Livy memasuki pekarangan rumahnya yang luas dan asri. Berbagai tanaman dan bunga-bungaan tertata rapi. Itu adalah hasil sentuhan tangan dingin Mbak Septi, asisten rumahnya yang suka berkebun dan mengurus taman. Mbak Septi bisa betah berjam-jam mengurusi tanaman di rumah Livy.
Livy bertanya-tanya melihat sebuah mobil polisi terparkir di halaman rumahnya. Seumur-umur, rumah Livy belum pernah disambangi polisi.
“Aneh,” gumamnya.
Pikiran Livy mulai berkecamuk. Jangan-jangan, waktu dia kebut-kebutan di jalan tadi, ada polisi yang melihatnya!
“OMG! Apa aku akan ditangkap? Dari mana polisi tahu rumahku?” batinnya dengan dada berdegup kencang.
Livy memarkir motornya di halaman. Dia malas memasukkan motornya ke garasi supaya tidak repot kalau nanti akan dipakai lagi. Setelah melepas helm, Livy melangkah dengan hati-hati menuju teras rumah. Tangannya mencangklong ke tali ransel yang dipakainya.
“Pintunya terbuka,” desisnya. Kecemasan tiba-tiba menyergapnya ketika melihat pintu rumah menganga lebar. Mamanya tidak biasa membiarkan pintu rumah terbuka begitu saja kecuali jika sedang menerima tamu.
“Ada urusan apa polisi ke sini?” batin Livy lagi.
Terdengar suara berat dan tegas tengah berbicara, ditingkahi suara memelas Bu Alin dan tangisan Lulu. Langkah kaki Livy terhenti. Dia mengurungkan niatnya untuk masuk dan memilih mencuri dengar dari luar.
“... atas tuduhan penggelapan uang PT. Makmur Damai sejumlah sepuluh miliar. Ini surat penangkapannya,” kata polisi yang datang ke rumah Livy.
“Saya tidak menggelapkan apa pun dari kantor!” sergah Pak Roby, papa Livy.