“Selamat pagi, gaiiisss!” seru Livy dengan wajah berseri-seri, secerah seragam SMA yang membungkus tubuhnya. Livy sedang melakukan siaran langsung dengan akun barunya di Instagram.
“Namaku Livy. Nama panjangku ...,”
“Livyyyyy ...!” Terdengar suara nyaring Bu Alin dari lantai bawah.
“Oops!” Livy menutup mulutnya dengan tangan. “Nama panjangku bukan Livyyy ... ya, gaiiisss. Sssst ... itu suara mamaku, hihihi,” Livy terkikik-kikik sendiri. Kakinya menjejak anak tangga demi anak tangga dengan lambat.
“Nama panjangku Liviara Ludwina. Hari ini aku genap tujuh belas tahun, lho. Oh my God, sweet seventeen, gaiiis! The sweetest part of my life,” celoteh Livy dengan mimik menggemaskan.
“Livyyyy ...!” panggil Bu Alin lagi.
“Eh, aku harus cepat-cepat, nih, gaisss!”
“Livy, kamu sekolah, enggak, sih? Udah jam berapa ini? Papamu sudah berangkat kerja dari tadi,” Bu Alin memelototi putrinya yang menuruni tangga menuju ruang makan sambil merekam dengan smartphone. Tetapi, percuma saja Bu Alin berusaha membuat matanya lebih besar, mata Bu Alin tetap terlihat sipit.
“Papa kan direktur. Pergi ke kantornya memang harus cepat, Maaa,” sahut Livy seraya melompati dua anak tangga sekaligus sebelum sampai di lantai dasar.
“Nyahuuut aja kamu, tuh!” Bu Alin merasa gemas mendengar sahutan Livy. Hampir saja Livy terkena cubitan di pipi bila tidak buru-buru menghindar.
“Anak ultah jangan dimarahin, dong, Ma! Diucapin selamat, gitu,” kata Livy dengan mulut dibuat-buat manyun.
Lulu yang sedang minum susu di meja makan langsung menyela, “HBD, Kak! WYATB!”
“Idiiih, irit amat ucapan ultahnya. Nggak ikhlas, ya? Main singkat-singkat aja,” gerutu Livy pada adiknya itu. Lulu pun tertawa-tawa.
Bu Alin menepuk dahinya, pura-pura terkejut. “Oh iya, kamu ultah hari ini, ya?” “Tapi, nambah umur juga kamu nggak tambah rajin, ah! Selamatnya nanti saja, deh. Kamu buruan sekolah dulu!” sambungnya.
“Iiiih, Mama!” Ivy menyengir sambil mendekati meja makan. Dia buru-buru mencomot sepotong butter croissant, mengolesi bagian dasarnya dengan selai nanas, lalu menggigitnya.
“Aku makan dulu, ya, gaisss!” seru Livy yang masih sibuk merekam aksinya sarapan. Bu Alin geleng-geleng kepala menyaksikan tingkah anak keduanya itu. Livy selalu bisa membuat rumah terasa ramai—kalau tidak mau dibilang berisik, berbeda dengan Lulu yang lebih kalem.
Livy mengambil lagi sepotong butter croissant dan menyelipkannya ke mulut. Sambil mengunyah croissant, Livy bergegas menuju pintu keluar. Tidak lupa, dia menyalami dan mencium tangan Mama.
Mama cepat-cepat menyusulnya sampai ke pintu untuk mengucapkan sepatah dua patah kata perpisahan.
“Ingat, ya, Livy, jangan ngebut! Jalan di pinggir, tapi jangan naik ke trotoar juga. Jangan menerobos lampu merah, apalagi masuk jalur busway. Awas kalau godain polisi lagi! Jangan aneh-aneh, deh, pokoknya. Biarkan Mama hidup tenang!” Mama mewanti-wanti Livy dengan rentetan pelarangan seperti biasa, seolah-olah Livy selalu melanggar peraturan lalu lintas. Padahal Livy tidak selalu begitu, seminggu tiga kali tanpa kasus rasanya sudah cukup bagus.
Livy tidak menyahut. Mulutnya masih penuh dengan croissant. Dia mengangguk saja agar Bu Alin segera berhenti bicara, walaupun dia tahu itu tidak mungkin.