Film apa ini? Aku tidak mengerti sama sekali dengan setiap karakternya. Aku hanya menikmati visual sihir yang disajikan memanjakan mata. Aku mencoba bertanya tentang alur ceritanya tapi aku melihat Vivi sangat serius saat melihatnya. Aku jadi tidak tega menyelanya. Beberapa alur cerita yang agak lambat merupakan kesempatanku untuk bertanya padanya. Mengenai karakter, cerita, sebab, dan sebagainya. Tapi itu tidak efektif untuk aku mengetahui semua jalan cerita. Aku memang perlu melihat keseluruhan sequelnya.
Setelah film selesai dia mulai menunjukkan ekspresi yang tidak puas. Lampu bioskop mulai menguning dan benerang memperlihatkan wajahnya yang heran karena ending-nya. Mulutnya terbuka sedikit tersenyum tapi tertahan dengan alis yang tidak sama tingginya. Jelas, film ini membuatnya kesal.
“Aku harus menunggunya 1 tahun lagi!” katanya tidak puas, “atau mungkin lebih?”
“Ending-nya sangat menggantung ya?”
“Tentu saja, masih banyak yang belum diceritakan tentang sequel sebelumnya,” balasnya ketus membuat aku terdiam dan tidak berani untuk mengkritik. Sebenarnya menurutku oke-oke saja. Permasalahan di film itu sudah rampung. Mungkin ada yang menggantung di ending scene. Tapi karena aku tidak mengetahui cerita sebelumnya, menurutku fine-fine saja.
“Iya, nanti akan aku coba melihat sequel filmnya yang terdahulu untuk mengetahuinya,”
“Iya, kamu harus. Filmnya sangat bagus. Recommended banget.” Aku mengangguk dan tersenyum.
Kami beranjak dari teater bioskop menuju lorong pintu keluar. Setelah berjalan sampai keluar dari tempat bioskop, aku tersenyum sedikit dan berpikir lalu bertanya padanya, “Apa kamu percaya sihir?”
“Really?” dia heran dengan ucapanku.
“Memangnya kenapa?”
“Kita ini memiliki kemampuan dan kamu mempertanyakan itu?”
Aku tertawa kecil, “Silly me, oke, mungkin tidak perlu dijawab,” kepalaku masih berputar untuk mencari topik agar kita tidak diam, “kira-kira, jika nanti ada film bagus muncul apa kamu mau kuajak nonton lagi?”
“Tentu, kabari saja aku, aku suka movies,” dia tersenyum. Aku tersenyum. Jalan semakin terbuka lebar. Kuharap aku bisa mendapatkannya. Harapan mentah coba kutelan. Kulanjutkan langkahku menyusul dia melewati eskalator dan menuju tempat parkir. Dan pikiranku berhenti karena aku harus meninggalkan tempat ini. Mempersiapkan tiket parkir dan uang.
Aku mencoba merogoh isi dompet untuk mengambil tiket parkir dan uang kecil. Tapi di dalam dompetku tidak ada uang kecil. Aku sedikit gelisah. Aku harus menggunakan uang pecahan besar dan mungkin menunggu agak lama untuk kembalian. Aku menarik uangku yang terlihat besar dan menggenggamnya. Lalu Vivi mengetahui itu dan berusaha menolong.
“Aku memiliki uang kecil di sakuku, mungkin kamu bisa gunakan ini saja,” cetusnya dan dia merogoh uang itu. Uang pecahan 5 ribu berusaha dia keluarkan di saku celana jeans yang tampak sesak. Dan ternyata uang itu menyangkut di kunci kosnya dan dia menarik kunci itu sekaligus. Seketika dia tidak sadar bahwa ponselnya juga ikut tertarik keluar dan melayang di udara.
Aku dengan refleks menggapai ponsel itu dan menangkapnya sebelum menyentuh tanah. Gerakanku cukup cepat karena sudah sering aku melakukannya, apalagi saat beraksi. Kecepatan tangan sangat diperlukan dalam hal mencuri. Melihat itu Vivi tampak kaget dan bersyukur. Ponselnya selamat tanpa lecet.
“Terima kasih, aku tidak menyadarinya.”
“Iya, sama-sama, untung tanganku cepat,” balasku bangga.