Janji Nusantara

simson rinekso
Chapter #6

Bab 6 : Lomba

Suara ketukan pintu terdengar keras sekali di kamar kos ku, membuatku kesal di pagi hari. Malas meladeni, aku mengambil handphone terlebih dahulu. Melihat jam, ternyata jam 8 pagi lebih sedikit. Sialan. Aku tidur sekitar jam 3 pagi. Aku masih sangat lelah. Dengan rasa kantukku yang berat kucoba menyeret kakiku turun dari kasur.

“Bentar!” suaraku keras dan meremehkan orang yang ada di luar. Aku melangkah dengan sempoyongan dan meraih gagang pintu lalu membukanya. Dani. Seorang yang lebih tinggi dariku. Mungkin tingginya sama dengan Dian. Apa mereka bersaudara? Tentu tidak, bentuk mukanya berbeda, Dani agak lonjong, sedang Dian kotak. Dani langsung menyerobot masuk kamar. Aku yang kurang sadar hanya menatap dia yang segera masuk. Bangsat. Dia mengganggu mimpi indahku dan sekarang main serobot.

“Hei,” aku mencoba menggerapai kasurku lagi, “kenapa kemari? Masih pagi loh.”

“Jaket ini,” dia menunjuk jaket gelap ku di gantungan baju di tembok belakang pintu yang kurang rapih, “kau orang yang ada di tempat Rudi kan?” Dia menutup pintu agar seseorang tidak mendengar percakapan ini. Sepertinya dia mengenali jaket itu, jaket yang biasa kugunakan saat ke tempat Rudi agar terlihat misterius. Jaket yang membuatku gerah juga.

“Oh,” aku sebenarnya tampak kaget karena Dani mengetahui identitasku. Tapi aku mencoba berlagak normal dan membalasnya, “kau yang mencoba mencuri uangku saat keluar dari sana kan?”

Dia juga tampaknya kaget aku mengetahui identitasnya. Dia terkekeh. “Iya, maafkan aku soal itu.”

“Tampaknya aku harus membeli jaket baru,” aku berbicara sendiri. Mencoba membuka mata dan meraih ponselku. Membuka aplikasi toko online sambil berbaring dikasur. Aku mencoba mengetik kata ‘jaket’ di kolom pencarian. Raut mukaku masih terlihat kusam saat itu. Mungkin bau iler juga. Aku tidak peduli. Ini masih pagi.

“Hei, begini,” lanjut Dani untuk obrolannya, “aku tahu kamu bukan orang yang polos, kamu mengenal hal-hal yang kurang baik. Mungkin kau pencuri.” Aku meliriknya dengan tatapan sinis, memberi isyarat bahwa aku tak ingin digubris mengenai hal itu. Tatapan ngantukku loyo, tapi cukup bisa untuk mengintimidasi orang lain. Dia melihatku berhenti berkata sejenak. Ekspresinya agak tegang. Rambut hitam gondrongnya yang diikat dibelakang berhenti bergoyang.

“Hei, aku juga pencuri,” katanya untuk mencairkan suasana, “kita sama, tenang saja. Aku tak berniat buruk padamu.” Seketika aku menyemburkan kekehan ke arah dia.

“Terakhir kali aku bertemu denganmu kau mencoba mencuri uangku, bagaimana kau tidak berniat buruk padaku?” kata-kataku menusuk dadanya. Mau apa dia kesini? Sudah menghancurkan mimpiku bersama Vivi dan dia malah membuatku naik pitam.

“Oke, oke, aku benar-benar meminta maaf,” katanya berusaha meyakinkanku. Aku malah tidak yakin. Apa benar dia ingin minta maaf? Dia melanjutkan kalimatnya, “lagi pula aku tidak jadi mengambil uangmu kan?”

“Itu karena reflekku cepat,” tambahku dengan sombong. Aku mencoba mengabaikannya dengan fokus pada aplikasi toko onlineku. Sambil rebahan aku men-scroll berbagai jaket yang terlihat menarik. Dani hanya berdiri di tengah ruangan sambil berpikir.

“Nah, itu yang aku maksud,” kata-katanya tidak membuatku mengerti. Apa yang dia maksud? Dia menarik kursiku untuk duduk mendekat padaku dan melanjutkan katanya lagi, “Aku ke sini untuk meminta bantuanmu.”

“Wonderful, sudah menghancurkan tidurku, membuat aku kesal, dan sekarang meminta bantuan,” aku sekali meliriknya dan kembali melirik ponselku lagi. Si bangsat ini tidak tahu tata krama atau gimana?

“Ayolah, Ang. Aku tahu kamu mempunyai kemampuan,” aku kaget mendengar hal itu. Aku langsung lebih fokus pada ponselku untuk mengalihkan rasa kagetku. Apa benar dia mengetahui kemampuanku membaca ingatan? Aku belum bisa menerka spekulasinya.

“Dan kemampuan apa yang kau maksud?” tanyaku untuk dia menjawab rasa penasaranku. Aku harus memastikannya terlebih dahulu. Jika dia tahu aku memiliki kemampuan di atas orang normal maka tentu hidupku tidak aman.

“Tentu saja, mencuri,” jawabnya membuatku lega, “aku tahu kamu mempunyai skill itu, kau bahkan bisa menyadari aku sedang mengambil uangmu,” pujinya berlebihan menurutku.

Lihat selengkapnya