap Wila asal, Reyka hanya tersenyum menatap luasnya rumah sakit, ia mengikuti arah pandangan Reyka

“tempat ini gambaran hidupmu nanti, ingat-ingat wajah pucat orang-orang itu, kecemasan anak kecil dan wanita tua itu, dan amatilah orang-orang berseragam putih dan baju hijau itu. Semua orang akan berterima kasih padamu tapi kau harus mengucapkan selamat tinggal dan jangan kembali lagi pada mereka”

“kenapa?” dengan tatapan yang mengikuti arah pembicaraan Reyka

“jika kamu ingin bertemu mereka lagi, berarti kamu tidak suka pasienmu sembuh , mereka sakit lagi untuk kembali ke rumah sakit dan bertemu dirimu lagi” penjelasan Reyka

“tentu saja aku tidak mau, aku yakin aku bisa, seperti papa yang merawatku, nanti kalau Rey sakit aku akan merawatmu sendiri” ucap Wila, mendengarnya Reyka tersenyum

“kamu tidak akan merawatku” penolakan Reyka

“kenapa, Reyka seorang pembalap liar jelas harus punya perawat pribadi” Wila mengelak dengan terus menjelaskan fungsi dirinya untuk Reyka

“aku memutuskan untuk berhenti balapan liar” jawab Reyka dengan lantang

“lagi-lagi kamu banyak berubah Rey” ucap Wila terkejut dengan keputusan Reyka

“bukankah itu yang kamu mau”

“benar juga, Rey boleh aku bertanya?” ucap Wila yang memiliki rasa penasaran yang tinggi tentang sahabatnya itu.

“tanyalah” pasrah Reyka

“kemana perginya uang hasil balapanmu selama ini?” tanya Wila karena mengingat jika Reyka telah berjanji untuk menjawab semua pertanyaannya. Reyka yang mendengar itu menarik kedua sudut bibirnya. Reyka mengangkat tangan kanannya ia arahkan tepat di depan Wila dengan merenggangkan kelima jari-jemarinya membuat Wila bingung

“hanya 5 kesempatan untukmu bertanya dan aku akan menjawabnya, jadi gunakan dengan tepat, jangan bertanya dengan buru-buru, mengerti” ucap Reyka menjelaskan

“astaga, manusia ini!. Sebelumnya kau tidak mengatakan begitu, kau mengatakan akan menjawab apapun itu, dan akan selalu menjawab rasa penasaranku”

“hm…hmm… peraturan sudah berubah” Reyka menggelangkan kepalanya yang terlihat menggemaskan namun Wila kesal melihatnya

“baiklah tak masalah, aku juga punya permainan” ucap Wila asal, Reyka mengerutkan dahinya

“aku tidak suka ditinggalkan begitu saja, jadi jangan pergi seenak jidatmu. Aku akan menghukummu jika Rey melakukannya” penjelasan Wila menohok Reyka, tatapannya seketika berubah. Wila tak menyadarinya, ia hanya terus tersenyum merasa sangat bahagia lebih dari mendapatkan piala kecantikan.

“uang itu lari ke tempat yang layak, jika kamu ingin mengetahui kejelasannya, segeralah sehat, kita akan bertemu di sana. Aku ada urusan, sampai di rumah segeralah istirahat. Jangan pernah menelepon apalagi memenuhi room chatku.”

“astaga….. kamu pikir aku dukun tau tempat yang kamu maksud” teriak Wila kesal, karena melihat sahabatnya itu pergi begitu saja.

