Ringtone di ponselku terdengar panjang sekali mengganggu tidurku yang pulas. Teman-temanku menelpon melalui aplikasi chat online. Aku awalnya kaget karena nyawaku belum terkumpul dengan penuh. Mataku masih menyipit melihat itu. Aku mengangkatnya. Manto yang menelpon berteriak di speaker ponsel.
“Woy!” aku menjauhkan telingaku dari ponsel, keras sekali teriakannya, “kemana saja kau, jangkrik? Semua orang mencarimu, tahu tidak?”
“Haduh, Tok,” keluhku dengan nada malas, “ini masih pagi, kau malah bentak-bentak.”
“Kau sudah hilang hampir satu bulan. Tentu kami khawatir.”
“Iya-iya, tenang. Aku baik-baik saja kok,” jawabku santai tapi tidak membuat dia mengikuti nadaku.
“Kau mendapat panggilan dari kampus, aku disuruh kaprodi menghubungimu tapi handphone-mu selalu tidak aktif.”
“Iya, maaf, akhir-akhir ini aku sibuk.”
“Oh, cara sibukmu sekarang menghilang ya?” sindirnya tapi aku acuh.
“Ini sangat penting untuk seseorang tidak mengetahui keberadaanku sekarang.”
“Apa kau? Agen rahasia?”
“Tidak,” aku menghela nafas sebentar, “ini rumit, oke? Kuharap kau mengerti, Tok.”
“Bagaimana aku mengerti woy!” dia sedikit menunda kata-katanya dan melanjutkan, “okelah, mungkin susah untukmu, tapi setidaknya kau kabari atau tidak pamit sebentar dan tidak langsung menghilang.”
“Iya-iya, aku minta maaf, mungkin setelah ini aku akan segera mengurus urusan kampus.”
“Dan hubungi orang tuamu, segera! Tadi pihak kampus menelpon orang tuamu dan kelihatannya mereka panik.”
“Oke, terima kasih informasinya, kau memang temanku paling pengertian, bye.” Aku menutup teleponnya dan langsung menghubungi orang tuaku. Sialan, mereka pasti sangat khawatir karena aku sudah tidak kuliah berminggu-minggu?
“Halo, ibu?”
“Halo, ini Siang?” ibuku bertanya, pantas. Karena memang aku menggunakan nomor yang tidak dikenalnya. Aku sudah sering mengganti nomor handphone akhir-akhir ini.
“Iya bu. Ini Siang. Tadi ib-” kataku belum sempurna sudah disela dengan omelan khas ibu-ibu indonesia.
“Kemana saja kamu? Ibu tadi ditelepon pihak kampus katanya kamu sudah nggak masuk kuliah lama, benar? Kenapa kamu, nak? Ada apa? Kamu kena musibah? Atau apa? Jawab dong!” ibuku mulai mengomel dengan celotehan yang banyak sekali, sampai-sampai aku tidak diberi waktu untuk menjawab.
“I-iya, bu. Bentar, tarik nafas dulu. Kasih kesempatan Siang buat jelasin!”