Cahaya lampu yang redup di taman itu membuat suasana semakin dingin dan nyaman. Matahari sudah tidak tampak membuat semua pandanganku tampak berkurang. Duduk di bangku taman yang agak panjang sendirian. Sepi dan damai. Tidak banyak orang di sana lalu lalang. Mungkin karena ini bukan weekend. Aku menikmati suasana itu.
Sebagian masalahku serasa sudah tercabut. Lega menyelimuti dadaku. Aku menghisap matcha yang aku pesan tadi sore. Dingin, manis, dan menyegarkan. Seperti inilah rasanya kemenangan. Berminggu-minggu aku mengintai dan merasa bosan tapi sekarang sudah terpecahkan.
Aku sudah mengetahui ‘siapa’ dan ‘bagaimana’ pembunuhan Ethan. Tetapi masih ada yang mengganjal yaitu ‘apa’ dan ‘kenapa’. Apa yang membuat dia harus dibunuh? Dan kenapa dia harus dibunuh? Parman adalah seorang pembunuh bayaran. Dia hanya membunuh apabila ada yang order. Untuk kasus Rosa aku mengetahui dari ingatan Parman dia dibayar oleh Tempe. Tetapi untuk kasus Ethan, dia hanya mendapat sejumlah uang dan surat saja tanpa tahu siapa yang menyuruhnya. Ini masih menjadi misteri. Belum ada alasan jelas mengapa Ethan harus dibunuh.
Dengan pikiranku yang masih berputar, konsentrasiku dipecah oleh tepukan di pundakku dari samping. Toni. Dia sudah mengurus semuanya. Sampai kapan pertemanan ini bisa berlangsung ya?
“hai, siang,” sapa Toni, aku hanya membalas dengan lambaian tanganku yang sedang memegang cup matcha. Dia duduk disampingku dan bersandar santai.
“Bagaimana dengan kasusnya?”
“Lancar, semua diterima oleh pihak kepolisian, tapi apa kau benar tidak mau namamu diekspose sebagai pemecah kasus ini?” dia mempertanyakan integritasku.
“Tentu, pakai saja namamu. Semakin harum namamu semakin bagus. Aku tidak ingin public melihatku, itu bakalan merepotkan,” jawabanku membuat Toni tersenyum.
“Terima kasih, tapi aku tidak akan melupakan jasamu ini.”
Aku hanya mengangguk. Sebentar lagi artikel tentang berita Rosa dibunuh akan segera muncul dan nama Toni yang akan hadir disana sebagai pemecah kasus itu. Itu sudah pantas menurutku. Aku tidak menginginkan gelar atau nama. Lebih baik aku tetap bersembunyi dan menghindar dari BATARA maupun mafia meski aku masih terlibat dengan mereka. Lalu Toni menghadap ke arahku dan ingin menanyakan sesuatu.
“Maaf sebelumnya, tapi aku ingin tahu. Apa kau benar-benar gay?” tanyanya membuatku tersedak dan terkekeh. Tetesan air keluar dari mulutku dan aku mengusapnya. Pertanyaannya membuat aku kaget.
“Tentu tidak!” jawabku ketus.
“Lantas kenapa Parman mengira kau gay?” dia masih penasaran.
“Itu saat aku ingin melihat ingatannya,” aku mencoba menelan kembali minumanku, “aku memegangnya dan mengutarakan aku menyukai dia agar aku bisa memegangnya lebih lama.”
Toni tertawa terbahak-bahak. Aku juga ikut tertawa bersamanya.
“Aneh sekali caramu.”