Aku duduk di atas meja dengan kaki terayun santai di tengah-tengah gudang timur sambil menunggu kedatangan para tamuku. Suasana gudang yang sepi membuatku sabar menanti. Tidak ada angin yang membuat berisik pohon di luar gudang. Bau karat dari logam pondasi dan peralatan di sana membuat nafas lebih berat. Bahkan garis kuning polisi masih terlihat menjalar di sisi kiriku. Melintas melalui tembok, pintu, tiang, jendela dan semua membuat ingatan tewasnya Rosa masih tumbuh.
Aku sudah mempersiapkan segala sesuatu. Bahkan mengajak Toni sebagai penjagaku untuk rencana cadangan. Dia bersandar di balik pintu gudang yang mudah untuk digeser kekanan dan kekiri. Dengan cahaya matahari berlawanan yang silau, menggambarkan bentuk siluet Toni pada posisi yang sudah mantap. Dia berjalan dan berjaga di pojok mengikuti rencana.
Tak lama kemudian datanglah tokoh utama cerita ini. Ajudan Rosa. Tampaknya dia sangat tepat waktu. Apalagi dengan surat yang ku kirimkan di kios buahnya. Pasti itu sangat menarik baginya. Tulisan pada satu lembar kertas polos pasti menggerakkan emosinya sampai ke sini. “Aku mengetahui siapa pembunuh Rosa.” Satu kalimat seperti itu saja sudah bisa memasak hatinya menjadi lebih panas dan mau melakukan apapun. Bagus.
Dia berdiri di hadapanku. Tidak mengenal siapa aku bahkan melihatku pun hanya sekali. Dia hanya fokus di sekitar dan melihat sekeliling. Memperhatikan tempat kejadian itu dan mereka-reka adegan dalam pikirannya. Dia memperhatikan sisi pojok dekat pintu juga. Di sana Toni dengan topinya mencoba menyembunyikan identitas. Dan benar, Ajudan ini tidak punya clue sedikitpun tentang Toni. Semua Aman.
Dia membuka kalimat untukku, “siapa kau?”
“Aku orang yang peduli.” Singkat saja, bisa membuatnya bertanya dan memainkan pikirannya sendiri tanpa bisa menebak apa yang akan terjadi, “kita tunggu dulu orang yang seharusnya berada di sini.”
Ajakanku tampaknya diterima. Menunggu beberapa menit tanpa mengeluarkan sesirat kata membuat suasana menjadi tegang. Aku menyiapkan botol air di sampingku. Meminumnya seteguk untuk menghilangkan perasaan itu. “Mau air?” tawarku padanya tapi dia menolak.
Tak lama akhirnya pemeran kedua datang. Parman. Dia masuk dengan santai mengayunkan kedua tangannya dengan sok. Dia juga memperhatikan sekitar. Semuanya. Dari aku, ajudan Rosa sampai Toni. Dia sepertinya meremehkan aku.
“Hei! Supri!” sapanya dengan nada mengejek, “kau si gay sialan, kenapa kau membawaku di sini?” Surat yang kukirim ke tempat biasanya dia berjaga ternyata sangat ampuh. Aku menulis surat dengan sejumlah uang dan menjanjikan dia pekerjaan yang lebih hebat dari sebelumnya, dia langsung mendatangi tempat ini. Pikirannya hanya uang. Mudah ditebak.
“Parman. Kau ada masalah apa dengan gay?” timpalku yang membuat dia tertawa.
“Kau membuatku jijik!” dia meludah ke samping dengan muka jengkel. Mengambil rokoknya dan menyumat di tengah-tengah kami. Aku pun tertawa sangat keras. Tawaku terhenti melihat keluar dan ternyata tamu ketiga sudah datang. Robi. Dia masuk dengan jaket kulit dan pakaian rapih seperti mau kencan. Tampaknya dia akan pergi berkencan setelah ini. Dia tampak tergiur juga dengan pesan tawaranku seperti Parman. Dia mengharapkan pekerjaan yang tidak mengekang jadi aku menjanjikan pekerjaan yang lebih fleksibel dari pekerjaan sebelumnya.
Karena semua orang sudah berkumpul aku memberi isyarat Toni dengan melambaikan tanganku. Toni menutup pintu gudang. Pandangan jadi berkurang dan agak gelap. Kami masih bisa melihat dengan jelas karena cahaya yang masuk melalui lobang-lobang jendela dan tembok yang rusak.
“Kau mau apa?” sentak Parman yang jaraknya agak jauh dariku, mungkin sekitar 5 meter jaraknya dia berdiri.
