Semua heboh di grup. Ringtone chat selalu berbunyi. Dan aku berusaha me-mute notifikasi dari setiap grup itu. Berisik. Berbagai macam link tersebar mengenai pembunuhan itu. Para reporter penulis berita tampaknya membuat pernyataan-pernyataan yang lebih menarik minat. Judul-judul yang mereka berikan juga unik dan beragam. Rosa sang mafia bunuh diri. Tidak kuat dengan kehidupan kotor, dia bunuh diri. Perseteruan antar geng menjadi memanas. Apa tindakan polisi untuk menanggapi para mafia ini? Semua judul artikel berita merujuk untuk menyudutkan seseorang. Tempe. Aku yakin itu. Siapa lagi mafia saingannya. Setahuku mafia yang berdiri di kota ini hanya mereka berdua.
Tetapi dengan kematian Rosa, Tempe bisa seenaknya sekarang. Dia bisa leluasa bergerak kemanapun juga. Kuharap rencana Toni dan pihak kepolisian berhasil. Mungkin sebaiknya aku menelepon Dian. Tempe sudah pasti tertarik padaku. Tapi sebelum itu aku harus mengetahui pasti kasus bunuh diri dari Rosa.
-
Setelah aku membaca beberapa artikel di internet, mereka mengatakan kalau ini kasus bunuh diri. Rosa membunuh dirinya sendiri dengan sebuah pistol peredam karena itu jenazahnya di temukan pagi ini. Semua orang tidak mengira adanya penembakan di dalam kantor gudang. Dan mungkin para anak buahnya meninggalkan Rosa sendirian karena takut terkena masalah. Tapi benar juga, siapa yang mau mengurus bos mafia kepada polisi? Sedangkan mereka sendiri bekerja dalam mafia tersebut. Mereka mungkin malah jadi tersangka atau berujung buruk dalam jeruji. Dan akhirnya petugas kebersihan yang menemukan jenazahnya.
Tapi yang sangat menarik adalah tempat kejadian perkara. Kantor gudang tua itu tertutup, 3 kali 3 meter luasnya. Bertempat di sebelah pojok gudang. Tertutup rapat, jendela dan pintu depan menuju gudang terkunci. Sedangkan pintu belakang yang terhubung langsung ke area luar bangunan terkunci, pintu itu dislot dari dalam dan Rosa melakukan tembakan tepat di samping kepalanya.
Bunuh diri? Seorang pemimpin mafia bunuh diri? Apa kau mempercayai hal itu? Aku memang orang yang sulit untuk percaya, tapi itu hal yang perlu untuk dipertanyakan. Kurasa ini pembunuhan.
Aku curiga sekali dengan kejadian itu. Kasus ini seperti Ethan, pembunuhan di ruang tertutup dengan pintu yang terslot dari dalam. Cara membunuhnya berbeda tapi maksud dari pembunuh sama, yaitu agar mengira semua ini hanyalah kasus bunuh diri. Mungkin jika aku menyelidiki kasus ini aku bisa mengetahui pembunuh Ethan. Pembunuhnya kemungkinan sama, aku yakin itu.
Dan jika ini kasus pembunuhan, seharusnya dilakukan oleh saingan mafianya yaitu Tempe atau orang lain yang dekat dengan Rosa dengan alasan pribadi seperti kebencian. Tapi jelasnya, jika Tempe menginginkan Rosa mati, dia akan menggunakan orang suruhan seperti pembunuh profesional. Dan pembunuh profesional ini bisa saja di luar atau di dalam circle mafia itu sendiri.
Tampaknya aku sudah memberikan belati kepada salah satu mafia untuk menggorok lawannya. Tentu, aku pernah berjasa pada Tempe untuk menemukan lokasi Rosa, meskipun hadiahnya direbut oleh Dian. Entah, aku ingin merasa senang atau kecewa. Yang pasti saat ini Tempe sedang kegirangan. Lawannya sudah tumbang dan dia lebih berkuasa di kota ini.
Aku harus datang di TKP-nya untuk melihat secara langsung. Aku mempersiapkan motorku dan langsung cabut. Dengan menggunakan jaket hitam seadanya dan celana abu-abu aku berangkat. Sesampainya di sana masih banyak orang. Hari masih siang dan polisi masih menyelidiki. Di gedung tua yang sudah berkarat itu sekarang tercoreng garis kuning bertuliskan ‘garis polisi’. Investigasi sepertinya masih berlangsung untuk beberapa jam kedepan. Polisi masih mondar mandir di area gudang dan di area sekitar tepi jalan ada beberapa warga yang ingin melihat TKP. Kebiasaan warga Indonesia. Tidak kecelakaan, tidak kasus kriminal selalu menjadi tontonan. Tapi untungnya tidak terlalu banyak warga yang melihat.
Di posisi yang agak jauh dari kerumunan aku melihat Parman, preman yang berada di gudang terbakar pinggir kota, yang sempat aku berikan alat pijat elektronik. Tampaknya dia menyayangi alat pemberianku. Terlihat dari dia yang sedang memakai alat pijat leher itu. Aku mencoba mendekatinya.
“Halo mas Parman,” sapaku sambil melambaikan tangan dari jauh. Mengetahui itu, Parman ikut mendekat ke arahku.
“Eh, su-, Supri ya?” dia mencoba mengingat namaku dan berhasil. Nama samaran yang jelek.
“Iya mas, gimana kabarnya? Mantap alat pijat nya?” obrolan akan ku giring untuk melihat ingatannya.
“Wah, ini jos pokoknya!” aku senang dia tetap bahagia meskipun bosnya meninggal.
“Ini ada apa ya kok ramai gini?” aku berlagak bodoh.
“Itu, ada orang bunuh diri.”
“Hah? Siapa?” pertanyaanku ditelannya tanpa curiga.
“Rosa, dia itu bos mafia di kota ini. Terus dia menembak kepalanya sendiri.”