Oke, sabar. Sabar. Cukup sulit. Jalanku tidak akan semudah seperti yang kukira. Apalagi dengan flashdisk ini. Ini lelucon yang cukup membuatku tertawa sangat keras. Bisa-bisanya dia menaruh flashdisk yang berisi video dewasa ke dalam tingkat data golongan sangat rahasia. Tak habis pikir. Kenapa flashdisk ini nyangkut di plafon? Segitunya kah dia tidak ingin orang lain tahu?
Aku menatap flashdisk itu di dalam kamar kos. Buat apa aku memiliki ini. Aku tidak suka menyimpan video-video biru dalam drive. Aku lebih baik streaming menggunakan incognito dan VPN, mereka aman dan tanpa jejak. Bukan berarti aku pecandu hal seperti itu, tapi caraku lebih efektif. Dari pada hal kuno yang menggunakan flashdisk. Tapi bagaimana lagi, ini barang satu-satunya dari Ethan yang ku punya. Mungkin aku akan menyimpannya di dalam laci mejaku.
Aku mengerti Ethan sih. Dia orang baik-baik memang. Di SMA pun dia tidak pernah pacaran. Iya, memang dia kurang menarik secara penampilan meskipun dia lebih tinggi dariku dan badannya cukup berisi. Tapi-. Oke, aku jadi menalar bahwa itu wajar untuknya jika mengkonsumsi video dewasa. Sebenarnya semua laki-laki pernah mengkonsumsi hal seperti itu. Tergantung intensitas dan kerahasiaannya. Dan Ethan termasuk orang yang cukup merahasiakan hal itu. Mungkin dia malu untuk mengatakannya pada orang lain.
Tak apa. Itu wajar. Bahkan aku mengingat sebaik apa Ethan membuatku tersenyum sendiri. Saat nongkrong dengan anak-anak dia bahkan tidak ingin rokok maupun minuman keras. Jelas sangat alim sekali meskipun tidak mempunyai prestasi di sekolah. Berbeda dengan aku yang akan menyambar alkohol, tapi tidak dengan rokok. Tenggorokanku agak berbeda. Entah, aku tidak terlalu menyukai rokok. Tapi aku juga tidak se-alcoholic itu. Aku selalu mengalir dengan teman-teman. Meskipun akhirnya aku dikucilkan waktu SMA.
Saat bersama, dia lebih menjadi penjaga dari pada seorang yang harus dijaga. Mungkin karena hidupnya yang harus menuntutnya dewasa setelah kepergian ayahnya kelas 2 SMA. Kemudian dia part time menjadi penjaga warnet dan beruntung juga bisa kuliah sepertiku. Nasibnya kurang baik diawal tapi tetap mulus berjalan sampai dia meninggal.
Aku meratapi kisahnya sambil berpakaian. Kurang 20 menit aku harus bergegas ke Cafe Jitu. Aku berpakaian sekeren mungkin menurutku. menggunakan kaos dan hoodie loreng abu-abu dan garis hitam. Dan memakai celana chino panjang berwarna crem. Akhir-akhir ini aku suka warna abu-abu dan warna-warna yang tanggung seperti crem. Karena menurutku warna itu tidak jelas. tidak hitam, tidak putih, tidak berwarna mencolok juga. Jadi nyaman di mata.
Kemudian aku berangkat. 10 atau 15 menit aku akan sampai di sana tepat waktu. Dengan kendaraan melaju pas-pasan aku mensimulasi berbagai kemungkinan yang akan terjadi. Kemungkinan terburuk tentunya. Apabila di parkiran aku menemukan orang yang mencurigakan mengintaiku, aku akan langsung tancap gas ke jalan raya. Atau apa bila saat berada di cafe aku menemukan orang mencurigakan mencoba meraihku, aku tidak akan segan-segan menyiram mukanya dengan minuman pelanggan lain. Aku sudah sangat bersiap.
Sesampainya di parkiran aku tidak memperhatikan ada yang mencurigakan. Semua aman. Aku memarkirkan motorku dan sengaja menghadapkannya ke jalan. Sehingga apabila ada situasi darurat aku bisa langsung tancap gas tanpa halangan motor yang lain.
Lanjut aku masuk ke cafe itu. Ada dua lantai. Sialan. Aku akan sulit menemukannya. Nomornya saja aku tidak punya. Bagaimana aku memastikan posisi duduknya? Aku clingak-clinguk dari tadi di lantai 1. Melihat wajah satu persatu di setiap meja. Aman kok, tidak ada tanda-tanda orang mencurigakan. Sampai-sampai mbak-mbak pelayan ikut clingak-clinguk melihat ke arahku. Aku malu banget. Harusnya aku segera menemukannya. Apa aku di-prank ya? Tidak mungkin lah. Mungkin aku harus ke lantai 2.
