Pukul 12 siang, aku sudah sampai di kampus. Teman-teman semuanya berada di dalam kelas menunggu dosen. Di sana ada Manto, Ijal, Alwi, Bani, dan beberapa perempuan Tania, Marta, dan tentu saja Cindy. Dia sedang bercerita mengenai rumahnya yang angker. Aku melihat itu tertarik. Aku mendekat padanya. Anak-anak juga seksama mendengar cerita Cindy.
Cindy merasa ketakutan di rumahnya semalam. Dia merasa paranoid karena melihat CCTV rumahnya kemarin siang. Dia menunjukkan video itu di ponselnya, lagi-lagi itu IPhone terbaru. Sepertinya dia mau pamer atau semacamnya. Tapi bagaimana lagi, Aku sudah mencuri ponselnya yang lama. Dasar orang kaya. Selalu membuat iri orang yang tidak punya.
Rekaman CCTV yang ditunjukan adalah rekaman waktu aku beraksi dirumahnya. Ternyata taktikku berhasil. Pintu samping rumahnya membuka dan menutup sekali. Kemudian kamera blur dan menjadi kehitaman. Setelah beberapa saat kameranya kembali dan kakaknya balik dari kamar mandi. Dia tidak mencurigai itu perbuatan maling. Seperti paranormal activity sungguhan. Tampaknya usahaku kali ini berhasil berjalan mulus seperti biasanya.
“Jadi bagaimana menurut kalian?” tanya Cindy pada semuanya.
“Itu fake,” jawab mentah dari Manto. Manto orangnya blak-blakan dan tidak suka tentang tahayul. Dia orang yang sangat modern. Sangking modernnya bisa dibilang kepercayaan tidak berlaku padanya. Otak yang terlalu rasional. Aku jadi penasaran apa yang dilakukan Manto jika sedang berada ditempat yang sangat anger.
“Ihh,” Cindy mulai kesal dengan pendapat Manto, “Ini ngga rekayasa, ini asli, ngga ada editannya,” pembelaan Cindy tidak digubris Manto. Manto malah cuek dan tidak tertarik. Dia malah fokus pada ponselnya sendiri.
“Kayanya mending kamu konsultasi sama si Roy deh,” lontaran pendapat Tania yang terlihat percaya kepada tahayul dan makhluk sejenisnya, “is Roy kan bisa lihat begituan.”
“Iya, tapi setelah itu video ini upload di internet aja, mungkin bisa viral, kan lumayan,” tambah Marta. Tampaknya dia orang yang oportunis. Masuk akal juga. Aku lebih menyukai mindset Marta. Apapun peristiwanya ambil keuntungannya.
“Itu follower-mu di Instagram kan banyak Cin, manfaatin aja,” tambah Marta. Iya juga, Cindy gadis yang cantik. Oh mungkin tidak cocok kupanggil gadis. Wanita yang cantik dan imut. Memiliki ribuan follower, yang sebentar lagi harusnya bisa di swipe up. Tidak mengherankan.
“Aku nggak mau nanti dikenal horor, citraku jadi beda dong,” jawab Cindy polos.
“Yaelah, santai aja, bikin story gitu, biar banyak yang penasaran dan instagram lu pasti langsung swipe up nanti, gua jamin,” tambah semangat Cindy mendengar perkataan Marta. Marta tampaknya cocok menjadi content creator atau tim kreatif. Dia dapat melihat celah viral.
“Aku setuju perkataan Marta,” tanggapanku pada Cindy membuat dia ingin segera memposting video itu.
“Benar,” kata Alwi menyetujui, “tapi lebih baik jangan konsultasi ke Roy dulu, biarkan rumahmu semakin seram dan kau dapat banyak konten,” Alwi tertawa bersama Bani, aku juga ikut tersenyum. Cindy mengerutkan bibirnya dan alisnya ke tengah menandakan marah. Dia mengepalkan tangan ke udara seperti hendak memukul Alwi. Tapi gemasnya harus dipotong karena dosen sudah masuk dan kami memulai perkuliahan.
-
Setelah perkuliahan selesai anak-anak masih berkumpul dan membahas hal tadi. Tampaknya mereka sangat menyukai topik itu. Tapi aku pamit terlebih dulu. Aku harus bertemu dengan Dani dan menjalankan investigasi.
Aku kembali ke kos terlebih dahulu, Aku ingat sebelum berangkat kuliah aku sudah memesan jaket dari olshop. Dan paket sudah datang diterima ibu kos. Oke, aku akan memakai ini sebagai ganti jaketku yang gelap. Jaket ini pun berwarna gelap tapi memiliki corak sedikit abu-abu. Aku suka itu.
Aku datang di minimarket tepat jam 2 siang. Dengan dandananku seperti biasanya, memakai masker dan mengenakan hoodie. Mana si Dani? Dia belum terlihat. Aku mencoba mengambil minuman dingin untuk cuaca yang terik. Tak berapa lama kemudian dia muncul. Menghampiriku menggunakan jaket jeans dan membawa tas.
“Habis dari mana kau?” tanyaku agak kesal karena dia terlambat.
“Biasa, mengambil barang,” dia berbicara sambil menunjuk tas ransel yang dia bawa.
“Dasar pencuri,” ejekku biasa.
“Kau juga,” dia membalas.
“Oke, apa kau pernah mendengar berita apapun mengenai Rosa akhir-akhir ini?” tanyaku untuk membuka informasi. Aku tidak tahu sedikitpun mengenai Rosa dan Tempe. Yang aku tahu hanya sekelebat ingatan dari Dian waktu lalu.
“Tidak, nol,” jawab Dani. Dani ternyata tidak berguna juga.
“Lalu apa gunamu sebagai informan Tempe?” tanyaku heran.
“Aku mencuri beberapa handphone dan menguping, hanya itu,” balasnya seperti tak mempunyai dosa. Aku memutar bola mataku. Sepertinya dia orang yang tidak berguna.
“Okelah kalau begitu, tunggu aku di sini, aku akan mencari info ke Rudi,” Inisiatifku sepertinya lebih baik dari tindakan Dani. Dani otaknya nol. Persis seperti perkiraanku, aku akan lebih banyak bekerja daripada si gondrong itu.
Aku keluar dari minimarket dan menghampiri tempat Rudi. Seperti biasa aku berada di depan pintu Rudi dan mengetuk pintunya. Ada lubang kecil di pintunya untuk melihat keluar. tampaknya Rudi sudah mendekati pintu. Aku mendengar langkah kakinya dari luar.
“Password?” suara Rudi dari dalam.
“Kopi luak ga bikin kembung,” candaku dengan nada agak tertawa. Sebenarnya tidak ada password. Rudi hanya mengerti dan mengenal suara kami. Jadi hanya orang-orang yang dia kenal yang bisa masuk ke tempatnya dan melakukan transaksi. Tempat ini suci bagi dia. Dia tidak akan membiarkan orang tidak dikenal masuk. Untuk menjual dan lain sebagainya, dia melakukannya di tempat terpisah.
Pintu terbuka dan aku pun masuk. Ruangan yang cukup luas seperti ruang tengah keluarga, banyak barang-barang disana. Barang elektronik tentunya. Berserakan di sofa dan meja-meja kecil. Ruangan tertutup dan cukup gelap ini diterangi lampu meja kerja yang cukup jauh dari jangkauan. Mungkin itu alasan Rudi memakai kaos pendek dan celana pendek. Di sana agak pengap dan panas. Aku dan Rudi hanya berdiri di area belakang pintu.