Setelah selesai menjalani hukuman, Livy, Allara, Shabia, dan Hannah diperbolehkan pulang. Wajah mereka terlihat kusut dan merah padam terbakar matahari.
“Halo, gais!” Livy merekam video lagi. “Akhirnya kami bebas dari hukuman, nih. Teman-temanku emang nggak ada akhlak, gais. Hidup mereka fix cuma buat nyusahin aku aja,” celoteh Livy, disambut tawa ngakak Shabia, Allara, dan Hannah.
“Bau banget kamu, Vy! Amis, apek, ugh ... jauh-jauh sana, huss!” usir Allara setelah mengendus aroma yang menguar dari tubuh Livy.
“Sad girl banget aku hari ini, gais. Mereka ini emang manusia multi-akun tapi minus empati,” keluh Livy. Bukannya kasihan, sahabat-sahabatnya malah bertambah ngakak.
Penampilan Livy terlihat sudah awut-awutan. Seragam yang dipakainya belepotan tepung dan telur, juga basah karena keringat. Ditambah lagi bau matahari akibat dijemur sepanjang hari tadi. Aroma badannya sungguh tidak terbayangkan!
Livy dan ketiga sahabatnya pun berpisah untuk kembali ke rumah masing-masing. Seperti biasa, Livy melaju cukup kencang di jalan raya. Baginya, sulit sekali mengendarai motor dengan kecepatan rendah. Meskipun sudah dinasihati oleh mamanya berkali-kali agar tidak mengebut di jalanan, tetapi Livy masih saja membandel. Padahal, dia sudah pernah celaka di jalan karena hal itu. Mungkin karena akibatnya tidak terlalu parah, membuat Livy tidak pernah kapok untuk mengulanginya lagi.
Livy merasa badannya sangat gerah dan kotor. Dia mempercepat laju motornya agar bisa segera tiba di rumah. Dia ingin mandi sebersih-bersihnya dari ujung rambut sampai ujung kaki, melenyapkan “hadiah” dari sahabat-sahabatnya tadi.
Tiba-tiba, dari arah samping kiri Livy, sebuah motor sport warna merah menyalip dengan kencang.
“Wooaaa ...!” Livy tersentak. Motornya sampai oleng karena kaget, juga terkena angin yang timbul. Livy pun sibuk menjaga keseimbangan motornya.
Livy sempat melihat penunggang motor tersebut; seorang cowok berambut agak gondrong, berkacamata hitam, dan mengendarai motor dengan tubuh miring—atau dimiringkan. Entah mau bergaya, entah pun mengidap skoliosis.
“Woy! Nyalip dari kiri aja!” teriak Livy sewot pada “cowok miring” itu. Tetapi, sudah pasti si Cowok Miring tidak mendengarnya.
Livy merasa kepalanya memanas. Egonya spontan muncul. Setelah menandai pelat motor cowok itu, Livy menarik gas lalu melaju mengejarnya. Tak ayal, motor Livy dan motor si Cowok Miring berkejar-kejaran di jalan raya. Suasana lalu lintas menjadi sedikit kacau gara-gara mereka melakukan balapan mendadak. Bahkan Livy sempat hampir menyerempet sebuah taksi.