Mencoba ke lantai 2. Dan ternyata dia disana. Berbaju crem celana jeans gelap. Rambut lurus coklatnya sebahu terlihat anggun. Kulihat jam masih menunjukkan jam 7 lebih 2 menit. Aku harusnya tepat waktu. Aku melihat dia di meja kecil dengan 2 kursi saja. Satu kosong, itu milikku. Mejanya berdempetan dengan kaca jendela dan kami bisa melihat jalan raya dari atas sana. Desain bangunan ini cukup indah. Tidak monoton dengan hanya meja saja. Tetapi ada sofa dan kursi. Life music terdengar, tapi tidak terlalu keras. Aku suka. Seringkali aku ke cafe atau tempat tongkrongan yang ada life music nya, mereka kebanyakan mengganggu daripada menghibur menurutku. Terlalu berisik. Tapi di sini suaranya nyaman.
Di meja itu terdapat gelas, jus melon kayaknya. Ternyata dia sudah sampai di sini lebih lama. Dia orang yang tepat waktu sekali, atau bahkan berlebihan. Aku tetap memperhatikan sekitar. Ada segerombolan anak laki-laki yang memandang ke arah Via. Meja seberang yang agak jauh. Sudah pasti mereka mengincar Via. Yang sendirian menunggu seseorang. Dia seperti daging domba empuk dengan serigala-serigala mendambakannya.
Tidak perlu banyak pertimbangan aku langsung mendekatinya dan mulai menyapa.
“Hai,” sapaku, “kau datang jauh lebih awal ya?” sambil melirik gelas jus yang sudah ia pesan. Sudah setengah kosong, pasti cukup lama. Aku menyalaminya. Dan aku mengintip sedikit ingatannya.
-
Dia datang 30 menit sebelumnya. Dia membalas chat sahabatnya yang diberi nama Bestie. Dia mengetik dengan ragu. “Aku akan mencoba mengajaknya bicara,” Itu chat yang dia kirim. Dan sahabatnya membalas, “iya, Vivi”. Sebutan Via tampaknya merupakan panggilan lain. Bukan panggilan untuk orang dekat. Vivi merupakan panggilan yang sebenarnya. Oke aku mengetahui rahasia kecilnya. Tak lama Vivi membalas chat, ada cowok yang datang ke meja ini dan ditolak Vivi. Bagus. Vivi orang yang konsisten. Aku jadi semakin penasaran soal dia.
-
“Ah, iya, nggak lama kok,” katanya menepis anggapan dia berjuang untuk menungguku. 30 menit itu waktu yang lama menurutku. Aku duduk. Melirik ke arah segerombolan laki-laki tadi, mereka terlihat kecewa memandangku duduk bersama targetnya. Makan tuh. Aku tertawa senang dalam hati.
“Namamu Victoria. Benar, kan?” tanyaku sekali lagi agar terjalin obrolan.
“Iya kau bisa memanggilku Via,” balasnya lagi seperti tadi sore.
“Via? Victoria? Bagaimana kalau aku memanggilmu Vivi saja? Tampaknya cukup cocok?” Tanggapanku membuat dia sedikit terkejut karena aku mengetahui sebutan nama akrabnya. Ini gambling. Bisa saja dia tidak suka. Bisa saja dia malah suka karena serasa memiliki koneksi.
“E-eh,” dia melihat ke arahku seperti cegukan, “Hanya orang terdekatku yang memanggilku seperti itu. Tapi tidak apa-apa jika kamu ingin memanggilku seperti itu.” Dia tersenyum sedikit. Mengira kita terkoneksi. Padahal aku hanya mengintip. Terlepas dari itu, ini merupakan lampu hijau. Setidaknya dia tertarik padaku untuk suatu hal.
“Aku akan pergi memesan dulu ya? Apa ada yang ingin kau pesan lagi?” tawarku.
“Tidak, tidak perlu.” senyumnya manis. Aku langsung ngibrit dan menuju tempat pemesanan. Aku tidak kuat melihat senyumnya. Aku memesan sesuatu yang hangat. Coklat. Dan sedikit cemilan untuk mengisi kekosongan.
Pada malam ini cukup dingin menurutku. Bukan karena cuacanya. Saat ini musim panas. Aku kedinginan karena AC nya. Sialan, kenapa aku tidak tahan AC? Dasar orang kampung.
Aku kembali ke mejanya, “maaf membuatmu menunggu.” Dia hanya membalas senyuman ke arahku.
“Jadi, ada yang ingin kamu sampaikan padaku?” tanyaku langsung ke topik. Aku tidak bisa berbasa-basi lama. Aku cukup penasaran kenapa dia mengajakku berbicara.
“Kamu tahu Sabdopalon dan Nayagenggong?” tanyanya yang membuatku mengerti arah pembicaraan kita.
“Iya tentu saja. Beberapa hari kemarin trending di twitter kan?”
“Iya, benar. Itu sempat heboh. Ada beberapa orang yang memimpikannya,” katanya sambil menyeruput jusnya.
“Iya cukup aneh menurutku,” kataku berkelit dan dia tersenyum sambil menaruh jusnya di meja.