Sekuat tenaga ku dobrak pintu itu, engsel pintunya pun sedikit bergeser dan slot pintunya terlepas dengan paksa. Ini bukan kali pertamaku mendobrak pintu. Mudah saja bagiku meski tubuhku kecil aku cukup kuat untuk ukuran pintu kayu yang tipis. Aku langsung mendekat dan memegang leher untuk mencari nadinya. Terasa dingin. Nadi di lehernya tidak berkedut. Dia meninggal.
Dua ujung jariku yang masih memegang leher Ethan menjadi gemetar. Aku tidak pernah berada dalam situasi seperti ini. Sialan. Aku jadi selalu mengumpat disetiap akhir kataku. Lalu kucoba untuk membaca ingatan Ethan barangkali aku bisa mengetahui detail kematiannya. Tetapi itu percuma. baru kali ini aku mencoba membaca ingatan dari orang yang sudah meninggal. Itu tidak berdampak apapun. Aku tidak mendapat gambaran secuilpun. Kenapa ini bisa terjadi?
Kemudian aku meneriaki semua penghuni kos-kosan itu tapi tidak ada yang keluar. Karena ini adalah jam kerja, maka semua penghuni kos meninggalkan kamarnya. Aku panik. Tanganku gemetaran. Dan aku berlari ke rumah pak RT untuk melapor. Pak RT dengan sigap menghubungi pihak polisi, dan aku hanya perlu menunggu.
Setelah melapor tetangga pun berkerumun di sekitar kos. Beberapa penghuni pun kos datang. Mereka kebingungan dengan keramaian yang ada. Mereka menanyaiku dan aku menjelaskan semua kejadian itu pada mereka. Anak-anak yang lain memberi saran padaku untuk menelpon keluarga Ethan segera.
Di sini, kos-kosan ini, tidak ada yang lebih dekat dengan Ethan selain aku. Aku teman SMA nya dulu. Jadi aku merasa harus bertindak apapun itu, setidaknya menyelesaikan kasus temanku ini. Aku berada di atas balkon langsung mencoba menelpon orang terdekat dari Ethan. Untung dulu Ethan sempat menggunakan smartphoneku untuk menelpon ibunya.
“H-halo, t-tante. Eh, m-maaf mengganggu, i-ini ada se-,” aku gelagapan bicara di telepon. Serasa jiwaku masih belum siap menerima ini. Air mataku sempat setitik menetes dan mengusapnya agar terlihat tegar. Tapi apa daya. Perasaan itu cukup sulit bagiku. Di dalam dadaku serasa menggumpal semua emosi sedih, kecewa, marah, dan sebagainya. Mulutku hanya membuka sedikit dan tak bisa bersuara.
“Sini, biar aku yang mengatakannya,” kata teman kosku yang kamarnya berada di seberang kamarku, Dian. Tampaknya dia mengerti gelagatku yang syok dan susah untuk mengatur emosi. Aku memberikan teleponku kepadanya dan dia menjelaskan kejadiannya secara perlahan pada ibu Ethan.
Aku berusaha setenang mungkin menghadapi ini. Mencoba untuk tidak bertingkah berlebihan, berpikir jernih, meredakan emosi. Aku menghembuskan nafas panjang berkali-kali. Dan itu semua masih belum cukup untuk membendung semua perasaanku. Apalagi sekarang polisi sudah sampai pada tempat ini. Aku merasakan semakin sesak di sini, banyak sekali orang. Tangga yang biasanya sempit dan gelap sekarang menjadi ramai. Ada anak-anak kos bawah dan tetangga berkumpul. Bahkan Dani pun segera kemari mendengar kabar ini. Aku melihat anak itu dari atas balkon. Ia berada di tepi jalan dengan motornya, ingin melihat situasinya juga.
Polisi pun langsung menyegel kamar itu. Barang-barang yang berada di kamarnya langsung di bawa untuk diselidiki. Para penghuni kos pun di interogasi oleh petugas aparat. Aku sebagai teman paling dekatnya yang paling banyak mendapat pertanyaan. Aku bercerita berulang kali kepada polisi tentang kejadian saat aku masuk sampai aku mendobrak pintu.
Polisi itu berkata bahwa ciri-ciri mayat Ethan meninggal diakibatkan oleh overdosis narkoba. Tetapi polisi tetap harus mengidentifikasi mayat korban. Aku yang sebagai temannya sejak SMA gusar mendengar hal tersebut. Overdosis? Yang benar saja. Temanku tidak pernah tertarik tentang narkoba. Aku mengenal dia. Memang akhir-akhir ini dia memiliki masalah keluarga. Apalagi dengan ibunya. Tapi aku mengenal Ethan dengan baik. Dia tidak pernah mau menggunakan obat terlarang itu.
Aku akhirnya dibawa ke kantor polisi untuk dimintai keterangan. Beberapa barang Ethan terlihat di sana seperti buku tulis, handphone, dan beberapa bajunya. Itu semua diambil dan diduga oleh penyidik sebagai barang yang bersangkutan soal kasus percobaan bunuh diri Ethan. Aku ditempatkan di suatu kantor kerja polisi, terdapat beberapa meja dan aku duduk di salah satu kursi. Banyak orang lalu lalang di sana. Mengurusi dokumen dan menerima panggilan. Aku hanya menatap kosong pada benda-benda Ethan yang berada di belakang petugas.
“Jadi, apakah kau mempunyai informasi mengenai permasalahan Ethan yang mungkin mendorongnya untuk menggunakan narkoba?” tanya petugas yang ada di depanku.
“Saya tidak pernah berpikir kalau Ethan menggunakan narkoba pak,” ketusku meluruskan statement-nya.
“Iya, bagus jika menurutmu seperti itu. Tapi kita semua tidak pernah bisa menerka pikiran orang lain, bukan?” jawabnya lembut padaku. Aku hanya mengikuti arah pembicaraannya, “ku ulangi pertanyaanku lagi, apakah kau mempunyai informasi mengenai Ethan akhir-akhir ini?”
“I-iya, ada beberapa,” jawabku pelan membuat petugas itu sedikit mendekatkan wajahnya kepadaku, “akhir-akhir ini hubungan dia dan ibunya mulai renggang karena ibunya menikah lagi dan memiliki keluarga baru.”
Aku menjelaskan beberapa detail pada petugas. Memang, sebagai anak yatim yang tak memiliki saudara kandung, Ethan merupakan orang yang cukup kesepian. Ayahnya meninggal karena sakit, Ibunya sudah bercerai sejak lama dan beberapa bulan lalu ibunya menikah lagi dan memiliki keluarga baru. Ethan serasa sudah dilupakan. Ia terkucilkan.