Adakah rahasia diantara manusia? Bukan ada tapi jelas terpampang nyata. Rahasia dirinya, rahasia teman bahkan rahasia yang sudah dibongkarnya. Sama seperti takdir. Rahasia adalah salah satu komplotan takdir. Bersekongkol untuk bersembunyi hingga muncul dan terbongkar tanpa diminta. Jika tak disambut umpan, pancingan tak akan berhasil, maka begitu juga dengan rahasia yang bekerja sama dengan takdir. Menyimpan rahasia terkadang menjadi beban seperti menggendong sebuah kaca yang tipis. sekali lalai akan pecah dan menyebar keseluruh lantai, dan Takdir mendukung dengan kehancuran kaca yang tak dapat lagi disatukan. Sangat menyedihkan begitulah rahasia dan takdir menjadi komplotan sampai-sampai manusia terkadang lalai dan seenaknya membuka rahasia, tanpa mengetahui resikonya. Di balik tembok Sandy menyerengitkan dahinya, ia menyaksikan ekspresi Wila yang sejak tadi tersenyum dan merengut bergulir seakan tahu tiba saatnya berubah.

           Langkah lelaki penuh kegagahan itu membuat bising ketenangan Wila, membuat Wila membuka matanya dan sadar seseorang telah berdiri dihadapannya. Tidak ada yang berubah dari tatapan Sandy, tetap lelaki yang memiliki mata sebesar rembulan, Wila suka menatapnya sampai-sampai ia lupa mengedipkan matanya.

“kenapa tidak mengajakku?, jangan suka menyendiri” ucap Sandy yang berani memunculkan batang hidungnya dihadapan Wila

“ah… jangan berlebihan, aku tidak pernah sendiri” ucap Wila, sosok Wila di mata Sandy juga tidak berubah, tanpa make up pun Wila tetap cantik. Sandy menanggapi ucapannya dengan tersenyum senang

“kamu benar, aku akan terus bersamamu” jawab Sandy, Wila spontan membuka mulutnya lebar seakan-akan syok dan tertawa terbahak-bahak, sambil menggelengkan kepalanya dan melangkah pergi meninggalkan Sandy.

Bersikap memalukan terkadang perlu untuk membuat orang yang disayangi tertawa tentunya rasa malu itu akan sangat berarti jika mendapatkan respon pembayaran mahal untuk rasa malu itu. Hargailah, kasih sayang dimulai dari saling menghargai bukan menghormati. Tumbuhnya rasa nyaman bukan karena sering bersama lalu terbiasa, tapi mencoba untuk memulai. Rasa sayang dan cinta tidak perlu diungkapkan dengan kalimat, cukup jalani semestinya dan saling mendengarkan bukan mengabaikan. Sejauh ini Sandy memegang teguh rasa sayangnya, ia tidak merasa kecewa sedikitpun. Wila memang seakan terus mengabaikannya. Tapi tatapan Wila terhadapnya membuat Sandy terus merasa yakin. Di bawah 147 kaki, disela-sela lorong kamar rumah sakit Sandy menyaksikan punggung Wila yang semakin ditelan tembok, dipantaunya sampai memasuki ruangan. Ada kejadian-kejadian yang tidak pernah diungkap dengan cepat, rasanya menjadi beban, suara-suara kebenaran itu ingin segera membobol mulut dengan segera, namun batin berteriak “belum waktunya”

Tampak satu lubang kecil membuat janji bersama sosok tambalan, membiarkan kerusakan tertutupi walaupun tidak sempurna, menyumpali mulut-mulut lancang yang berniat mengeluarkan tawanan pencekik pendengaran. Kepalsuan, memang dunia ini panggung sandiwara begitu orang-orang menyebutnya. Tapi tetap saja tidak sadar dan terus melakukan kesalahan. Memang takdir manusia begitu ternyata. Wila melewati lorong kampus sesekali menarik napasnya, seakan menghirup rakus semua udara. Semua menatapnya, mungkin bukan hal langka dalam dirinya

“senang melihatmu lagi Wil, jangan bersedih Wil, selamat beraktivitas Wil” ucap beberapa orang yang menyapanya dengan ramah, seperti ada yang aneh, tapi Wila hanya berpikir karena mereka tahu selama dua bulan Wila berada di rumah sakit. Ia terus menyambutnya dengan senyum dan embel-embel terima kasih. Mata Wila menembus seluruh universitas, seseorang yang sampai saat ini tidak muncul dihadapannya, membuatnya kesal. Memutuskan untuk menuju ke ruangan Reyka.

