Masih memanjakan mata, telingaku terganggu akibat suara ponsel bergetar. Aku mengangkatnya tanpa memperhatikan nama. Mendengar suara yang keluar dari speaker aku langsung terbangun. Itu suara Vivi.
"Halo"
"Iya, ada apa Vi?"
"Kamu kos dimana ya?"
"Di daerah Timur."
"Yang spesifik dong," kemudian aku mengutarakan dengan lengkap alamat kosku. Aku sudah tidak ada beban untuk seseorang mengetahui tempat tinggalku karena para mafia sudah ditangkap dan aku merasa lebih aman terlebih aku sekarang mengenal BATARA. Seperti ada seseorang yang menyokongku dari belakang. Aku jadi tahu rasanya Toni yang sekarang dia tidak perlu menyembunyikan identitas saat di taman.
"Memangnya kenapa?" aku bertanya tapi teleponnya sudah terputus. Aku curiga dia akan datang. Tapi aku berpikir ulang. Masa ada cewek yang datang ke kos cowok? Aku kembali tidur dan tidak menganggap itu semua. Tapi tidak lama kemudian ada suara telepon lagi. Aku mengangkatnya.
"Halo, kamarmu yang sebelah mana?"
"Sebentar? kamu beneran ke sini?" aku yang tidak percaya bergegas keluar dan melihat jalanan melalui balkon di samping pintu kosku. Kepalaku menjorok keluar dan melihat ke bawah ternyata dia ada di sana. Sialan. "Ngapain?" Dia langsung masuk dan naik ke atas dan bertemu aku di balkon.
"Aku mau tahu tentang BATARA dan kamu pasti tidak akan mau menceritakannya jika hanya lewat telepon, jadi aku harus datang ke sini."
"Seingin tahu itu kamu?" tanyaku heran. Aku tahu dia memang tertarik. Tapi ya sudahlah.
"Masuk aja dulu kalau begitu," aku mengajaknya menuju kamar tapi tiba-tiba aku sadar bahwa kamarku berantakan. Selimutku berserakan, laptopku di tengah lantai, bajuku tergantung di kursi dan bungkus cemilan masih berada di atas meja. Aku menghentikan langkahnya, "sebaiknya kamu tunggu di luar dulu ya, 5 menit," dengan tersenyum malu aku menutup kamarku dan segera membersihkan sisa-sisa bangkai yang aku letakkan. Astaga, sampah ada dimana-mana. Siapa sangka ada orang yang datang ke sini? Aku tidak pernah mengira mendapat tamu di pagi hari.
Setelah kurasa semua oke aku mempersilahkan dia masuk. Setelah dia masuk, dia duduk di kursi belajarku. Aku yang tak tahu harus bicara apa hanya menatapnya. Mimpi apa aku semalam, sampai ada wanita masuk ke kamarku?
Lalu aku hendak mengecek waktu di handphoneku tapi yang kulihat pantulan wajahku yang secara sadar aku masih baru bangun tidur. Belum mandi, gosok gigi, rambut masih acak-acakan dan bahkan penampilan baju yang compang-camping. Sialan. Siapa yang tidak merasa risih berhadapan dengan wanita dengan penampilan seperti ini.
"Oke, aku akan mandi dulu, kamu tunggu di sini ya?" dia hanya terpaku melihat kegugupanku, aku menarik paket alat mandiku yang tergantung dan keluar menutup pintu. Lalu tersadar aku lupa bawa pakaian ganti. Biasanya memang aku berganti pakaian di dalam kamar dan keluar dari kamar mandi menuju kamar hanya menggunakan handuk. Tapi saat ini aku tidak bisa melakukannya. Mungkin dia akan berpikiran buruk jika aku melakukan itu.
Aku kembali dan mengambil baju yang ada di lemari. Sambil tersenyum gugup aku keluar. Aku merasa sedikit senang, sebal, dan cemas. Sedikit senang karena dia mengunjungiku, sebal karena dia datang dan membuatku tanpa persiapan, cemas karena dia menanyakan soal BATARA. Aku menyendok air dengan gayung sudah seperti orang mengayuh sepeda, secepat yang aku mampu dan sebersih yang aku bisa.
Beberapa menit pun berlalu dengan cepat dan tergesa-gesa. Selesai mandi aku berganti pakaian dan menuju kamarku. Mengelap rambutku yang masih basah dan mengacak-acaknya. Dengan posisi handuk yang masih di kepala dia berkata.
"Kenapa kamu sampai segitunya?"
"Kenapa?" aku tak habis pikir dengan pertanyaan itu, "aku tidak mau terlihat buruk di depanmu, aneh sekali pertanyaanmu."
Dia terseringai dengan jawabanku, "iya, tapi kamu tidak perlu segugup dan secepat itu. Aku bukan ibumu yang mengintrospeksi kamarmu."
Aku juga ikut terseringai mendengar jawabannya, "iya, ini pertama kalinya ada wanita yang datang ke sini pagi-pagi." Aku menggantung handukku di hanger tempat biasa.
"Sebelumnya tidak ada yang datang ke sini?"
"Tentu tidak, sebelum ini aku seperti buronan karena kejaran mafia dan harus bersembunyi," aku berkata sambil duduk di atas kasurku.
"Hidupmu cukup berat ya?" dia mengerti beban yang aku pikul. Tentu, dia bisa merasakan empati dengan akurat.
Aku tersenyum lebar di hadapannya, aku sangat menyukainya karena dia dapat mengerti perasaan seseorang dengan tepat. Tapi aku juga tidak ingin dia merasa khawatir karena itu aku berkata, "tidak juga, kamu yang membuatnya menjadi ringan."
"Kenapa jadi aku?"