Sepulang sekolah, Livy mampir ke sekolah Lulu, adiknya. Lokasinya berjarak agak jauh dari sekolah Livy, tetapi masih searah. Lulu biasanya pulang pergi naik ojek online, tetapi kadang-kadang diantar atau dijemput Livy.
Livy menunggu Lulu di parkiran dan mengirim pesan kepada Lulu. “Aku udah di depan.” Tidak lama kemudian, Lulu muncul dengan wajah lelah.
“Kenapa kamu?” tanya Livy begitu Lulu mendekat.
Lulu menjawab, “Capek. Piket tadi. Pengen cepat sampe rumah.”
“Oh,” sahut Livy pendek. “Cepetan naik!” suruhnya.
Livy dan Lulu segera berangkat meninggalkan sekolah Lulu. Seperti biasa, Livy mengendarai motor dengan kecepatan yang cukup tinggi untuk ukuran dalam kota, dan Lulu paling takut dibawa ngebut. Lulu sudah sering memrotes soal ini pada Livy, tetapi percuma saja, Livy tidak pernah menggubrisnya. Jawaban Livy selalu sama, “Tenang. Aku ngebut dengan penuh perhitungan.”
Lulu yang duduk di boncengan menjadi gelisah. Sepanjang perjalanan, Lulu memeluk kuat pinggang Livy. “Kak, pelan-pelan, dong!” pintanya.
“Selow. Katanya pengen cepat sampe rumah?” sahut Livy.
“Ya nggak ngebut juga, kali. Pelanin, dong!” desak Lulu semakin gusar, tetapi Livy tidak memedulikannya.
“Kak, jangan kencang-kencang ... takuuut ... huaa ...,” Lulu mulai merengek.
Livy hanya menyengir. “Gimana, sih? Jangan kayak anak kecil gitu, deh. Pake nangis segala,” gerutu Livy.
“Habis, kayak sedang balapan liar aja,” balas Lulu dengan wajah ditekuk.
Balapan liar?
Balapan liar!
Raut wajah Livy mendadak cerah. Livy teringat akan sesuatu. Sambil mengendarai motor, pikirannya melayang ke mana-mana. Sesekali senyumnya terkulum.
“Yes!” pekik Livy dalam hati.
Tanpa Livy sadari, lampu lalu lintas menyala merah dan kendaraan-kendaraan lain mulai mengurangi kecepatan. Sampai akhirnya, satu per satu kendaraan berhenti.