Wila hendak langsung menyelonong masuk, terhenti. Ternyata kelas Psikolog sedang berlangsung, ia mengintip di jendela, matanya memeriksa satu persatu wajah-wajah palsu, yang berpura-pura memperhatikan itu, menguap dan menggosok mata sudah menjadi kebiasaan di jam perkuliahan pagi. Wila tidak menemukan sosok yang dicarinya

“iishh…. Sejak kapan anak itu suka membolos, nomor tidak pernah aktif, woahh aku yakin saat aku koma kamu tidak pernah mengunjungiku Rey.” Wila mengumpat, menerka-nerka. Ia melangkahkan kakinya pergi, rasanya ia juga malas masuk kelas, Wila memilih ke kantin.

Keramaian kantin memang tidak ada tandingannya, tentu saja siapa yang akan menolak makanan, rela mengeluarkan lembaran uang juga demi menikmati makanan. Terlihat wanita paru baya mendekatinya penuh senyuman.

“sudah bisa makan Mie Ayam Ndo…?” goda wanita itu membuat Wila tersipu

“iya Bude, pesan satu porsi nggeh Bude” ucap Wila dan wanita paru baya itu segera pergi, tak berapa lama dengan membawa semangkuk mie ayam dan jus strawberry. Aroma yang begitu lama tidak diciumnya, membuat perutnya semakin memberontak, kepulan asap dan kuah kental mie ayam itu jadi nagih ingin terus memakannya, Wila begitu merindukan aroma lezat ini, sampai memejamkan mataya sambil tak henti tersenyum, beberapa detik kemudian Wila membuka mata dan melihat Mie ayamnya masuk ke dalam mulut mungil seseorang, dengan lancang memasukkan pentol bersamaan dengan kuah yang kental tanpa rasa berdosa, membuat Wila menelan liurnya kasar dengan mata melotot.

“Reykaaaaaa…. Itu milikku” tangan kilat Wila langsung menarik kembali mangkuk mie ayam itu

“jangan berteriak, semua orang menatapmu, nanti kamu dikira orang gila loh…” jawab Reyka dengan santai dan memberikan sendok pada Wila yang sudah merengut kesal. Karena tak ingin berbagi dengan Reyka, Wila melahap makanannya dengan cepat

“Nyam…amm..mm kem…. kenapa kamu membolos?” dengan mulut yang penuh dengan mie Wila memaksakan untuk berbicara, melihat hal itu Reyka menyandarkan dirinya dikursi dengan menyilang kedua tangannya di dada

“habiskan dulu, kalau tersedak tidak akan ada yang menolongmu”

“kan Rey ada” jawab Wila asal tidak menuruti perintah Reyka

Reyka masih dengan posisinya, ia tersenyum sinis sambil menatap Wila tajam “jangan selalu berpikir begitu, kamu ingat si Mbah? Anak-anak panti selalu mengandalkan beliau yang selalu ada untuk mereka, tapi kau tahu si Mbah adalah milik Tuhan, jangan sampai membuat Tuhan cemburu” mendengar kalimat Reyka, Wila menghentikan kunyahannya, menatap tajam Reyka

“lebih baik mendengar perumpamaan-perumpamaanmu dibanding kalimat barusan, memang mudah kupahami tapi membuatku menolak dan langsung protes tidak terima”

“mau tidak mau kamu harus menerimanya” ucap Reyka tak ingin memberi Wila rasa kasihan. Ia meninggalkan kursinya, dan berhenti setelah melangkah dua kali

“jangan pergi, aku ikut” tahan Wila dengan terburu-buru meninggalkan selembar uang 50 ribu rupiah di meja makannya, dan berlari mengejar Reyka.

