Jam 9 malam, aku akhirnya berada di pertokoan seperti pada rencana. Dan kali ini Dani tampaknya mengikuti rencanaku dengan baik. Dia datang menggunakan motornya dan memanggul tas. Berjaket dan celana jeans serba biru. Tasnya tampak berat. Sudah pasti isinya barang curian yang ku minta. Dia memarkirkan motornya di pinggir jalan dan mendekatiku.
“Hei, avatar,” sapaan jeleknya mulai lagi, “kenapa kau memakai kemeja rapih?”
“Ini untuk penyamaranku,” jawabku sambil membenarkan pakaian dan kerah, “sudahlah, kemarikan barang curianmu, aku membutuhkan itu.”
Dani mengeluarkan barang curiannya, tapi hanya ada 1 pijat kepala dan 2 pijat leher. “Kemana 1 pijat kepala lainnya?” tanyaku.
“Aku tidak bisa menemukannya, sorry,” maafnya dengan menyeringai.
“Ya sudahlah,” aku memakai alat pijat itu di kepala. Oh, ternyata enak sekali. Rasa bogem yang dilontarkan Toni padaku tadi siang sedikit terobati. Aku memakainya beberapa menit terasa lega.
“Hhmm, ternyata cuma dipakai,” lihatnya kecewa, “katanya buat rencana?”
“Iya tentu saja,” tepisku pada perkataannya, “lihat di seberang sana?” Aku sambil menunjuk seorang preman berbadan besar yang sedang merokok santai di depan warung kecil. Di warung itu hanya ada dia. Tidak ada yang lain, mungkin pemiliknya sudah diusir olehnya.
“Kau menunjuk cewek baju hijau itu?” tampaknya dia salah mengerti orang yang kutunjuk, “dia lumayan oke,” malah dia puji dong.
Aku menatapnya dan menyipitkan mataku. “Di matamu hanya berisi wanita hah?”
“Kau mau mendekati perempuan dengan alat pijat ini? Aneh sekali cara PDKT-mu,” dia melihat ke arahku dengan mengangkat alis kanannya. Ekspresi herannya semakin membuatku putus asa dengan tingkat kecerdasannya.
“Yang ku maksud preman yang disana,” aku menunjuk orang itu dengan tegas, “itu preman dari tadi hanya berada di sana. Dan dia tidak berpindah.”
“Mungkin itu tempat tinggalnya,” jawabnya polos.
“Itu warung kecil woy!” tegasku kesal dengan kepolosan yang dia miliki.
“Memangnya orang tidak boleh tinggal di warung kecil?”
“y-ya boleh, ah sudahlah, aku malas berdebat denganmu,” dengan kesal aku menyabet tas yang dia bawa dan memasukkan alat pijat itu kembali.
“Lagian kau aneh. Meminta alat pijat, sekarang mau menghadap preman,”
“Oke, aku sekarang cukup sabar untuk meladenimu. Akan ku jelaskan secara terperinci,” aku menghela nafas untuk meredam emosiku lalu membuat penjelasan, “preman itu selalu berada di sana, bukan karena dia tinggal di sana. Menurutku dia menjaga gudang terbakar itu. Gudang itu masih menjadi tempat peroprasian bisnis si Rosa. Aku yakin sekali. Gudang itu pun masuk dalam list di ponsel Toni. Jadi, aku akan ke sana berpura-pura menjadi sales yang menjual alat pijat ini dan menggali informasi darinya.”
Penjelasanku tampaknya cukup dia mengerti. Tampak dari wajahnya yang agak mendongak ke atas sambil melihatku. Tapi cukup lama dia tidak bergerak aku jadi ragu dia mengerti dengan rencanaku.
“Oke aku mengerti,” ucapnya membuatku lega, “jadi kau berpura-pura jadi sales dan mungkin akan mengambil ponselnya seperti yang kau lakukan pada Toni?”
“Iya, bisa seperti itu,” aku tidak mungkin mengungkap kemampuan membaca ingatanku pada Dani. “Oke sekarang kau tunggu disini. Awasi sekitar, apabila kau menemukan seseorang yang mencurigakan seperti anak buah Rosa atau bahkan Toni, segera telepon aku, oke?”
“Dimengerti.”
Aku langsung berangkat dari sana. Menyebrang jalan dengan membawa tas Dani. Jalanan di sana tidaklah ramai. Hanya lalu lalang sedikit mobil di jalan. Mungkin karena peristiwa kebakaran itu yang membuat tempat ini sepi. Dari jalan pun terlihat gudang itu. Sudah berkarat dan kehitaman sisa bakar. Aku menatapnya agak ngeri. Sekilas seperti tempat angker di malam hari. Tapi itu memang sarang penjahat. Tidak mengherankan dipakai sebagai kedok untuk bertransaksi.
Aku pun bisa menyambungkan ingatan Toni dengan bangunan ini. Ini peristiwa dimana anak kecil itu dipukuli dan Toni menyelamatkannya. Toni sepertinya orang baik yang cinta keluarga. Seharusnya aku tidak mencuri ponselnya. Mungkin setelah mendapat informasi ini aku akan mengembalikan ponsel Toni. Dan kuharap aku tidak dipukuli oleh nya. Dia cukup hebat soal berkelahi.
Setelah aku menyebrang preman itu tampak melihatku. Aku mencoba mendekatinya. Dia santai dengan rokok yang dia hisap di bangku panjang.