Livy merasa deja vu. Suasana yang mencabik-cabik hati seperti ini pernah keluarga mereka rasakan dua tahun lalu, ketika mereka kehilangan Dean. Dengan prestasinya di bidang balap motor, Dean menjadi putra kebanggaan orangtuanya. Kegemilangan Dean membuat Livy mengidolai kakaknya itu. Livy nyaris tak pernah absen menonton Dean berlaga atau sekadar berlatih. Lama-kelamaan, Livy terinspirasi untuk menjadi pembalap juga seperti Dean.
“Aku pengeeen banget jadi pembalap, Kak. Tapi ... aku kan cewek. Emang cocok, gitu, cewek balap-balapan?” ungkap Livy ketika ikut Dean ke tempat latihan.
“Vy, balapan itu soal nyali, bukan soal gender. Kalo kamu berani, ya lakukan. Tapi, harus tanggung jawab dan jangan membahayakan orang. Jadikan ini olahraga, bukan buat gaya-gayaan,” ujar Dean.
Karena gencarnya Dean memotivasi Livy, akhirnya Livy pun mencoba-coba menunggangi motor sport milik Dean. Awalnya Livy merasa motor tersebut terlalu berat bagi posturnya yang mungil. Bahkan Livy pernah tidak kuat menjaga keseimbangan motor sport itu dalam keadaan berhenti hingga jatuh tertimpa motor. Tetapi seiring waktu latihan, Livy pelan-pelan dapat menyesuaikan diri.
Seperti Dean, Livy juga tampak berbakat melaju di sirkuit. Keberaniannya patut diacungi jempol. Itu membuat Dean semakin bersemangat untuk menurunkan keahliannya kepada Livy. Namun demikian, kadang Livy juga disusupi rasa malas dan bosan. Berlatih dan berlatih, tanpa pernah sekali pun bertanding—tepatnya belum sempat karena Dean telanjur pergi untuk selamanya. Dean mengakalinya dengan sering-sering menraktir Livy jajan sepulang latihan dan itu cukup berhasil.
“Kalo kamu seriusin, kamu juga bisa dapat banyak hadiah dari balap ini. Lumayan, kan?” terang Dean,
“Siaaap!” sambut Livy cepat. “Janji, deh. Pialaku nanti buat Kakak!”
“Janji itu utang, lho, harus dibayar,” Dean mengingatkan.
“Iya, aku tau. Kakak kan udah capek ngajarin aku. Jadi, ya ... itulah caraku membalasnya. Sepakat, Kak?”
“Sepakat, sih. Cuma kasian aja. Masa kamu yang balapan, aku yang dapat piala, hahaha ...,” Dean tergelak.
Livy terkikik dan langsung menghujani kakaknya itu dengan cubitan kecil.
Tetapi, itu kini tinggal memori.
Livy hanya sempat sekitar dua bulan berlatih bersama Dean sebelum semuanya harus berakhir. Motor yang dikendarai Dean tiba-tiba oleng dan mencampakkan Dean ke tengah sirkuit balap yang sedang diikutinya. Tubuh Dean yang tidak berdaya langsung tersambar oleh motor-motor di belakangnya. Helmnya pecah, mengoyak perlindungan untuk kepalanya. Detik itu pula, Dean tidak bergerak lagi.
“Deaaaan!” jerit Bu Alin histeris ketika menyaksikan momen mengerikan itu. Sejurus kemudian, Bu Alin jatuh pingsan di antara penonton.
Sementara, Lulu menangis menjerit-jerit. Dia disergap kepanikan dan kebingungan; antara berusaha menyadarkan mamanya dari pingsan atau menyongsong tubuh kakaknya yang digotong ke dalam ambulans. Bila saat itu ada Livy bersamanya, mungkin dia tidak akan sepanik ini. Tetapi, Livy harus mengikuti ujian sekolah, sehingga tidak bisa ikut ke sirkuit. Kalau tidak ada ujian, pastilah Livy akan ikut-ikutan Lulu membolos untuk mendukung Dean.
Di kemudian hari, ketidakhadiran Livy pantas disyukuri. Karena, bila dia ikut menyaksikan langsung peristiwa tragis itu, tentu dia akan sulit mengusir trauma yang dialaminya—seperti Lulu dan Bu Alin.