Menarik perhatian, pagar besi yang semakin karatan itu tetap kukuh berdiri tegak, sayangnya tak ada lagi pohon Randu dan lapangan hijau penuh permainan itu. Sebagai gantinya wajah-wajah ceria itu menghiasi suasana rumah panti. Wila mengikuti Reyka hingga sampai di tempat ini, namun Reyka berpamitan karena ada keadaan mendesak, Wila seakan terhipnotis dan mengijinkan Reyka pergi, dan ia mengunjungi Rumah panti. Sudah dua bulan lebih mereka tidak berkunjung. Kedatangan Wila disambut oleh anak-anak panti yang bergantian memeluknya, mereka menyalurkan rindu. Ili menjadi anak terakhir yang memeluk Wila, matanya sembab seketika, ia tak mampu menahan tangisnya, membuat Wila bingung

“kenapa menangis?”

“maafkan Ili kak”

“apa salahmu sampai meminta maaf?” kalimat itu membuat Ili menatap Wila penuh arti, tapi mulutnya seakan terkunci rapat, air matanya terus mengalir tak henti. Ada rasa sesak dalam dadanya tapi ia tak mampu mengungkapnya.

“sudah…sudah… apakah anak-anak panti nakal sehingga kamu tidak kuat menjaga mereka?” tanya Wila dan Ili hanya menggeleng

“kalian tidak kelaparan kan? Katakan saja pada kakak kalau kalian membutuhkan uang” selidik Wila lagi, dan Ili masih menggeleng

“tabungan kak Reyka sudah sangat cukup untuk kami” ucap Ili membuat Wila mendorong pelan tubuh Ili dan menatapnya serius

“maksudmu?”

“kak Rey yang berikan si Mbah tanah ini dan membantu si Mbah menghidupi kami, waktu Ili bilang si Mbah tidak memiliki sertifikat tanah, Ili tidak tahu jika sebenarnya tanah ini sah milik anak-anak panti. Sebulan yang lalu seorang laki-laki mengantarkan amplop coklat yang didalamnya adalah sertifikat tanah, uang tunai dan buku tabungan, dan sepucuk surat” sedikit penjelasan Ili, Wila mematung, ia seakan dipaksa memutar otak sendiri.

Batinnya berbicara “kamu sengaja membawaku ke sini untuk menjawab pertanyaanku Rey, kenapa kamu sebenarnya. Semenjak aku sadar kamu terlihat berbeda, dan seakan semuanya berubah” Wila yang masih melamun berkali-kali membuat Ili harus berteriak menegurnya.

“ahh maaf Li… Li kalau kakak boleh tau surat apa yang kak Rey berikan, kenapa kak Rey tidak memberikannya langsung padamu? Ili kenal siapa lelaki yang datang mengantar?” Wila semakin menyelidiki, tapi Ili justru tertawa dan mengusap air matanya

“bukan apa-apa kak, sedikit nasehat saja” jawab Ili terdengar kikuk.

“Ili tidak tau namanya kak, tapi Ili masih mengingat wajah lelaki itu” sambung Ili, Wila semakin penasaran, tapi ia tak bisa memaksa Ili mengatakan semuanya, terlihat jelas tatapan gugup dan tertekan dalam sorot mata Ili.

“ah tidak masalah, yang jelas kalian sudah aman sekarang, Ili ingat jangan pernah segan meminta bantuan pada kakak ataupun kak Rey ya, hubungi saja” ucap Wila, Ili yang mendengarkan hanya mengangguk dan menundukkan kepalanya tak berani menatap wajah Wila. Ini adalah kunjungan yang paling singkat, Wila pamit pulang, Wila merasa tubuhnya tak ingin beraktifitas hari ini, ia memutuskan untuk kembali ke rumah.

