Janji Nusantara

simson rinekso
Chapter #4

Bab 4 : Ketemu

“Tidak, kenapa kau beranggapan seperti itu?” alihku agar tidak dia tidak lanjut mencurigai.

“Eh, si Dani keluar tuh,” cetusnya mendongak melihat keluar. Secara refleks aku ikut melihat. Anjing. Aku ditipu. Eh, tapi kenapa dia tahu?

“Sialan kau,” aku menaruh curiga pada Dian. Pikiranku berputar. Dia bukan orang sembarangan. Dia mengetahui bahwa Dani pencuri. Mungkin juga dia tahu aku seorang pencuri juga.

“Apa kau terkejut? Santai saja aku hanya bercanda,” balasnya pelan sambil menaruh kaleng sarden ke keranjang yang dia bawa dan sedikit terkekeh.

Aku mulai menghadap padanya, menatap serius dan memegang pundaknya dengan tangan kanan. Ibu jariku menggapai leher bagian bawahnya. Aku tidak bisa melihat ingatan dengan terhalang baju, aku harus bersentuhan langsung dengan kulitnya. Saat aku memegang pundaknya dia tidak bergerak sedikitpun. Dia bersikap normal. Syukurlah. Dia tidak mengetahui aku memiliki kekuatan ini.

Aku menghela nafas sebentar untuk mengulur waktu membaca ingatan. 3 Detik aku menatap dia dalam-dalam. Agak mendangak sedikit karena badan Dian lebih tinggi 5 sentimeter. Aku melihat sekelebat ingatannya tadi pagi. Dia melihat chat dan membalasnya dengan tergesa-gesa. dia mengetik “baik bos”. Dia menggunakan nama Bos Tempe di kontak. Kemudian dia kirim pesan itu. “Anjing, gimana caranya aku mencari Rosa?” katanya sambil mengacak-acak rambutnya yang bergelombang.

Aku langsung paham. Dia adalah informan suruhan. Gelagatnya yang agak stres melihat chat dari bosnya. Sudah pasti itu salah satu mafia yang ada di sekitar sini. Posisinya sekarang cukup sulit. Mungkin sedang terancam. Selain itu dia juga sedang mengintai. Sama sepertiku.

“Begini ya,” kataku pelan sambil mengancam, “kalau kau macam-macam denganku aku tidak akan segan-segan. Bahkan Bos Tempemu itu tahu yang seharusnya kau perbuat sekarang daripada meladeniku.”

Pupilnya mengecil, membuka mata lebar-lebar. Merasa syok dan tidak mengira kata-kata itu terlontar dari mulutku. Dia agak mundur sedikit. Sepertinya ancamanku efektif. Ya, aku hanya menggunakan ingatannya untuk berbohong dan berkelit dari pikirannya. Dia sekarang tidak akan main-main padaku.

“Kau tau Bos Tempe?” bisiknya sangat pelan mendekatkan wajahnya ke arahku. Perkataannya sangat lirih seperti takut seseorang mendengar, bahkan aku hanya mendengar sedikit kata ‘tempe’ saja.

“Iya aku cukup mengenalnya, mengenai masalahnya dengan Rosa juga,” aku membuat alasan lagi yang membuat Dian menyeganiku.

“Sialan ternyata banyak yang tidak ku ketahui, padahal aku informan, meskipun sebagai suruhan,” dia mengaku sebagai informan dengan tetap memelankan suaranya.

Tiba-tiba pemikiranku terbersit sesuatu. Mungkin Dian bisa jadi tersangka. Dia orang yang bekerja dalam urusan kebusukan ini. Tanganku yang masih dibahunya memijatnya pelan dan mencoba mencari ingatan di hari sebelum Ethan meninggal.

-

Aku melihat Dian menengok dari pintu kosnya yang longgar ke arah Ethan. Saat itu Ethan tergesa-gesa masuk sambil memegang sebuah flashdisk. “Tampaknya dia terkena masalah, lebih baik aku berkelit,” kata Dian lirih dalam ingatan. Setelah itu Ethan menutup pintu kamarnya. Dian keluar dan beranjak dari kosan. Aku berhenti menilik di sana karena kata-kata Dian yang sekarang mulai muncul.

-

“Lebih baik aku mengurus urusanku, benarkan?” katanya yang sambil tersenyum mungkin mengira derajat kita sama. Sebagai informan suruhan atau pikiran lain aku tidak tahu. “Kalau begitu aku harus segera pergi,” imbuhnya.

“Iya, kau benar,” aku langsung melepas tanganku dan mengangkat bahu, “jaga sikap dan tindakanmu, oke? berhati-hatilah!” Aku menunjukkan itikad baik untuknya. Aku tidak ingin mempunyai musuh. Setidaknya kemampuanku bisa kugunakan untuk berdamai dengan orang. Itu suatu hal yang positif.

Lihat selengkapnya