Janji Nusantara

simson rinekso
Chapter #18

Bab 18 : Sarang Tempe

Sore jam 3 tepat di suatu rumah besar lengkap dengan pagar besi hitam dan penjagaan ketat, lokasinya dekat dengan gudang timur milik Rosa. Aku tidak mengerti kenapa Tempe memiliki markas di sini, mungkin perluasan kekuasaan Tempe sudah berjalan lancar sampai dia bisa memiliki markas di sekitar tempat Rosa meninggal.

Aku berdiri di depan gerbang dan di depan ku sudah ada 2 orang yang berjaga. Mereka menggunakan HT untuk berkomunikasi kepada orang yang ada di dalam. Bersama Toni, mereka menggeledah tubuh kami. Memastikan kami tidak membawa senjata atau semacamnya. Penampilanku kasual memakai kaos dan celana pendek membuat penjaga tampak meremehkan aku, memang sekilas aku seperti bocah ingusan yang hanya ingin main. Toni yang memiliki postur seperti orang dewasa juga tak luput dari pandangan sinis penjaga. Penjaga itu mengecek ulang bahkan sampai menyuruh Toni melepas jaket yang dia kenakan.

Toni tampak gugup dan sedikit ketakutan. Aku kurang mengerti, mungkin komplotan Tempe mengenal Toni sebelum menjadi penjual ponsel curian. Dan mungkin itu sebabnya anak kecil dalam ingatan Toni terluka, anak itu merupakan hasil perseteruan dari Rosa dan Tempe. Sepertinya Toni dulu pernah bekerja untuk Tempe atau Rosa.

Tapi pendapatku mengacu ke Tempe, mengingat dia tidak khawatir anak buah Rosa melihatnya. Jadi spekulasiku, Toni pernah bekerja dengan Tempe untuk melakukan sesuatu tetapi Rosa menggunakan anak kecil yang berhubungan dengan Toni agar geraknya terbatasi. Itu sebabnya Toni sangat membenci Rosa saat pertama kali aku menyebutnya di hadapan Toni. Setelah Toni sadar, dia membenci para mafia tidak terkecuali dan meninggalkan Tempe lalu menjadi penjual ponsel curian. Spekulasiku 80% benar, ingat itu.

Toni menggunakan topi dan masker yang biasa dia kenakan untuk menutupi wajah dan identitas. Dia tampak ragu saat melepas jaket. Gerakan tangannya tersendat. Setelah mendapat spekulasiku terhadap Toni, aku juga merasa khawatir sekarang. Tetapi rasa khawatir itu tidak tumbuh lagi setelah para penjaga memperbolehkan kami masuk. Untungnya mereka tidak membuka topi milik Toni. Jika mereka mengetahui bentuk rambutnya sudah dipastikan mereka akan mengenalnya.

Kami berjalan di halaman yang cukup luas, terdapat rerumputan dan pohon-pohon kecil menghiasi kolam yang ada di depan rumah. Kami masuk menuju pintu rumah yang terlihat 2 kali lebih tinggi dariku. Di dalam rumah masih ada 2 penjaga lagi. aku sudah menghitung ada 4 dan mungkin masih banyak lagi di dalam. Jantungku semakin terpacu. Kira-kira bagaimana caranya aku akan keluar? Melihat setiap penjaga saja sudah membuatku keringatan. Rumahnya susah untuk ku tembus. Aku bisa saja mati di sini. Aku melihat Toni sepertinya dia merasakan hal yang sama denganku. Ini memang pekerjaan yang berbahaya.

Akhirnya aku sampai pada ruangan tertutup dengan sofa di tengah membelakangiku dan televisi menghadapnya. Tempe sedang duduk santai di sofa itu mengenakan piyama putih dan kolor. Dia berdiri dan berbalik. Dia tersenyum padaku. Aku mengamati sekitar ada 3 penjaga berbadan kekar dan di sana tidak ada Dian seperti yang dikatakannya kemarin. Pantas dia tidak mau muncul dan bersembunyi. Mungkin setelah mengetahui informannya menjual tuannya ke aparat, Tempe bakal marah besar pada Dian.

“Hai, Siang, benar kan?” dia tetap menjaga senyum lebarnya ke arahku. kumis dan jenggotnya mengganggu pemandangan. Aku tampak risih melihatnya. Senyumannya cukup mengintimidasiku. Meski dia tergolong orang yang kurus tapi dia cukup hebat mempunyai otoritas mafia seperti ini dan memiliki karisma untuk mengintimidasi seseorang.

“Iya, kau benar, aku Siang.”

“Dan siapa yang ada di belakangmu?”

“Dia?” aku memandang Toni sejenak, “dia Bambang , anak buahku,” Toni mengerutkan keningnya serasa tidak terima dengan nama Bambang tapi aku tidak menanggapi itu, aku mencoba tetap sesuai rencana. Aku memainkan mata dengan memandangi saku jaketnya. Dia harusnya menekan tombol untuk mengeluarkan sinyal kepada aparat agar datang kemari. Aku kembali menatap Tempe dan berharap bantuan segera datang.

“Kau memiliki anak buah?”

“Iya, dia seperti tangan kananku, ajudanku. Jadi dia dan aku harus tetap bersama.”

“Seperti sepasang kekasih,” dia tertawa kecil, aku tidak menanggapinya, “ya, aku tidak menilai orang dari seleranya, yang penting hasil kerjanya. Btw, terima kasih sudah mencarikan lokasi Rosa padaku waktu lalu,” aku menunduk untuk menerima rasa syukurnya, “kau sangat hebat, aku jadi tidak perlu mengeluarkan uang lebih untuk membayar pembunuh itu. Iya, meski hadiah itu diambil oleh Dian tapi aku tahu kalau kau yang paling berjasa.”

