Siang itu aku bersiap-siap akan bertemu Toni. Memakai pakaian hoodie-ku yang lama, karena jaketku yang baru kubeli 2 hari lalu aku tanggalkan di tempat Toni. Aku menggunakan motor untuk berjaga-jaga apabila ada yang mencurigakan aku bisa kabur dengan cepat. 1 jam sebelum pertemuan aku sudah berangkat untuk mengintai dan mengitari setiap tempat persembunyian yang ada di sekitar.
Sudah kutandai semua tempat yang ideal untuk mengintai dan tampaknya sudah ada orang yang berada di sana. Aku bahkan sempat mengganti jaketku agar tidak dicurigai apabila aku mondar-mandir untuk mengamati. Alhasil aku mendapat sejumlah orang yang sudah berjaga di sana. Hal itu membuatku geram. Toni mengajak bertemu dan menginginkan aku tidak ada orang yang tahu tapi dia malah menjebakku. Maksudnya apa?
Jam 12 tepat aku mengintai dari kejauhan. Tempat pertemuannya berada di taman dekat sungai. Jalanan membentang di pinggiran sungai dan di seberangnya taman hijau yang bersih dan terawat. Itu memang tempat yang mengasyikkan untuk nongkrong. Apalagi di sana ada warkop dan tempat-tempat lain supaya betah di sana.
Terdapat 2 jembatan yang jaraknya cukup jauh untuk mengakses taman itu, keluar masuk jalan cukup ramai. Apalagi siang ini, sebagai kota yang aktif terasa sangat sesak dengan berbagai mobil dan motor. Di arah tepi sungai berlawanan, aku mengamati menggunakan teropong yang barusan kubeli di toko pinggir jalan.
Ponsel Toni yang kugenggam berdering. Aku mengangkatnya sambil mengamati Toni yang duduk di tengah-tengah bangku taman. Dia berpakaian santai menggunakan kaos putih polos tanpa jaket bahkan tanpa topi yang biasanya. Tampaknya dia sudah tidak menyembunyikan identitas. Kenapa? Sudah se-PD itu kah dia? Mungkin dengan teman-temannya yang bersembunyi, dia menjadi lebih percaya diri.
Aku mengangkat telepon dari Toni.
“Hai Siang, kau jadi kesini tidak?”
“Kau memintaku datang sendiri dan tidak dibuntuti, sedangkan dirimu membawa belasan anjing untuk menggigitku. Itukah yang kau mau?”
“Sialan. Mereka tidak mau mendengarkanku. Aku jamin mereka orang baik. Mereka tidak akan melukaimu.”
“Omong kosong! Baik apanya? Tidak ada niat baik dengan bersembunyi seperti pengecut.”
“Oke, oke. Kalau begitu apa maumu agar kita bisa bertemu?”
“Kumpulkan semua anjingmu bersamamu dalam satu tempat, sekarang!”
Kemudian Toni menyuruh mereka semua berkumpul. Orang yang tersebar mengintai cukup banyak, ada 8 orang yang kuhitung. Di dalam mobil, di atas balkon, di bangku taman, di pinggir jalan sambil menelpon, bahkan ada yang berada di bawah jembatan. Mereka satu persatu keluar dan menuju taman. Terlihat seperti kumpulan boyband yang akan manggung di tengah taman. Lucu sekali. Dengan pakaian bermacam-macam membuat ragam dari mereka seperti es campur.
“Oke, sekarang semuanya sudah berkumpul di taman, bisakah kau menunjukkan diri?”
“Tentu tidak. Kau yang harus menghampiriku. Tanpa mereka dan mereka tidak boleh meninggalkan taman itu sampai pertemuan kita selesai.”
“Astaga, permintaanmu cukup menyulitkan.”
“Kau yang membuat ini sulit. Cepat kemari, berjalanlah, aku ada di seberang sungai.”
Telepon masih terhubung. Aku masih bisa sedikit mendengar percakapan dari Toni dan komplotannya melalui telepon. Toni akan datang sendiri dan komplotannya disuruhnya untuk diam di taman. Mereka sempat keberatan dan meragukan keputusan Toni. Tapi Toni meyakinkan mereka dan membiarkan Toni berjalan cukup jauh untuk menemuiku.
Di tengah-tengah jembatan dia berjalan aku memperhatikan ada salah seorang yang mencoba keluar dari taman. Aku menggunakan telepon untuk berkata pada Toni.
“Lihat anjingmu kabur.”
Dengan teropong aku melihat Toni membalikkan badan dan berteriak kepada kawanannya untuk tetap disana. Anjingnya kini menurut. Dasar. Apa mereka mengira aku sebodoh itu ya? Apa dia tidak mengira aku ini bukan sembarangan orang? Aku mengetahui semua lokasi mereka setelah mondar-mandir dan dengan ingatan sekelebat aku bisa menandai semua tempat dan orang yang memiliki perubahan atau tidak.
Toni mulai mendekat. Aku yang berjarak 10 meter darinya berada di bawah pohon rindang di pinggir sungai dan motorku yang kuparkir di pinggir jalan siap untuk melaju.
“Stop, di situ saja. Apa yang ingin kau bicarakan? Kita bisa berbicara melalui telepon.”
“Tentu tidak, aku tidak ingin mereka meretas percakapan kita,” kenapa dia peduli dengan percakapan ini sampai-sampai dia takut anjingnya mengetahui itu? Perkataannya cukup masuk akal. Tapi aku tetap takut dengan Toni, mengingat dia bisa menjebol pintu kayu dengan sekali pukul.