“Aku hanya akan mengungkap kebenaran.”
“Berbicaralah lebih cepat! Jangan mengulur-ngulur waktu kami!” Ajudan Rosa juga tampaknya kesal. Dia masih belum bisa mengetahui set yang aku lakukan untuknya.
“Ini sebenarnya ada apa sih?” Robi plonga-plongo melihat ke arah temannya dan menggaruk kepalanya.
“Kalian ingat tewasnya Rosa beberapa minggu lalu kan?” aku membuka dengan kalimat tanya yang membuat ajudan Rosa mengerutkan kening, “Jadi begini, aku sudah cukup untuk menyelidikinya dan mengharuskan kalian untuk tahu dari kebenaran semua ini.”
“Memangnya kau siapa? Kau tidak ada hubungannya dengan Rosa!” protes Robi kepadaku.
“Aku adalah orang yang berhubungan tidak langsung dengan Rosa,” mereka terlihat sedikit heran dengan kebohonganku, “aku mengetahui semua tentang Rosa, bahkan malam itu saat dia datang untuk mengecek barang.” kata-kataku membuat mereka mengangkat kepala percaya padaku.
“Memangnya kenapa? Kasus Rosa sudah ditutup sebagai kasus bunuh diri,” jawab ajudan Rosa yang tampak gelisah. Terlihat dari ekspresinya dia sudah tidak mau terlibat dalam masalah ini lagi. Parman yang melihat itu hanya tersenyum sambil menyedot rokoknya.
“Apa kau sudah move on secepat itu?” pertanyaanku membuat ajudan Rosa tidak berkutik, tidak berkata, dan mungkin menahan nafas sejenak. Dia tidak bisa menepis perkataanku. Parman yang terus mengepul rokoknya seolah tidak peduli. Sedangkan Ajudan Rosa memperhatikanku dengan seksama. Aku melanjutkan kataku di tempat sunyi itu, “Aku menyatakan kasus ini sebagai kasus pembunuhan dan salah satu dari kalianlah yang membunuhnya.”
“Kenapa kau berpikir seperti itu?” tampaknya Parman mulai berkata dan ikut andil untuk memperhatikan aku lebih serius, “seperti kata dia, ini kasus bunuh diri,” dengan kesal dia berbalik badan dan hendak keluar dari situ. Tapi Toni menghadang pintu dan Parman pun mengurungkan niatnya, “Oke, aku akan mengikuti permainanmu, toh aku tidak terlibat masalah itu, aku punya alibi yang kuat.”
“Mari kita reka adegan yang terjadi pada malam itu. Dua orang sedang berjaga di depan pintu gudang, Parman dan Robi. Dan satu orang berjaga di depan pintu kantor gudang yaitu ajudan Rosa,” aku menunjuk orang itu lalu aku melanjutkannya, “lalu kejadian berikutnya kita semua sudah tahu itu.”
Semua terlihat tegang, apalagi ajudan Rosa terlihat dia menghayati penjelasanku sambil melihat spot dia berdiri waktu malam itu. Aku melanjutkan, “Dan kematian Rosa pun memiliki kejanggalan. Pertama, luka tembak yang berada di kening. Jika kau sering melihat orang bunuh diri menggunakan pistol seharusnya itu mengarah ke samping kepala atau memasukkan moncong pistol ke mulut. Tapi ini tidak. Yang tertembak di keningnya.”
Robi melihat ketimpangan dari penjelasanku, “mungkin Rosa orang yang anti mainstream, bisa saja,” mendengar itu ajudan Rosa melirik Robi dengan tatapan kejam. Robi hanya mengangkat bahunya dan mengacuhkannya.
“Pemikiran bagus,” aku menyetujuinya, “tapi,” aku membuat jeda untuk penekanan, “kejanggalan yang kedua, pistol yang dia gunakan. Di badan pistol itu bertuliskan ‘Aku mengawasimu’,” mataku menyorot ke arah ajudan Rosa sambil menunjuknya, “menurutmu apakah Rosa membawa senjata api hanya untuk masuk sendirian dan memeriksa barang?”
“Aku tidak memperhatikan dia membawa pistol,” jawabnya masih berpikir.
“Tepat, karena itu dia pasti menemukan pistol itu di mejanya, dan menurutmu apa yang dia lakukan setelah menemukan pistol yang bertuliskan seperti itu?” tanyaku lagi yang kutujukan pada ajudan Rosa.
“Dia pasti memeriksa segala sesuatu yang ada di sekitarnya.”