“Kau mengetahuinya?” aku tersenyum untuk menyombongkan diri.

“Tentu saja, orang berbakat pasti akan muncul kepada orang yang tepat dengan sendirinya, bagaimana menurutmu?” dia berjalan mendekatiku.

“Menarik, dan mungkin kau orang yang tepat.”

“Kita sepemikiran,” dia terseringai di hadapanku, tetapi seringainya menjadi berbalik. Dia melihat Toni seperti melihat seseorang yang dia kenal, “hei, tunggu sebentar. Sepertinya aku mengenalmu?”

“Apa? Anak buahku?” aku mencoba menutup-nutupinya agar dia tidak penasaran dengan Toni, “kita baru pertama kali bertemu. Aku meragukan it-” tapi tampaknya tidak berhasil, kata-kataku terpotong karena tangan Tempe menghentikanku berbicara.

“Diam dulu kau!” emosinya tampak berubah menjadi dingin. Sialan. Bisa mati kita. Meskipun Toni orang yang kuat, mungkin dia bisa selamat, tapi tidak dengan aku yang tidak memiliki bekal apapun soal ini. Sekali memukul Parman saja tanganku sudah mati rasa. Apalagi menghadapi 3 bodyguard dan 1 bos mafia, pasti nyawaku yang bakal tidak bisa merasa.

“Buka topimu!” perintah Tempe sangat menakutkan untuk didengar pada situasi seperti itu. Denyut di dadaku semakin bergenderam. Aku hanya bisa memandang beku Toni. Aku harap dia bisa melindungiku saat semua tidak terkontrol.

Toni memegang ujung topinya dan dia mengangkatnya. Rambut abu-abunya mengurai lurus. Apa? Lurus? Warna abu-abu lagi? Dia sudah mengganti model rambutnya? Aku sedikit lega melihat model rambutnya berganti. Kuharap itu bisa mengecoh Tempe.

Dan benar saja dia mengangkat kepala dan berkata, “sepertinya aku salah orang,” kemudian ponsel Tempe berdering. Dia berjalan menjauh kembali ketempat semula di antara sofa dan TV. Dia mengangkat ponselnya dan mendengar seseorang bicara melalui benda itu. Dia melirik ke arahku. Aku langsung mengerti isyarat apa itu. Dia mengetahui aparat sedang menuju kemari dan kami akan mati.

Aku panik melihat sekitar dan di sisi kiriku ada meja besi yang bisa ku gunakan untuk berlindung. Aku melompat ke bawah meja itu. Dengan rasa ketakutan aku bersembunyi. Tempe dengan sigap mengambil pistol yang ada di balik televisinya. Toni juga tidak mau membuang-buang waktu. Dengan tangannya yang kuat, Toni langsung mencengkeram leher salah satu bodyguard dan melemparnya dengan kuat ke bodyguard yang lain. Aku melihatnya begitu ngeri. Kekuatan Toni sangat luar biasa, dia bisa melempar orang dengan kuat. Padahal orang itu begitu besar, bahkan lebih besar darinya. Dia benar-benar seperti monster.

Tempe melihat Toni beraksi seperti itu menganggapnya sebagai ancaman utama. Dia menodongkan pistol ke arah Toni dan menembaknya langsung tepat di dahinya. Kepala Toni menggeleng mundur terkena tekanan dari peluru itu. Aku melihatnya tercengang kecewa dan berteriak.

“Toni!”

Kenapa akhir dari dia begitu cepat? Aku melihat Tempe dengan senyum dan gigi lebarnya tertawa puas. Mafia biadab.

Berikutnya pasti aku. Mati.

Tempe setelah tertawa puas tersadar akan sesuatu, dia memperhatikan teriakanku tadi dan menggelengkan kepalanya ke arahku lalu berkata, “Toni?” Tampaknya ada yang salah. Dia menyadari bahwa itu bukan anak buahku yang bernama Bambang, dia adalah orang kuat mantan tukang pukul milik Tempe.

Dan benar, Toni masih berdiri. Dia menegakkan kembali leher dan kepalanya. Dia belum mati. Peluru itu hanya membenturnya saja. Membuat bagian luar kulit dahinya memerah tapi tidak berdarah. Astaga, dia Superman? Keadaan menjadi terbalik. Tempe yang sekarang semakin ketakutan.

Toni terlihat begitu emosi terkena tembakan itu. Toni menendang sofa panjang dan empuk itu ke udara berharap mengenai Tempe tapi Tempe terlalu gesit dan dapat menghindar ke bawah. TV besar yang cantik kini retak dan hancur berkeping-keping terkena benturan sofa mewah. Tempe langsung berlari menuju pintu. Bodyguard Tempe masih tersisa satu. Dia berlari berusaha menghentikan Toni. Tapi usaha bodyguard itu tidak memiliki efek yang signifikan untuk Toni. Dia malah ditendang mundur dan menghantam tembok sampai tembok itu retak dan tidak sadarkan diri.

Toni yang melihat Tempe berusaha kabur ikut mengejarnya. Sayangnya Tempe sudah dapat berlari lebih dulu dan melewati pintu belakang lalu menguncinya. Pintu itu terbuat dari besi yang membuat Toni kesulitan untuk membukanya. Toni memukul-mukul pintu itu agar dapat terbuka tapi dia membutuhkan waktu karena pintu cukup yang tebal.

Lihat selengkapnya