Janji Livy

Beby Haryanti Dewi
Chapter #8

Tabayyun

Tidak mudah untuk mengubah gaya hidup menjadi lebih sederhana, terutama bagi Bu Alin. Bu Alin merupakan tipikal perempuan manja yang tidak terbiasa mandiri, apalagi semua kebutuhannya sudah tercukupi oleh sang suami. Bu Alin belum pernah merasakan bagaimana mengelola keuangan bila tidak ada lagi sokongan dari suaminya—seperti sekarang.

Bu Alin duduk memandangi pantulan dirinya di cermin. Wajahnya masih cantik dan awet muda di usianya yang menjelang lima puluh tahun. Semakin bertambah umur, semakin gencar pula Bu Alin melakukan perawatan di klinik kecantikan. Sedikit saja muncul kerutan, Bu Alin bisa menjadi panik luar biasa. Suntikan filler pun menjadi andalan untuk mengisi garis-garis kerut yang terus bertambah seiring waktu itu. Namun, semenjak Pak Roby ditahan, Bu Alin belum pernah pergi ke klinik kecantikan langganannya. Keinginan itu selalu tertunda lantaran Bu Alin kerap menghitung-hitung biaya yang akan dikeluarkannya untuk aneka perawatan tersebut.

Bu Alin meraba kulit yang terasa kasar di sekitar bibirnya. Garis senyum tampak jelas membingkai kedua tepi mulutnya—Bu Alin sangat membencinya.

“Ah, kerutan ini muncul lagi ... pipi juga udah ngeflek lagi. Sudah berapa lama aku nggak perawatan?” gumam Bu Alin sembari mendekatkan wajahnya hingga nyaris menempel ke cermin. Dia memeriksa setiap inci kulit mukanya dengan teliti. Seperti kebanyakan kaum perempuan, Bu Alin sering mengkhawatirkan hal-hal kecil yang mengganggu kemulusan wajahnya. Bahkan, Bu Alin rela mengeluarkan uang banyak hanya untuk menyingkirkan sebutir komedo atau titik hitam!

“Aduh ... jadi kelihatan tua!” rutuk Bu Alin lagi. Hatinya diliputi kebimbangan. Kalau ke klinik kecantikan, pasti dia harus mengeluarkan uang yang tidak sedikit. Tetapi kalau tidak, mana sanggup dia melihat cermin kalau disuguhi pemandangan seperti ini! Hm ... dilema.

Tiba-tiba, masuk pesan Whatsapp dari Bu Rika. “Ciii, aku mau ke klinik, nih. Ikut, yuk! Udah lama, lho, kita nggak perawatan bareng,” ajaknya.

“Lagi males keluar, nih,” tolak Bu Alin.

“Kok sekarang males terus kalau diajakin? Ada apa, sih?”

“Ya lagi pengen di rumah aja.”

“Jangan bilang si Bos lagi bangkrut, ya, hahaha. Mana mungkin gitu, lho!”

Mulut Bu Alin mengerut, dia tidak senang membaca pesan Bu Rika itu. “Ya enggaklah. Cuma males aja kok,” balasnya.

“Yakin, tuh muka masih baik-baik aja, Ci? Kayaknya filler-nya udah harus diisi ulang, deh, hahaha,” canda Bu Rika sembari terus mendesak Bu Alin.

Lama-kelamaan, Bu Alin tersulut juga. Dia tidak mau Bu Rika menebak-nebak apa yang terjadi pada kehidupannya sekarang, apalagi kalau tebakannya benar. Ah, gengsi, dong!

Akhirnya, “Okelah, Rik. Aku memang udah kucel banget, nih. Perlu perawatan dari kepala sampai kaki,” ketik Bu Alin.

“Nah, gitu, dong. Kita ketemuan di klinik yang biasa, ya. Aku langsung berangkat, nih,” tandas Bu Rika.

Bu Alin dan Bu Rika memang sering melakukan perawatan bersama di klinik tersebut. Perawatan biasanya memakan waktu berjam-jam, bahkan bisa sampai seharian. Itu sebabnya Bu Alin dan Bu Rika lebih suka melakukannya bersama-sama, agar ada teman mengobrol selama perawatan. 

“OK.”

Lihat selengkapnya