Tak mampu sikapi rasa mengakibatkan overdosis, tak mampu jauh dan tak ingin kehilangan, bukan layaknya dilakukan manusia, tapi justru terasa keharusan yang mereka lakukan. Terbakar dengan emosi dan kekesalan sendiri menjadi pintu kesedihan hingga mengakibatkan perang dingin dengan diri sendiri, bagaimana manusia menghadapi, dengan banyak cara, tapi satu-satunya ialah mengandalkan diri sendiri, Wila mengeringkan rambutnya, duduk di depan cermin besarnya, bengong menatap wajahnya sendiri. Jauh di dalam sana sudah ada cerita non fiksi dan jelas deskripsinya. Tapi Wila masih memilih dongeng serta cerita jenaka. Bukan tanpa alasan, hanya saja Ia sadar diri bahwa hidup ini akan terus lucu sebab Ia belum menanggapinya dengan serius. Dirinya tahu, Ia suka membela diri, hingga dirinya yang salah akan malu dan dirinya yang benar merasa bersalah. Ya,… Ia merasa dirinya selucu itu, Ia mengaku hatinya tak siap menghadapinya. Wila menyadarkan dirinya sendiri, rasa kantuk tiba-tiba tidak bisa ditahannya, dengan asal ia membanting tubuh ke atas ranjang, merentangkan kedua tangannya dan menarik napas dalam-dalam.

Tok…tok…tok..

“masuk” teriak Wila, tanpa membuka matanya, ia merasakan seseorang melangkah kearahnya, ia sangat hapal dengan langkah kaki itu, aroma parfum itu, hingga ia sudah merasakan seseorang itu kini ikut berbaring di sebelahnya, Wila membuka matanya dan menatap kesampingnya.

“kenapa tidak pernah melibatkanku, kalau kamu bekerja untuk menghidupi anak-anak?” Wila mengintrogasi Reyka seperti berada di ruang eksekusi, penuh penekanan disetiap perkataannya.

“dari awal kamu sudah terlibat, aku hanya tidak memberi tahu kemana duit itu pergi, aku malas meyakinkanmu, cukup percaya bahkan sampai saat ini pun kamu masih terlibat” jawab Reyka menatap langit-langit kamar Wila

“tidak bisakah kamu berterus terang sekarang?” Wila memohon

“tentang?”

“dirimu, apa yang kamu sembunyikan akhir-akhir ini?”

“cintai dirimu agar dia sehat, berusia lebih panjang, dan bermanfaat bagi banyak orang. Agar dirimu selalu siap untuk berjuang. Selalu ada untuk keluarga, selalu tersedia untuk orang-orang yang di cintai. Perkenalkan pada dirimu tentang cinta kasih kepada mereka yang membencimu, ajari dirimu membatasi nafsu, perkenalkan nikmatnya syukur. Sesungguhnya menjadi dirimu adalah bentuk mencintai dirimu. Begitukan Roem Rowie menuliskan pendapatnya. Aku hanya sedang mencintai diriku saat ini melalui dirimu” ucap Reyka lalu membenarkan posisi duduk dipinggir ranjang

“terus saja kamu membuatku pusing, aku tidur, tutup pintunya kalau keluar, aku tau kamu tidak menginap” ucap Wila dengan mata yang sudah terpejam kembali, seakan otaknya benar-benar tidak ingin berfungsi, jantungnya terus memompa dengan cepat, seakan berperang di dalam sana. Di bawah alam kesadarannya Wila memasuki ruangan yang begitu gelap, tanpa cahaya sedikitpun, ia memanggil siapapun yang berada di sana tak seorang pun menjawabnya, menjerit dan berteriak tak juga menemukan seseorang. Tiba-tiba terdengar alunan musik berisik sekali ditelinganya, ia mencari-cari sumber suara itu masih tak ditemukan, semakin terdengar merobek gendang telinganya, ia geram dan matanya terbuka lebar, ia sadar hanya mimpi, Wila menarik napasnya pelan dan meraih ponsel yang tak jauh dari tempatnya terkapar, lalu menjawab panggilan itu

“hmmm…?”

“oke, jemput saja” empat kata yang cukup mewakili rasa malasnya.

Wila merasa telah berjanji pada penelepon itu, Ia bergegas malas untuk bersiap-siap, karena sebentar lagi jemputannya akan sampai. Kali ini bukan untuk berkencan ataupun bertemu orang penting, Edo meneleponnya agar Wila menemaninya ke suatu tempat.

Lihat selengkapnya