Janji Nusantara

simson rinekso
Chapter #9

Bab 9 : Keluar

Hadiah puluhan juta terhempas begitu saja. Rasa kecewaku terus menghantuiku sampai hari berganti. Aku yakin aku melakukan penyelidikan dengan cepat. Hanya satu hari dan aku bisa mendapatkan informasi top secret dari mafia di kota ini. Itu prestasi yang cukup cemerlang menurutku. Aku sudah seperti informan kelas atas. Tapi kenapa semuanya langsung terhapus. Apakah Dian sejago itu mendapatkan informasi? Atau dia mempunyai kemampuan seperti aku? Aku tidak dapat menerkanya.

Dengan rasa gundahku yang kuarungi pagi menjelang siang di kamar kos. Aku jadi semakin bosan. Mencoba alat pijat leher elektronik dari sisa curian Dani pun tidak mengobati. Tidak tahu harus berbuat apa. Browsing internet dengan ketidak jelasan. Melihat timeline yang isinya itu-itu saja. Chat juga tidak ada. Tunggu sebentar. Aku punya nomer Vivi. Mungkin kuajak dia nonton bisa menghilangkan gundahku.

Kemudian aku melihat aplikasi bioskop. Aku mencoba mencari film yang bagus untuk kuajak dia nonton. Tapi setelah kulihat-lihat tidak ada yang menarik bagiku. Aku lebih menyukai film action atau horror yang saat itu tidak ada hanya drama dan komedi. Pikiranku secara otomatis menghilangkan daftar film drama dan komedi. karena logikaku berpikir sound system di bioskop bakalan nganggur kalau kita cuma nonton film drama dan komedi. Aku lebih memilih nonton film seperti itu di netflix atau website film bajakan dan itu lebih enjoy.

Film drama menurutku membutuhkan usaha yang lebih untuk menontonnya. Karena aku perlu berkonsentrasi untuk menghayati alur film tersebut. Dan kondisi yang paling baik untuk itu adalah menontonnya sendirian di ruangan tertutup. Tidak dengan orang yang banyak berderet di tempat gelap.

Karena tidak tahu harus memilih apa, mungkin aku bisa membuat dia memilih. Aku mencoba mengirim dia pesan dan dia membalas. Aku sudah lama tidak berbicara dengan cewek baru setelah aku putus dengan mantanku waktu SMA. Waktunya membuat gerakan baru. Aku putuskan untuk langsung menelponnya. Aku tidak suka berlama-lama mengetik. Lebih baik aku langsung berbicara.

“Halo, selamat siang,” sapaku mengawali.

“Halo, selamat Vivi,” dia menyebut namanya sendiri. Aku agak geli mendengarnya. Aku terkekeh mengingat salamku yang sama dengan namaku, “Kenapa kamu tertawa?” tanyanya juga ikut tertawa.

“Kenapa kamu menyebut namamu?” aku terkekeh lagi. Astaga, hal receh ini membuat mood-ku kembali.

“Kamu sendiri yang mengucapkan namamu terlebih dahulu.”

“Oke, oke,” aku mencoba menghentikan tawaku, “apa kamu kosong hari ini?”

“Iya, sepertinya begitu.”

“Kamu mau nonton? Aku lagi bosan di kos.”

“Nah! Kebetulan, aku ingin melihat fantastic creature. Ceritanya seru, aku ingin melanjutkan sequel movie-nya,” katanya dengan semangat.

“Boleh, setelah ini aku akan menyusulmu, oke?” jawabku menyetujuinya.

Dia tertarik, dan sekarang Vivi ingin menonton film serial sihir-sihir fantasi aneh. Aku tidak pernah mengikuti film itu. Tampaknya memiliki seri yang cukup panjang. Tapi tak apalah aku mencobanya, sepertinya fantasi yang disajikan cukup keren. Genrenya juga fantasi aksi, sound system di bioskop jadi tidak nganggur.

Kemudian aku bersiap untuk berangkat siang itu. Vivi memberiku lokasi kosnya dan aku tancap gas dengan motorku. Sesampainya di kos Vivi, aku hanya menunggunya beberapa menit dan dia sudah keluar dengan dandanan yang cukup elok. Tidak, tampilan dan bajunya normal. Dia saja yang memang terlihat cantik. Dia memakai kemeja putih bergaris abu-abu dengan kerah terbuka. Memakai jeans biru gelap dan tas kecil berwarna hitam. Dia juga memakai jam tangan kecil di pergelangan kirinya tampak serasi.

Tampaknya aku tidak mengindahkan hal ini. Aku memakai kaos putih polos dan jaket hitam biasa. Tanpa berdandan atau pun memilih baju yang cocok. Aku hanya berpikir untuk nonton dan menghilangkan penat, bukan untuk fashion show. Mungkin selera berpenampilanku sudah banyak berkurang karena sering hidup sendiri. Tampaknya Vivi orang yang cukup memperhatikan penampilan.

Dia naik dengan helmnya sendiri dan kami berangkat. Sesampainya di bioskop, kami memesan tiket. Kami memilih penayangan jam 4 sore. Waktu yang ideal untuk menonton. Jam tersebut tidak akan banyak orang yang memilihnya karena jam kerja masih berlangsung. Pasti studio bioskop lebih tenang. Saat kami memilih kursi pun banyak yang kosong. Mantap. Aku memilih kursi agak belakang dan di tengah layar. Agar jarak pandang dan kenyamanan menonton lebih oke.

Setelah memesan tiket nonton masih ada waktu luang kupakai untuk makan siang bersama Vivi di food courts. Sambil makan aku mencoba membuka pembicaraan.

“Kamu suka serial film ini?” tanyaku biasa.

“Iya, seru loh,” dia antusias.

“Ada berapa banyak film sequel nya?”

“Cukup banyak, nanti aku akan kirim list filmnya supaya kamu bisa lihat film-film sebelumnya.”

“Oke,” pembicaraanku berhenti di sana sesaat. Lalu dibuka dengan pertanyaannya yang membuatku merasa aneh.

Lihat selengkapnya