Hari senin, aku akan ke kantor BATARA di pusat kota Surabaya. Mereka bilang markas mereka sebenarnya berpusat di Jakarta, tapi sekarang sedang menangani kasus Tempe. Jadi Sersan Narto sendiri yang harus pindah sementara ke Surabaya. Sebelum aku bertemu dengan anggota BATARA yang lain, aku memiliki waktu weekend untuk bersenang-senang.
Aku pun mengajak Vivi untuk jalan-jalan. Makan, nonton, main, belanja. Hari minggu itu hari yang cukup menyenangkan. Dia sedang memilih-milih aksesoris. Dia bilang sahabatnya akan ulang tahun. Dia mau membelikan sebuah barang untuk kado.
Bertumpuk-tumpuk barang yang ada di rak membuat Vivi ragu. Dia bingung mau mengambil barang apa. Hendak mengambil barang pecah belah tapi tidak jadi. Melirik beberapa boneka, sebentar dia acuh lagi. Dia kurang referensi untuk mengambil keputusan. Aku mendekat bermaksud membantu. Dia menyadari diriku mendekat. Dia menoleh dengan mengerutkan bibirnya, wajahnya seperti orang meminta tolong.
“Aku belikan barang apa ya enaknya?”
“Barang kesukaannya?”
“Itu sudah kemarin. Dia sudah banyak aksesoris K-Pop di kamarnya.”
“Kalau begitu barang yang berguna.”
“Contohnya?” aku mencoba melihat sekitar dan jam dinding terlihat menempel di tembok.
“Waktu.”
“Maksudnya?”
“Maksudku jam, tangan atau dinding,” aku melihat dari kejauhan ada sebuah beker yang cocok sedang duduk di meja, “atau beker mungkin?”
“Nah, dia belum punya jam beker, mungkin itu ide yang bagus,” aku tersenyum bahagia karena dapat memberi usul yang baik. Tapi tampaknya usulku tetap membuat dia bingung. Dia berjalan melewati beberapa saf rak lalu jongkok untuk memilih beberapa beker yang terpampang agak ke bawah. Dia bingung memilih model.
“Digital atau analog ya?”
Aku mendekat dan mengutarakan pendapatku, “Analog bagaimana?”
“Kalau begitu ini lucu kayaknya,” dia mengambil jam beker berbentuk minion.
“Sinta suka warna kuning?”
“Nggak sih, dia sukanya warna biru.”
“Ya pilih yang biru dong.”
“Tapi ini kan lucu,” dia gigih dengan pendapatnya.
“Tapi kan ini kado buat Sinta bukan buat dirimu.”
“Tapi ini gemesin,” dia ngeyel.
“Haduh, lama-lama kamu yang gemesin,” dia menolehku dengan muka memelas, aku membalasnya dengan nada omelan emak-emak mainstream pada anaknya, “hayo, Vivi, taroh, ambil yang biru. Nanti tak sentil loh.”
“Ih”, teriakan kesal seperti seorang gadis kecil, “sebel,” tambahnya tak membuatku berkutik, aku hanya memutar pandanganku untuk acuh.
“Yaudah, bawa aja dua-duanya,” dia menoleh ke arahku dan tersenyum lebar, “atau kita beli semuanya aja, sekalian mbaknya itu biar dia punya kerjaan baru buat bangunin Sinta tiap pagi, gimana?”
dia tertawa terpingkal, “boleh ya?”
“Ya, enggaklah,” aku pun ikut tertawa kecil, “sudahlah ayo cepat. Aku haus, kita mampir beli minum ya?”
“Okay.”
Dia membayar kedua jam beker itu lalu mampir di sebuah kedai minuman dan memesannya. Jus melon kesukaannya dan aku lemon tea. Duduk sebentar di bangku yang sudah tersedia di sana. Aku hendak membuka obrolan mengenai BATARA tapi dia lebih dulu berkata.
“Eh, sepertinya kekuatanku mengalami peningkatan,” mendengar itu aku semakin penasaran.
“Peningkatan seperti apa?”
“Aku sepertinya bisa merasakan aura kemampuan orang di bagian tubuh mereka.”
“Aku kurang mengerti dengan penjelasanmu, bisa beri contoh?”
“hm,” dia berpikir sejenak dan menatap mbak-mbak penjual jus itu, “lihat mbak penjual itu, aku melihatnya dia memiliki aura di tangannya yang khas dan cekatan, sesuai dengan profesinya.”